"Eh, ada Kakak di sini. Mau jemput Adek?"
Aku menyodorkan tangan kananku agar Aldrich mau menjabatnya. Dia sama sekali tidak mengindahkan permintaanku itu, dan malah asyik dengan gadgetnya. Ada apa dengan anak ini? Atas inisiatifku, aku mengambil tangan dan menjabatkannya sendiri, dengan senyum yang kubuat selebar-lebarnya.
Sudah masuk hari ketiga Rangga dirawat. Aku merencanakan kepulangannya sore ini, karena sudah lebih dari dua puluh empat jam, gejala demamnya tidak muncul lagi. Anak lucu sehat ini, makin dekat denganku.
Saat aku kembali lagi setelah melengkapi status rekam medisnya dan memberi tahu perawat bahwa Rangga sudah boleh pulang, kini tangannya sudah terentang lagi di depanku. Matanya begitu jernih dan teduh. Benar-benar makhluk kecil suci tanpa dosa. Dan itu membuatku ingin segera mendekapnya erat. Semakin dia pulih, semakin banyak pula kosakata ocehannya yang baru aku dengar.
Di bangku panjang luar ruangan, aku melihat Baim sedang duduk santai, sambil fokus mengotak-atik handphonenya. Mungkin dia adalah orang kepercayaan Rey, yang diberi mandat untuk menjaga anak pertamanya. Karena dua hari terakhir ini, setiap Aldrich menjenguk adiknya, di situ pula ada Baim.
Rey? Dia tidak sedang ada di sini. Dari info yang aku dapat dari sang bodyguard, dia sekarang sedang dalam perjalanan dari Singapore. Memang sejak misi melarikan diriku di hari pertama, aku tidak melihatnya lagi.
Berhasilkah usaha tipu muslihat, yang aku tiru dari drama yang sering mama tonton itu? Sebodoh itu kah dia atau aku yang terlalu pintar? Haha ... Aku tidak tahu. Yang pasti aku lebih merasa aman tanpa dia di sini.
Kata Bi Wati, Rey selalu pulang pergi Indonesia-Singapore tiap akhir pekan. Itu sudah menjadi jadwal tetapnya.
Aku sudah menyelesaikan masalahku dengan sang senior cantik, yang tidak terima pasiennya direbut. Dengan imbalan harus melayani semua pasien kelas tiga selama seminggu ke depan, yang notabene nya merupakan jumlah terbanyak dari kelas lainnya.
Gosip hangat di rumah sakit tentangku dan Rey, juga kian menyebar. Taburan bumbu micinnya kini bertambah banyak. Aku bahkan digosipkan sebagai tunangan dan calon istri Rey.
Setiap mampir di nurse station, dan mereka menanyakan kejelasannya, aku hanya tersenyum dan memberi klarifikasi bahwa aku hanya dokter yang baru ditemuinya tiga hari yang lalu. That's it. Tiada hari tanpa konferensi pers.
"Kak, kamu daripada main game mending bantu Tante bikin origami yuk. Buat pasien Tante dokter. Udah bisa bikin origami burung belum?"
Aku mengeluarkan dari tote bag besar yang aku bawa setumpuk kertas origami, gunting, contoh origami burung yang sudah jadi, dan sekotak pie s**u yang dibuat Mama tadi pagi.
Rangga sudah lebih dulu mengambil origami burung dan membongkarnya.
"Alah Tante. Gitu aja mah Miss Franda tiap hari udah ngajarin. Al udah bisa. Udah bosen Tante."
Aku terperanga, dan bertepuk tangan.
"Woho.. Hebat dong. Kalo gitu bikin yang lain. Coba mana sinih iPad Al buka youtube nya. Tutorial ... Bentuk ... Origami. Nah! Ketemu! Pilih yang mana, Al?"
"Tante kok nyontek youtube sih?"
"Iya dong Al. Kepala kita itu harus diisi sama hal yang penting-penting, bagus-bagus aja buat kita ke depannya. Ga semua mesti disimpan di memori."
Aku mengusap kepalanya. Memberinya senyuman hangatku.
"Tapi kalo origami ini jadi penting karena kita lakukan berulang-ulang, bikin kita seneng, lama-lama juga nanti kesimpen di kepala. Kayak si burung. Tante udah ga nyontek dong bikinnya. Hahaha!"
Kami ikut tertawa bersama dengan Bi Wati yang memangku Rangga di sampingku. Tangan kami sibuk melipat-lipat kertas ini dengan berbagai bentuk.
"Wohoo ... Keren ya kita? Yeay, great job, Al, Bi, Rangga!!"
Aku menawarkan telapak tanganku untuk ber high-five bersama. Kami sudah tidak hanya mengulum senyum lagi. Hanya tawa gembira ria selepas-lepasnya beradu memenuhi isi ruangan besar ini.
"Great job Tante Lani, Dek Ga, Bibi!"
Di depan kami sudah tertata rapi dua puluh origami berbagai jenis. Bunga, pesawat, ikan, perahu, kupu, sepatu, katak, dinosaurus, wortel juga kerangka tangan manusia.
"Dah! Sekarang, pie-nya dimakan. Tante bales w******p temen Tante dulu."
"Tante."
"Ya?"
Aku menoleh ke arah Aldrich. Menatap matanya yang terlihat sendu, setelah kegiatan menggembirakan kami beberapa menit lalu.
"Kata Papa, nanti Tante ya yang nemenin Al main di rumah?"
