Sepanjang perjalanan, hanya kebungkaman yang menyelimuti keduanya. Mereka sama-sama saling terdiam, tanpa ingin bertegur sapa, hingga pada akhirnya, mobil Langit sudah berada di halaman rumah Bintang.
Langit menghentikan laju mobilnya saat mobil sudah terparkir di rumah Bintang. Langit pun bergegas turun, lalu membukakan pintu mobil untuk Bintang.
Bintang bukanlah tipe gadis manja, yang turun dari mobil saja harus dibukakan pintunya. Namun, dengan senang hati, Langit akan melakukan itu, karena wanitanya begitu istimewa dan harus diperlakukan layaknya seorang ratu.
“Terima kasih,” ujar Bintang tulus, setelah ia keluar dari mobil.
Langit tersenyum. “Apa sih, gitu aja pakai terima kasih. Ingat, ya! selagi ada Langit, Bintang nggak boleh kerepotan. Karena Langit tercipta untuk menjadi pelindung Bintang.”
Bintang tersenyum kecut. Apa mungkin, Langit tercipta untuk Bintang, saat perbedaan terpampang jelas di depan mata? Apa Langit bisa menjadi pelindung Bintang untuk selamanya? Entahlah. Namun, yang jelas, sekarang Bintang tak ingin memusingkan hal itu. Kepalanya terasa sakit bila mengingat masalah rumit yang menimpa hubungannya dan Langit.
“Om langsung pulang, ‘kan?” tanya Bintang merasa tak enak, terkesan seperti mengusir. Bukannya Bintang berniat mengusir Langit, justru Bintang sangat senang kalau Langit bisa lebih lama di sini, tetapi itu sebelum ia tahu jika Langit bukanlah seorang muslim. Bintang terpaksa melakukan ini, karena ia tidak ingin hubungan mereka berlanjut terlalu jauh. Karena terlalu beresiko untuk sebuah hati yang harus patah akibat dari memaksakan sebuah rasa dengan iman tak sama. Mereka tidak akan bisa untuk saling menyatu, kecuali salah satu memilih untuk mengalah. Namun, jika sama-sama egois, hubungan ini tidak akan ada ujungnya. Hanya akan saling menyakiti keduanya. Sama-sama menginginkan, tetapi tak bisa tergapai satu sama lain.
Langit merasa sedikit kecewa dengan pertanyaan yang Bintang lontarkan. Jauh-jauh Langit ke sini hanya untuk gadis yang ia cinta, tetapi sepertinya gadis itu tidak mengharapkan kehadirannya lebih lama lagi.
“Kenapa Bintang? Kamu nggak mau aku di sini lebih lama? Kamu nggak suka kalau aku nyamperin kamu ke sini?” tanya Langit sendu. Binar kekecewaan di matanya, terlihat begitu jelas.
Bintang menggeleng tegas. “Bukan begitu, Om. Justru aku bahagia banget, karena Om bersedia samperin aku ke sini. Aku merasa sangat beruntung karena dicintai laki-laki sesabar dan setulus Om Langit. Tapi, Om tahu sendiri, kan, kalau rumah aku ini di desa. Banyak tetangga yang suka rese dan julid. Aku takut, kalau tetangga pada salah paham sama kita. Aku nggak mau mereka sebar-sebar gosip yang nggak benar,” kelit Bintang dengan perasaan yang semakin bersalah. Sebenarnya, bukan itu yang Bintang takutkan. Ia tidak peduli dengan omongan tetangga soal dirinya, tetapi ia takut pada perasaannya yang semakin dalam pada Langit, dan membuat Bintang susah melepas laki-laki itu. Bintang tidak bisa membayangkan betapa hancur perasaannya nanti saat harus merelakan cintanya pergi. Melihat jantung hatinya bersanding dengan wanita lain, yang tentu seamin dan seiman dengan Langit.
Langit menghembuskan napas berat. Dalam hati, ia masih ingin bersama gadisnya lebih lama lagi. Namun, bagaimana lagi, jika Bintang sendiri yang meminta Langit agar segera pulang. “Em, iya deh, aku pulang. Tapi, aku mau pamitan dulu sama mbak kamu, ya? Nggak pantas kalau laki-laki ngajak perempuan keluar, tapi pulangnya nggak pamit dulu sama keluarga.”
