"170 per 110, tekanan darahnya cukup tinggi, Bu," ucap Dokter saat Laras melakukan cek up di usia kehamilannya yang memasuki bulan ke delapan.
"Biasanya normal, Dok," keluh Laras. Arkian yang duduk di samping Laras ikut khawatir.
"Apa selama ini sering merasa sakit di perut dan bahu?" tanya Dokter.
"Paling mulas saja, Dok. Sama pegal," jawab Laras. Hal sebenarnya menyamarkan keadaan itu.
"Dok, istri saya enggak apa-apa, 'kan?" tanya Arkian sambil memegang tangan Laras.
"Biar saya resepkan obat penurun darah, ya? Sambil dibantu untuk memperbaiki gaya hidup, seperti makan bergizi yang mengandung antioksidan," saran Dokter.
"Baik, Dok," jawab Arkian.
"Saya juga menyarankan untuk tes di rumah sakit. Mau saya berikan rujukan?"
"Boleh, Dok. Apa pun asal istri saya baik-baik saja," pinta Arkian.
"Baik."
Pulang dari klinik, Arkian dan Laras pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes urine untuk mengetahui ada atau tidaknya protein darah dalam urine. Baik Laras dan Arkian sama-sama merasa tak tenang. Meski begitu Arki berusaha untuk menenangkan istrinya.
"Jangan takut, ya? Kamu pasti baik-baik saja. Mungkin karena mau melahirkan jadi berdebar dan takut. Makanya bisa tinggi begitu. Aku selalu ada sama kamu, kok," ucap Arki.
"Makasih banyak, Mas. Kamu mau meluangkan waktu buat aku. Mana harus ninggalin toko lagi," ucap Laras merasa tak enak.
"Jangan ngomong gitu, dong. Kamu itu prioritas aku. Apalagi ada Raya sama Gading dan Sufi. Mereka bisa dipercaya. Jadi kamu enggak usah takut gitu, ya?" nasihat Arki.
Menunggu lama, akhirnya hasil tes keluar. Lembaran itu Arki bawa ke klinik di mana Laras sering memeriksakan kandungan. "Positif 2. Ibu mengalami preeklampsia."
"Apa berbahaya, Dok?" tanya Arkian.
"Jika tidak ditangani dengan baik keadaan ini berbahaya. Karena itu saya sarankan untuk rutin minum obat dan juga suplemen antioksidan. Kemungkinan saya juga menyarankan operasi caesar atau bisa melahirkan dini. Saya sarankan ibu melahirkan di minggu ke tiga puluh tujuh," jelas Dokter.
Laras dan Arkian saling tatap. "Baik, Dok. Lakukan apa pun yang terbaik."
Pulang dari klinik, Arki menelpon ibunya. Orang tua Laras ada di luar kota. Sementara Arki tak tenang jika meninggalkan Laras sendirian selama ia bekerja. "Enggak apa-apa ya, Bu?" tanya Arki.
"Emang kenapa? Dia menantu Ibu, sama saja anak ibu juga. Apalagi dalam kandungannya ada cucu ibu. Kapan Laras mau diantar ke sini? Biar ibu suruh Bibi beresin kamar buat kalian," jawab Ibu Arki.
"Makasih banyak, Bu. Besok pagi Arki ke sana antar Laras sekalian pergi ke toko, ya? Maaf Arki ngerepotin Ibu."
"Kamu itu. Emang aku ini siapa? Tetangga, sampai kamu minta maaf segala. Aku ini ibu kamu. Dari kecil aku rawat. Masa ngerepotin Ibu sendiri sampai minta maaf."
"Bukan gitu, Bu. Tahu sendiri Arki sudah menikah. Masa masih ngerepotin Ibu, sih? Kan enggak enak. Harusnya aku itu sudah bisa mandiri."
"Namanya juga musibah, Nak. Mau gimana lagi?"
Arki melirik ke arah tempat tidur di mana Laras sedang duduk dengan kaki berselonjor di atas tempat tidur. Wanita itu mengusap perutnya dengan wajah yang khawatir. Arki jadi merasa bersalah pada Laras. Dia merasa tak bisa melakukan apa-apa sebagai suami. "Minta doanya buat kami, Bu. Mudah-mudahan Laras baik-baik saja. Bayi kami juga," ucap Arki.
