Tak pernah Raya sangka, dia akan bertemu pria yang belakangan dia jauhi. Siapa lagi kalau bukan Bara. "Aku mau beli bubur, Kak," jawab Raya.
"Buat kamu?" Bara menyimpan sendok buburnya di dalam mangkuk.
"Buat Bapak. Kebetulan memang Bapak lagi sakit."
Mendengar itu, Bara merasa punya kesempatan. Dia mungkin gagal pendekatan pada Raya, bukan berarti gagal pula pada ayahnya. "Aku mau jenguk Bapak dulu, ya? Kamu beli saja. Biara ku yang bayar bubur," tawar Bara.
"Enggak usah, Kak. Raya punya uang, kok. Terus tadi Bapak sudah ke dokter. Kak Arki ngasih uang," tolak perempuan itu.
Bara mengerutkan kening. Pria itu berkacak pinggang. "Jadi kalau sudah ke dokter enggak boleh ditengok?" tegur Bara.
"Ya tengok saja. Tapi bubur biar Raya yang bayar. Soalnya Raya punya uang. Itu maksudnya," jelas Raya.
Bara mengangguk. Selesai makan, dia ikut Raya pergi ke rumah. Rumah Raya tak terlalu besar. Ada dua kamar di dalamnya, kamar orang tua Raya dan Raya sendiri. Karena anak satu-satunya, Raya tentu harus membantu ekonomi keluarga mereka. Apalagi ibu Raya sudah tak berkerja.
Bapak pun berkerja sebagai sopir tak setiap hari. Bu Liris sekarang lebih sering di rumah. Akibatnya Bapak kerja kalau ada panggilan saja. Tentu jika tak ada panggilan, Raya yang akan memenuhi kebutuhan keluarganya.
Itulah, bagi Raya sulit ingin menikah karena belum tentu suaminya kelak menerima kalau Raya bekerja untuk kedua orang tuanya. Kalau bukan Raya, siapa lagi? Sayang mencari pria seperti itu sulit.
"Assalamualaikum," salam Bara ketika masuk ke dalam rumah. Pintu rumah itu agak pendek, tak tahu Bara yang terlalu tinggi, pria itu harus menunduk saat masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikusalam," balas suara seorang wanita di dalam. Rupanya itu ibu Raya.
"Apa kabar, Bu Rusmi," sapa Bara.
"Baik, Den Bara. Ya Allah, ke mana saja? Kenapa baru sekarang ke sini?" tanya Rusmi.
Bara tersenyum sambil menatap nakal ke arah Raya. "Tadinya pengen ke sini, Bu. Tapi Raya bilang enggak boleh," ucap Bara.
"Siapa bilang enggak boleh. Aku cuman bilang mau ke rumah juga ngapain?" omel Raya.
"Emang enggak bilang enggak boleh ke sini. Tapi waktu kamu bilang kayak gitu kesannya kayak aku enggak boleh ke sini. Ngerti?" Bara mencubit gemas pipi Raya.
Sedang Raya langsung berjalan ke dapur meninggalkan mereka di sana. Jadilah Rusmi meminta Bara duduk di ruang tamu. Ruang tamu yang sempit. Ada dua sofa saja hanya menyisakan sedikit jalan hingga Bara harus berjalan menyamping untuk bisa lewat.
Di depan sofa ada sebuah televisi dua puluh satu inch yang masih mengenakan tabung. Rangkanya berwarna hitam dan ditutup bagian atasnya menggunakan taplak agar debu dari atap tak ikut masuk.
Di dapur, Raya memasukan bubur ke dalam mangkuk. Ia pun menyiapkan air putih untuk bapaknya minum. Mangkuk, gelas dan sendok dia tata di atas nampan.
"Raya! Sekalian bikinin Den Bara minum," pinta Rusmi.
Tangan Raya tadinya hendak mengangkat nampan, tetapi terhenti karena masih harus mengambil gelas dan membuat kopi untuk Bara. Tak lama Raya keluar dari dapur membawa nampan. Dia sempat berhenti dulu di ruang tamu untuk menyimpan minuman Bara.
"Kok kamu tahu aku suka minum kopi gula?" tanya Bara.
"Soalnya di rumah adanya itu. Ya pasti itu yang disuguhkan," kilah Raya membuat Bara langsung kecewa. Raya pamit dulu mengantar bubur ke kamar bapaknya.
Hendarto terbaring lemah akibat darah tingginya naik lagi. Bapak yang satu ini memang agak bandel. Walau sudah dibilang agar tidak makan ikan asin dan sate usus, tetap saja begitu. Alasannya karena enak dan ingin. Padahal Raya cerewet melarang ayahnya.
"Mau Raya suapin?" tanya Raya.
"Di luar ada siapa, Neng?" Hendarto penasaran. Dia mendengar suara orang mengobrol di ruang tamu.
"Ada Kak Bara. Katanya mau jenguk Bapak. Tapi itu dia lagi ngobrol sama Ibu.
Terdengar pintu diketuk. Bara berdiri di depan pintu. "Den Bara, sini masuk," ajak Hendarto.