Langit sudah menarik tangan Bintang untuk masuk. Namun, Bintang masih terdiam di tempatnya.
Bintang mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Dilihatnya halaman rumah yang kosong. Tidak didapati mobil kakaknya yang terparkir di depan. Bintang pun bisa bernapas lega. Setidaknya, ia punya alasan agar Langit tidak berlama-lama di rumahnya.
Bintang menghentikan Langkah Langit dengan menarik tangannya.
“Om,” panggil Bintang.
Langit pun mengalihkan perhatiannya pada Bintang. “Iya, Sayang?”
Entah mengapa, panggilan sayang yang terlontar dari bibir manis Langit, membuat Bintang semakin dibuat mabuk kepayang. Rasanya, suara lembut nan maco itu terdengar begitu merdu. Membuat Bintang menjadi candu.
Bintang tampak terdiam. Kenapa perlakuan Langit pada Bintang begitu manis? Mungkinkah Bintang bisa melepas Langit dengan mudah? Mungkinkah usaha Bintang untuk menjauh dari Langit akan berhasil? Tuhan, tolong selamatkan cinta yang salah alamat ini!
“Aku lupa, kalau tadi Mbak Feby bilang, mau ke rumah mertuanya sama si Rensia. Mobilnya juga nggak ada. Di dalam nggak ada siapa-siapa, Om. Om langsung pulang aja, nggak papa.” Bintang menggigit bibir bawah bagian dalam dengan nada sedikit kikuk. Semoga, Langit percaya dengan alasan yang ia berikan.
Langit mengerucutkan bibir, kemudian membuang napas kasar. “Bintang, aku boleh peluk?” tanya Langit dengan tatapan memohon.
Untuk sesaat Bintang terdiam. Namun, pada akhirnya, Bintang menolak tegas permintaan Langit, meski dalam hatinya, ia juga merindukan pelukan hangat milik Langit. “Jangan, ya? Nggak enak dilihat tetangga.”
Lagi-lagi Bintang berkelit dengan alasan tetangga. Beruntung Bintang tinggal di lingkungan desa seperti ini. Setidaknya, itu bisa ia jadikan sebagai alasan.
“Sebentar saja.” Langit tak menyerah. Ia tetap berusaha untuk membujuk Bintang agar mau memberinya pelukan. Pelukan yang mungkin tidak akan bisa ia rasakan lagi setelah ini.
Pada akhirnya, Bintang tak kuasa menolak permintaan Langit yang dirasa cukup sederhana. Bintang mengangguk pelan. “Iya, boleh.”
Tanpa menunggu perintah dari Bintang, Langit langsung membuka tangannya lebar-lebar dan segera merengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Dipejamkan matanya erat-erat lalu menyandarkan kepalanya pada bahu gadis yang begitu dicintainya. Bintang pun membalas pelukan itu tak kalah erat. Mencari sumber ketenangan dan kekuatan dari pelukan Langit yang terasa begitu nyaman.
“Bintang, aku tahu kamu berbohong. Kamu nggak sedang takut untuk digosipin tetangga, karena kamu adalah tipikal orang yang bodo amat dengan cemoohan orang selagi kamu nggak salah. Kamu nyoba buat menghindar dari aku, ‘kan? Kamu mau menjauh dari aku, Bintang? Aku mohon jangan berubah ya! Lupakan perbedaan ini. Anggap aja kamu nggak tahu apa-apa soal aku, dan aku pun juga akan melakukan hal yang sama. Kita coba dulu, ya, Bintang? Aku janji akan secepatnya mencari jalan keluar untuk hubungan kita. Jangan dipikirin pokoknya!"
Perkataan Langit membuat Bintang tercengang. Percuma saja Bintang mencari berbagai alasan agar Langit segera pergi dari hadapannya. Langit sudah tahu tujuannya. Kalau seperti ini, apa Bintang masih mampu untuk menjauh dari Langit? Sementara Langit sendiri terus berusaha membuat Bintang semakin jatuh di pelukannya.
Bintang hanya bisa menghela napasnya dalam-dalam. Membiarkan udara masuk ke dalam saluran pernapasannya yang terasa sedikit sesak. Semua yang Langit katakan memang benar adanya. Ia hanya menjadikan tetangga sebagai alasan agar Langit tidak berlama-lama di rumahnya. Bintang takut. Bintang tidak ingin menjadi egois karena tidak bisa melepas Langit. Meski Bintang sendiri tidak yakin, apakah dia bisa menjauh dari laki-laki yang begitu dicintainya ini?