***
Di minggu ke tiga puluh tujuh Arki membawa Laras pergi ke rumah sakit. Wanita itu langsung ditempatkan di ruang perawatan menunggu waktu melahirkan. Laras akan melahirkan normal dengan cara diinduksi. Sebelum itu, Arki sudah diberitahu resikonya termasuk hal paling mengerikan, kematian ibu dan anak.
Tangan Arki menjadi dingin. Ia duduk di lorong rumah sakit sambil mengusap wajah. Arki berdiri dan berjalan masuk le ruang perawatan Laras. Didekati istrinya. Dia duduk di kursi yang berada di samping ranjang perawatan Laras. "Gimana? Tenang saja, ya? Dokter bilang semua akan baik-baik saja. Percaya sama diri kamu sendiri dan anak kita," ucap Arki.
Laras mengangguk. Tak lama dia pegang tangan suaminya. "Mas, kalau kejadian terburuk terjadi. Kalau aku harus ninggalin kamu dan anak kita. Tolong jaga dia dengan baik, ya?"
"Kamu ngomong apa, sih? Kamu baik-baik saja, Sayang. Kita bakalan pulang sama-sama. Kita bakalan asuh anak kita berdua. Antar dia sekolah, antar dia wisuda, antar dia nikah, ya?" tegas Arki.
"Aamiin. Aku bicara kayak gini kalau. Aku takut enggak punya waktu untuk bicara sama kamu. Aku takut kalau kamu lupa sama anak kita," timpal Laras.
"Ras," panggil Arki.
"Jangan bikin dia nangis karena kurang kasih sayang. Kalau kamu nikah lagi, carikan wanita yang bisa jadi ibunya. Jangan bedakan dia dengan anak kamu dengan wanita lain," tambah Laras.
"Ras, aku enggak akan nikah lagi. Cuman kamu. Karena itu, tolong jangan ngomong kayak gini. Semua akan baik-baik saja!" tegas Arkian.
Pembicaraan itu terpotong saat Dokter datang. Laras dipindahkan ke ruang bersalin. Arki tak bisa masuk. Dia hanya menunggu di depan pintu yang dingin sambil terus berdoa untuk keselamatan istrinya. "Ya, Allah tolong lindungi istri dan anakku. Aku enggak sanggup kalau harus kehilangan salah satu dari mereka. Apa bisa kalau harus membesarkan anak tanpa ibunya? Bagaimana aku tenangkan Laras jika dia harus kehilangan bayinya? Biarkan kami hidup bersama, Ya Allah," doa Arki. Ia menutup wajah dengan telapak tangan.
Tak sebentar waktu ia menunggu. Arki sampai bolak-balik di depan pintu. Terdengar suara langkah menghampiri. Arki menghadap ke arah suara. Terlihat orang tuanya datang pun dengan mertuanya.
"Ar, gimana Laras?" tanya Sofi, mertua Arki.
"Arki masih menunggu. Dokter belum terlihat keluar. Kita tunggu sambil berdoa saja, ya?" jawab Arki.
Bisa terlihat wajah pucat mereka semua. Arki kini berdiri bersandar ke tembok. Tak lama pintu terbuka. Terlihat Suster mendorong inkubator dan ada seorang bayi laki-laki di sana.
"Alhamdulillah," ucap Sofi.
Arki melihat putranya. "Sus, ini putra saya?" tanya Arki.
"Benar, Pak. Tapi mau saya tempatkan di ruang bayi dulu karena berat badannya kurang," jelas Suster.
"Baik, Sus." Mata Arki tak bisa berpaling dari putranya. Ia mengikuti sampai ujung lorong hingga Suster berbelok masuk ke dalam ruang bayi. "Kamu yang kuat, Anakku," ucap Arkian. Bayinya begitu mungil dengan kulit merah muda.
"Ada suaminya?" tanya Dokter keluar ruangan.
Arkian berbalik. Dia berlari menghampiri Dokter. "Istri saya bagaimana, Dok?" tanya Arki.
"Istri anda mengalami pendarahan hebat. Sekarang saja sudah kehilangan 700 ml darah. Kami masih melakukan transfusi darah. Mudah-mudahan lekas berhenti. Kami masih berusaha menghentikannya. Apalagi tekanan darah istri anda masih tinggi," jelas Dokter.
Di sana Arkian merasa lemas. Ia menunduk. "Kita berdoa sama-sama, Pak. Untuk kemungkinan terburuk, saya harap Bapak dan keluarga untuk bisa ikhlas."