"Main? Owh ... Iya iya. Tante sekarang kerja sama Papa buat nemenin Al sama Rangga main. Bantuin Bi Wati."
"Kenapa gak Papa aja yang nemenin Al main? Kenapa Al sama Dek Ga selalu dititipin ke sana kemari? Kenapa Papa kerja terus? Papa sayang gak sih sama Al?"
Hatiku ikut teriris.
Aku melihat mata Aldrich sudah menggenang air, yang siap meluncur. Ia mengusap air matanya tanpa merengek. Aku yakin dia anak kuat dan hebat. Bisa menahan perih perasaannya, tanpa menjadi cengeng layaknya kebanyakan seusianya.
Aku berbalik padanya, memeluknya, dan mengusap kepalanya. Memberi pengertian bahwa ia tidak sendiri.
"Al tau gak yang namanya menggerakkan ekonomi?" Aldrich menggeleng.
"Papa itu gak cuma sayang sama Al sama Rangga aja, tapi saaayang sama semua orang, yang bahkan jumlahnya gak bisa Al sangka-sangka. Beribu-ribu mungkin?"
Aldrich mendongak dan menatapku penuh tanya. Alisnya mengernyit. Eh ini Aldrich udah tau belum ya, apa itu ekonomi?
"Papa kerja sebagai pemimpin. Itu Papa sedang menggerakkan ekonomi. Ekonomi itu kerja. Ngasih kerjaan. Ya ke Tante, Bibi, Om Baim, Om Nathan, Pak Danu, dan mungkin ribuan karyawan Papa di kantor. Biar kami bisa kerja, dapet uang, dan bisa beli makan, baju, mainan buat keluarga kami semua. Kalo ga ada Papa, kita kerja di mana hayo? Al tega emangnya kalo Bibi, Tante, Om Baim, Pak Danu kelaperan karena gak kerja dan ga punya uang?"
Aldrich menggeleng.
"Dan kalo Papa sayang sama banyak orang, udah pasti sayangnya ke Al dan Rangga lebih lebih baaaaanyak lagi. Karena kalian anak Papa. Kesayangan Papa. Jadi kalo Papa pulang kerja, jangan lupa dipeluk ya?"
Bi Wati yang sedang menggendong dan memberikan Rangga s**u, ikut menangis. Dia lah salah satu saksi hidup anak-anak Rey Wiraditama dalam menjalani masa kecil melelahkan, yang lebih mereka habiskan dengan orang lain, daripada Papanya sendiri.
Aku tidak bisa dan tidak mau menghakimi Rey sebagai orang tua yang tidak baik. Karena posisinya sebagai single parent and of course a businessman, sudah memaksanya jauh dari anak-anak secara tidak langsung. Ia pasti juga tidak akan berkilah, bahwa jauh di lubuk hatinya, Rey sangat menginginkan lebih banyak momen dengan anak-anaknya ini.
Tanpa kami sadari, dari arah punggungku, sudah berjalan seorang laki-laki besar berkemeja hitam yang langsung memeluk dan mencium Aldrich, diikuti dua orang berjas hitam yang berdiri agak jauh di belakangnya.
Tangan kokohnya erat menepuk punggung Alrich yang sesengukan. Tapi matanya menghunus tajam ke arahku dan tersenyum. Senyum tulus dan teduh. Matanya sedikit merah. Dia kurang tidur? Atau usai menangis?
Beberapa detik aku ikut tenggelam dalam bayangan matanya.
Aku mematung.
Ada debar aneh yang merambat di jantungku. Saat tersadar, aku membuang pandangan dan segera berdiri.
"Karena Papa udah datang, tante turun dulu ya? Mau ngasih ini ke pasien Tante. Ini yang rumah buat Bibi, mobil buat Al, burung buat Rangga, dino buat Papa, perahu Om Baim sama katak buat Om Nathan ya?"
Aku menunduk membagi hasil origami kami tadi dan memunguti sisanya juga segala perlengkapan yang kami pakai. Aku sudah tidak berani lagi menatap Rey dan Al, takut kalau-kalau mata kami saling bertemu dan keadaan menjadi canggung.
Saat aku sudah di luar pintu, aku baru bisa menghela nafas lega. Hanya lima detik, karena setelahnya Rey keluar dan membuat jantungku berdebar lagi.
"Pie kamu."
Rey memberikan kotak makan yang tadi aku bawa. Isinya masih sisa setengah. Aku mencoba menjawabnya dengan ekspresi yang kubuat sedatar mungkin.
"Ah ya .. Ditinggal aja ini, buat kalian."
Sebelum sempat berbalik, Rey memanggilku lagi.
"Lanisa. Makasih udah temenin anak-anak hari ini."
"Iya sama-sama."
"Kamu pinter juga ya ngasih pengertian ke mereka."
"Owh iya dong. 'Kan saya dokter anak. Bapak berani gaji saya berapa dapet sitter sepinter saya ini?"
"Lifetime salary mau? Jadi istri aku? Kamu kayaknya cocok jadi mamanya anak-anak."
Hah?!
Tiba-tiba saja jantungku seperti akan meloncat keluar, badanku menjadi dingin tak karuan dan mungkin mukaku sudah pucat pasi. 'Dia bilang apa? Gak! Gak! Ini dia yang gila atau gue yang salah?'
Aku langsung berbalik. Berjalan cepat, hampir berlari. Kabur tanpa menjawab pertanyaan absurb-nya barusan.
'Ya Allah bantu hambaMu ini, hamba gak mau terjebak sama orang sulit macam dia.'
-----------------------------------
***