Bintang melepas pelukannya. “Maaf, Om. Aku nggak bermaksud buat bohongin kamu. Aku hanya ingin belajar ikhlas. Karena aku yakin, kita nggak akan bisa bersama kecuali—” Bintang menggantungkan ucapannya. Enggan meneruskan kalimat yang mana nantinya pasti akan membuat lelaki di depannya terluka, atau bahkan kecewa.
Langit yang menunggu kelanjutan perkataan Bintang dibuat semakin tidak sabar, karena Bintang tak kunjung melanjutkan ucapannya yang menggantung.
“Kecuali apa, Bintang? Apa yang bisa kulakukan agar kita tetap bersama?” desak Langit agar Bintang melanjutkan ucapannya.
Bintang masih terdiam, menatap Langit sendu. Mata Bintang terpejam untuk beberapa saat. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum mengatakan hal yang begitu berat ini. Ia tidak yakin, jika Langit akan setuju, karena memang tidak mudah. Resikonya begitu besar. Sebab, dalam hal ini, Tuhan lah yang dipertaruhkan.
“Kecuali ... kecuali kamu pindah ikut agamaku. Tapi, aku nggak mau, kalau kamu pindah hanya karena diriku. Aku mau kamu pindah, karena memang keyakinanmu pada Tuhanku yang tulus dan suci.”
Langit menggeleng tegas. “Nggak mungkin, Bintang. Itu nggak mungkin terjadi. Aku ini laki-laki, Bintang. Aku nggak bisa lakuin itu.”
“Emang, apa hubungannya kalau kamu laki-laki, Om? Aku bisa. Aku mau ajarin kamu dari awal. Aku bersedia bimbing kamu mengenal lebih dalam lagi tentang siapa Tuhanku, syaratnya cuman satu, asal kamu mau. Mau mengenal dan mencintai Tuhanku!” tukas Bintang dengan suara sedikit meninggi.
“Justru karena aku laki-laki, Bintang. Aku nggak bisa lemah untuk seorang wanita. Laki-laki itu seorang pemimpin. Ia adalah kepala dalam keluarga. Laki-laki yang berhak mengambil keputusan, Bintang. Kalau aku ikut kamu, mau ditaruh di mana harga diri aku, Bintang?” debat Langit tak mau kalah.
Bintang menatap Langit nanar. “Ya, sudah, kalau begitu lepasin aku, Om! Percuma hubungan ini dipertahanin, karena ujungnya kita nggak akan bisa bersatu. Ini masalah yang berat, Om. Masalah kita begitu sensitif karena menyangkut suatu keimanan. Sebuah agama yang kita anut sejak lahir. Saat kamu berat untuk melepas agamamu, aku pun juga begitu. Lebih baik kita saling lepas. Mungkin ini yang terbaik. Percayalah! Tidak mudah mengorbankan keyakinan hanya untuk sebuah perasan.” Air mata Bintang sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia menangis tersedu di sana.
“Kenapa nggak kamu saja yang ikut pindah ke agamaku, Bintang? Dengan begitu, kita bisa bersama-sama. Nanti, setelah kamu menikah, kamu nggak perlu kerja, kamu nggak perlu jadi penulis lagi. Kamu mau apa pun aku bisa berikan. Kamu mau belanja setiap hari, kamu mau ikut arisan, kamu mau ke pantai, mau jalan-jalan ke mana pun aku bebasin. Aku nggak akan larang. Masuk ke agama aku juga mudah, nggak ribet. Kamu hanya perlu dibaptis. Udah, itu aja. Mau, 'kan, ikut aku?”
Langit mengaitkan kedua tangannya lalu mengepelnya kuat-kuat. Binar harapan yang besar, terpancar dari kedua matanya.
Bintang menggeleng lemah. “Nggak bisa, Langit. Aku nggak mungkin korbanin akhiratku hanya untuk dunia yang fana. Aku takut Tuhanku murka. Aku nggak berani masuk ke dalam neraka-Nya.”
“Ya sudah, kalau Tuhanmu marah, kamu bisa menjadi anak dari Tuhan Yesus. Kalau Tuhanmu murka, masuk saja di surgaku. Aku juga punya surga, Bintang.” Langit tetap kukuh pada pendiriannya.