Raya langsung menempatkan kursi di depan pria itu. Bara duduk di sana lalu memegang tangan Hendarto. "Bapak cepat pulih. Kasihan Raya pasti ingin lihat bapaknya sehat lagi. Memang Bapak sakit apa? Kenapa belakang sering banget aku dengar lagi sakit?" tanya Bara.
"Bapak, tuh. Berapa kali dibilang jangan makan usus sama ikan asin. Susah banget! Kayaknya kalau enggak lihat anak sendiri nangis kejer, enggak akan nurut!" omel Raya.
"Namanya sudah tua, wajar saja sakit," balas Hendar.
"Iya, tapi Raya takut kalau Bapak pergi. Terus Raya sama siapa?" Suara Raya mendadak serak setiap kali takut Bapaknya meninggal. Dia sangat sayang pada kedua orang tuanya.
"Makanya cepat nikah. Jadi enggak takut sendirian. Kalau masih sama Bapak ya pasti takut kalau Bapak tinggal. Kalau sudah nikah pasti lupa sama Bapak."
"Kalau gitu Raya enggak mau nikah. Soalnya Raya mau nemenin Bapak dulu!" tegas Raya.
Bara hanya tersenyum. "Pak, nanti jaga kesehatan. Enak ya kalau langsung meninggal. Kalau masuk rumah sakit gimana? Kena stroke gimana? Enggak enak, loh. Lagian juga mau Raya sudah nikah atau belum, kehilangan orang tua tetap saja rasanya sakit. Apalagi ayah dan ibu yang jelas besarin dari kecil."
"Tuh bener! Dengerin Kak Bara bilang apa! Bandel Bapak ini!"
Hendar tertawa mendengar omelan putrinya. Dia tatap Bara penuh pengharapan. "Den, nitip Raya, ya. Dia itu temannya enggak banyak. Anaknya susah gaul. Beruntung ada tiga kakaknya yang mau jagain dia. Takutnya dia digangguin sama laki-laki enggak bisa belain diri."
"Tentu, Pak. Aku bakalan jagain Raya. Habis Raya itu sesuatu yang paling berharga dalam hidup aku," jawab Bara membuat Raya tertegun. Hendar tersenyum. "Walau dianya galak terus sama aku, Pak," tambah Raya.
"Bukan galak! Tapi kalian bertiga itu emang kalau enggak digalakin makin ngelunjak. Apalagi Kak Aril. Tadi saja di toko dia maksa-maksa. Kesel aku!"
"Emang Aril kenapa?" tanya Bara bingung. Raya ceritakan kejadian tadi siang.
***
"Bi Nah bilang begitu. Katanya Arkian itu makannya belakang berkurang. Terus Dika, sudah mulai sering ingin punya Mama. Sudah dua wanita aku kenalin ke Arki dan selalu dia tolak. Katanya karena yang pertama enggak mau Bu Sofi masih berhubungan sama dia. Kedua karena perempuannya mau berkarir dan karirnya lanjut di luar kota. Ya enggak tahu benar atau tidak, atau alasan dia saja supaya aku maklumin, Jeng," curhat Liris. Dia sudah sangat pusing menghadapi sikap putra sematawayangnya.
"Aku juga merasa bersalah. Padahal selama ini aku enggak pernah sekalipun menuntut Arkian untuk tetap menduda. Aku sering minta dia mencari calon. Aku khawatir lihat Dika terus dibawa ke toko. Tahu sendiri gimana banyaknya orang yang datang ke sana. Lingkungannya juga kurang bagus untuk ngasuh anak. Mau diasuhin ke orang kurang percaya, tapi baik aku dan Bu Liris sama-sama sudah sepuh begini. Takutnya kurang mampu kalau harus mengikuti Dikara yang lincah. Jalan satu-satunya Arkian harus nikah sama perempuan yang mau jaga Dika," saran Sofi.
"Nah itu, anaknya enggak mau."
Sofi terdiam. Dia ambil cangkir teh dan meminum isinya secara perlahan. "Kalau begini terus, kita harus paksa, Bu. Harus lebih tegas. Gimanapun ini buat masa depan anak dan cucu kita. Arkian itu sudah kayak putraku sendiri. Jujur, lihat dia sering ingat sama Laras sampai ngelamun, aku yang merasa bersalah."
"Iya, Bu Sofi. Tapi gimana cara maksanya?" tanya Liris bingung.
Sofi kembali berpikir. "Kita minta bantuan Aril sama Bara dulu. Kalau bisa juga Raya. Panggil mereka bertiga ke sini. Mereka masih muda pasti tahu gimana nyari cara. Kita yang sudah tua gini mikir malah pusing, bukan dapat solusi," saran Sofi.
Liris kemudian menelpon Aril. Kebetulan pria itu baru selesai bekerja. Dari Aril lalu dilanjutkan pada Bara dan Raya. Kini, tinggal Raya yang meminta izin Arkian tanpa ketahuan kalau dia hendak ke rumah Liris.
"Tumben," ucap Arkian.
"Habis disuruh sama Bapak."