“Aku nggak bisa. Aku nggak mau berkhianat pada Tuhanku. Bagiku, keyakinanku sudah mendarah daging dalam hidupku. Begitu juga dengan kamu yang beranggapan jika keyakinanmu juga sudah mendarah daging di hidupmu. Kita Beda, Om. Kita beda jalan."
“Kenapa sih, Bintang? Kenapa? Di agama aku juga ada surga. Kita juga diajarkan untuk bersedekah, diajarkan cinta kasih pada sesama, diajarkan untuk berbuat kebaikan. Apalagi yang kamu takutin? Ayo masuk surganya Bapa bareng sama aku. Nanti di sana kita bisa hidup bahagia,” bantah Langit tegas.
“Om, tolong mengertilah. Ini pilihan yang sulit, Om. Kita sama-sama egois dalam hal mempertahankan keimanan. Kamu terlahir untuk mengalung salib, dan aku dididik untuk memeluk tasbih. Kita tak sama, Om.” Suara Bintang melirih.
“Tuhan kita cuman satu, Bintang!” seru Langit sedikit geram. Kenapa gadisnya begitu keras kepala?
“Lakuum dinukum waliyadiin. Untukmu agamamu dan untukku agamaku. Meski aku wanita yang sarat akan ajaran agama, tapi aku mengerti jika iman kita berbeda, Langit! Jangan buat aku semakin sulit buat lepas kamu. Tolong!” Bintang begitu memohon. Entah sesembab apa matanya saat ini. "Kita tidak bisa saling memaksa untuk menyembah kepada siapa dan tunduk kepada siapa hanya demi sebuah cinta dunia. Tolong!"
Melihat itu, Langit pun kembali menjatuhkan pelukannya pada Bintang. Direngkuhnya tubuh gadis itu erat-erat. Ia mendadak bungkam atas apa yang Bintang katakan. Gadis itu benar-benar luar biasa pikirnya. “Lupakan masalah ini Bintang! Kasih aku waktu. Aku akan bicara ini sama Mama. Aku mohon, kamu jangan menjauh dari aku! Tunggu kabar dari aku. Habis ini aku pulang ke rumah, dan langsung bicarakan ini sama Mama. Tolong, kamu sabar dulu.”
Langit merasakan kepalanya sudah mau pecah. Ia sudah tak bisa berpikir lagi. Dirinya butuh waktu untuk mengambil keputusan yang tak mudah baginya.
Bintang mengangguk lemah sebagai jawaban. Ia juga bingung harus berbuat apa.
Langit mengurai pelukannya. Bintang yang masih terisak dengan mata yang sembab, hanya bisa menekuk wajahnya.
“Kenapa cemberut gitu? kalau cemberut, hidungnya makin pesek. Hilang itu, loh, hidung kamu,” canda Langit agar Bintang bisa sedikit terhibur dan melupakan sejenak kesedihannya.
Bintang memegang hidungnya. “Mana ada! Orang mancung juga,” protesnya tak terima. Mentang-mentang Langit lebih mancung dari Bintang, bukan berarti Langit bisa meledek hidung Bintang seenaknya.
“Buktinya, mancung punyaku.” Langit memamerkan hidungnya yang bangir.
Bintang mengerucutkan bibirnya sambil menatap sinis ke arah Langit. “Biasanya, orang yang hidungnya bangir itu tukang bohong,” tandasnya pada sang kekasih.
Langit yang disindir secara terang-terangan, ia terlihat acuh tak acuh. “Cuman orang syirik yang berani nyindir, tapi nggak mau menerima kenyataan.”
“Cuman laki-laki doang yang nggak pernah mau ngalah!” tukas Bintang.
“Cuman perempuan aja yang merasa dirinya selalu benar!” pungkas Langit.
Bintang hanya terdiam. Lagi-lagi, dirinya pasti akan kalah jika harus berdebat dengan Langit.
"Terserah kamu aja lah, Om! Jadi pulang nggak nih?" ujar Bintang mengingatkan.
"Oh ... ngusir ceritanya?"
Bintang meringis sembari merunduk dalam. "Eh, bukan gitu maksud aku, tapi kalau kamunya peka, ya, nggak papa sih!"
"Bintang!!!"