Arkian masih menatap heran ke arah Raya. "Dek, kamu itu kalau disuruh kencan buta pasti minta Kakak bilang sama Bapak kalau kamu enggak boleh izin karena enggak mau," tegas Arkian.
"Kali ini Raya mau. Raya lihat fotonya, dia ganteng." Raya merasa sudah sangat berdosa karena dusta.
"Alhamdulillah," ucap Arkian.
"Ih, kok Alhamdulillah?" tanya Raya kesal.
"Akhirnya kamu mau juga sama laki-laki. Aku malah takutnya kamu belok," celetuk Arkian membuat Raya mengambil penggaris dan memukulkan ke tangan Arkian.
Setelah mendapat izin, wanita itu lekas pergi ke rumah Liris. Ternyata Bara dan Aril sudah sampai lebih dulu. Jelas karena mereka memakai mobil.
"Raya, duduk sini!" ajak Liris. Dia minta Raya duduk di sampingnya. Liris usap rambut panjang Raya.
"Kamu ke mana saja? Kenapa enggak datang ke rumah?" tanya Liris.
"Bapak lagi sakit, Bu," jawab Raya.
"Innalilahi, sakit apa dia? Darah tinggi lagi?"
Raya mengangguk. "Iya, gitulah."
"Terus kamu gimana? Ibu beliin kamu baju baru. Besok pakai ke toko, ya? Sudah nyuruh Arki bawa, dia malah lupa. Ditinggal saja di sini. Ibu mau telpon malah pusing gimana caranya. HPnya baru Arki beliin. Ibu enggak ngerti," jelas Liris.
Raya tersenyum. "Nanti Raya bantu belajar, Bu," tawar Raya.
Setelah itu mereka melanjutkan pembicaraan. Liris dan Sofi mengungkapkan kekhawatiran mereka soal Arkian. "Dia kurusan. Karena dia jarang pulang, jadi kentara sekali. Selain itu Dikara. Masa dia masih terus diasuh sambil kerja. Bukannya enggak baik buat perkembangan anaknya."
Bara menganggukan kepala. "Arkian cuman takut Dikara justru semakin kurang kasih sayang setelah Arkian menikah lagi. Menerima anak wanita lain bukan perkara mudah, Bu," timpal Bara.
"Buktinya Ibu sayang sama Raya walau bukan anak Ibu. Perempuan lain juga bisa sayang sama Dikara kayak Ibu sayang sama Raya."
"Masalahnya zaman sekarang banyak yang jangankan sama orang. Sama anak sendiri saja kurang perhatian," timpal Bara. Dia tahu memang akan lebih baik Arkian menikah lagi, tetapi posisinya menikah terlalu dipaksa-paksa pun ujungnya tak baik.
"Ya sudah, gimana caranya dia bisa cari calon sendiri. Habis dia itu, calon dari ibu ditolak terus. Disuruh nyari pun banyak sekali alesannya." Liris terlihat sudah sangat kesal dengan perilaku putranya.
"Gimana kalo kita manfaatin Dikara," saran Aril. Rupanya pria itu sedari tadi diam karena memikirkan jalan keluar.
"Maksudnya gimana, Ril?" tanya Bara.
"Kita ambil Dikara. Terus bilang kalau Arki mau anaknya lagi, dia harus cari calon istri gimana pun caranya. Kalau enggak, Dikara tahan saja di rumah Bu Liris atau Bu Sofi."
Ide itu langsung diberi tepukan tangan oleh Bara. Tak lama Bara berhenti. "Terus kalau Dika enggak mau dipisah sama Arki gimana?"
Memang masalahnya Dikara sangat menempel pada Papanya. Kalau dipisah takutnya anak itu tidak mau. "Ada Raya. Dibanding Arkian, Dikara lebih dengar apa yang Raya bilang. Tinggal malam Raya nginap di sini saja. Pak Hendar, Bara saja yang jaga," saran Aril.
Mereka saling tatap. Raya tak yakin ide itu akan berhasil karena siangnya Raya harus di toko dan artinya siang tak ada yang menahan Dikara tetap mau dengan neneknya.
"Dikara kalau diiming-imingi demi ibu baru pasti mau. Apalagi kalau bilang Raya nanti nginap nemenin dia. Pasti Dikara mau. Anak itu nurut, kok," kilah Sofi.
"Ya sudah, kalau gitu Raya... kamu harus bikin Dikara mau punya ibu gimanapun caranya. Pokoknya sampai dia mau pergi dari Papanya dan tinggal di rumah Bu Sofi," saran Aril.
Raya mengangguk. "Mudah-mudahan bisa. Walau aku enggak tega sama Kak Arki dan Dika."
"Ini demi mereka, kamu sayang sama Dikara, 'kan?" tanya Liris. Raya mengangguk. "Jadi tolong mereka, ya?"
Raya mengangguk pasti walau hatinya sakit. "Aku tahu diri. Apalah aku ini, hanya anak pembantu dan sopir. Bagaimana bisa aku mengharapkan putra majikanku sendiri?" batin Raya.