Bab 3

1180 Kata
“Hmmm gak ada sih, Mas … tapi kemarin tuh dia ada tanya-tanya ke aku masalah tiket pesawat! Aku kira kalian mau liburan!” “Apa? Tiket pesawat? Ke mana dia beli tiketnya?” tanyaku menelisik Dika. “Gak bilang sih, Mas … tanya aja sih ama Mbak Firanya langsung,” ucap Dika dengan santai. “Ok, Ok, thank you, Dika.” Aku menutup panggilan telepon. Dasar bocah, kalau aku tahu juga gak bakal nelepon dia. Baiklah sejenak aku harus mengesampingkan dulu urusan Safira. Sudah siang banget. Semoga Marfet masih bisa di tangani dengan baik oleh Edo dan Devina. Jangan sampai project ini gagal atau reputasiku akan hancur berantakan. Aku menepikan mobilku dan menyimpannya di parkiran. Gegas langkah terayun menuju lobi. Bayanganku Marfet pasti saat ini masih meeting dengan Edo dan Devina. Mengalihkan issue agar tidak tahu jika aku telat. “Pagi, Pak!” Sindi---sang resepsionis menyapaku. Tampilannya tampak segar. Dia memang gadis yang sedang ranum-ranumnya. Tidak salah kalau Edo betah banget ngintilin gadis itu. "Pagi!" Aku menyapanya seraya mengulas sekilas senyum. Langkahku mengayun cepat agar cepat tiba di ruanganku. Tas kerja kusimpan begitu saja di atas meja. Hanya laptop yang kuambil, di mana ada bahan untuk meeting hari ini. Aku berjalan menuju ruang meeting tiga, di mana aku mengarahkan Devina untuk menahannya dulu. Namun baru saja aku hendak mendorong pintu itu. Dua orang keluar dari dalam dengan wajah ditekuk kesal. “Saya tidak sudi menjalin kerja sama dengan perusahaan tidak professional seperti ini. Kami hanya punya waktu sedikit dan sudah kami luangkan. Saya sudah tidak berminat lagi melanjutkan kerja sama ini!” ucapnya ketika Devina berusaha menahannya. Marfet menoleh sinis ke arahku. "Permisi Pak Irfan! Akhirnya kami tahu, jika Anda hanyalah tipe orang yang tidak bisa menghargai waktu!" ucapnya. Aku mematung menatap wajah yang memerah menahan amarah itu. Kulirik Devina dia menunduk seperti menyembunyikan rasa takut. Marfet dan satu orang asistennya berjalan lurus ke luar meninggalkan kami yang kini membisu. Aku menghela napas kasar. Ada hal yang harus aku tanyakan pada gadis itu. Kenapa dia tidak bisa menyelesaikan pekerjaan sesederhana ini. “Devi, ikut saya!” Aku melangkahkan kaki menuju ruang meeting yang ada di samping ruang itu. Sebuah ruangan yang lebih kecil pastinya. “Bisa jelaskan kenapa mereka bisa meninggalkan ruang meeting sebelum saya datang? Dan kenapa mereka semarah itu?” tanyaku penuh kekesalan. Kenapa semua wanita itu tidak ada yang bisa diandalkan. Safira masih membuat kepalaku berdenyut nyeri, kini Devina bahkan membuat pekerjaanku menjadi rumit. “M-maaf, Pak! Saya dan Pak Edo sudah berusaha mengalihkan perhatian mereka tentang issue keterlambatan Bapak. Namun Pak Marfet orang yang gak sabaran, dia malah marah-marah tadi di dalam,” jawab Devina sambil menunduk. “Kamu itu baru diberi kerjaan segitu saja udah gak bisa selesaikan! Percuma perusahaan ini menggaji kamu!” Di luar kendali, aku malah menghardik gadis itu. Satu gebrakan pada meja kulampiaskan sebagai ungkapan kekesalanku. Bagaimanapun ini adalah project terpenting yang selama ini susah payah kucari titik celahnya. Kini ketika pintu gerbang itu dibuka mata, semua harus hilang begitu saja. Kuberjalan ke luar meninggalkannya sendirian. Aku tidak tahu marah pada siapa sebetulnya. Namun kepalaku yang berdenyut tidak karuan dan dipenuhi bayangan Safira membuat moodku benar-benar berantakan. Aku menghempaskan tubuh di kursi goyang milikku. Kubuka laptop dan meneguk air bening yang sudah disiapkan oleh office girl setiap pagi. Perut kini terasa lapar. Ternyata tanpa Safira, aku sudah melewatkan satu kesempatan emas untuk mendapatkan project itu. “Bro, sorry! Ternyata calon customer lu kepala batu. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi dia malah memaki-maki Devina di dalam tadi. Marfet, menyalahkan Devina atas pengaturan jadwal yang tidak sesuai!” Aku mendongak ke arah lelaki itu. “Ok, gak masalah! Thanks ya, Bro!” tukasku. “Yoyoi!” Edo berjalan menuju ruangannya. Layar di laptopku menyala. Kuteguk lagi air putih di atas meja. Perut ini terasa perih. Aku berjalan ke luar. Aku duduk tepekur di smoking area sambil menghisap satu batang rokok untuk menenangkan carut marut isi kepala. Kulirik dari kaca lobi kantor Devina berjalan ke arah dalam, dari kamar mandi sepertinya. Bodoh, kenapa juga aku menghardiknya? Dia sudah membantuku dan tidak salah apa-apa. Aku merutuki diri sendiri. Namun sesegera mungkin kuharus bisa mengendalikan kekesalan ini. Sebatang rokok bagiku bisa menjadi obat penenang. Gawaiku yang kuletakkan dalam saku bergetar. Segera kuusap layar dan menerima panggilan masuk itu. “Hallo, Mah!” sapaku pada wanita yang menelponku. “Irfan! Sejak kapan mama mengajarimu berbohong! Sejak kapan mama mengajarimu untuk menyakiti wanita! Pulang kerja kamu ke rumah mama! Mama dan Papa mau bicara sama kamu!” Hardiknya dengan penuh kekesalan. Aku tidak mengerti ada apa lagi ini. “Ada apa sih, Mah?” Aku mengerutkan dahi tidak mengerti. Namun panggilan sudah ditutupnya. Ya Tuhaaan, ada masalah apa lagi ini? Menyakiti hati wanita? Siapa memangnya yang kusakiti? Kubenamkan sisa puntung rokok yang masih panjang. Aku berjalan kembali ke dalam, meminta resepsionis memanggilkan office girl untuk membuatkan kopi untukku. Aku segera berjalan menuju ruanganku. Kulirik Devina yang berada di kubikelnya tengah menyeka matanya. Apakah dia menangis karena kubentak tadi? Hari ini berlalu dengan kacau. Aku benar-benar sudah kehilangan project dan kehilangan konsentrasi juga. Ketiadaan istri dan anakku benar-benar membuat otakku tidak bisa bekerja dengan baik. Aku meminta Devina untuk membatalkan semua meeting dan mengatur ulang jadwal untuk pekan ini. Pekerjaan yang biasanya menggugah selera kini tampak hambar. Biasanya aku tidak pernah pulang sore terlebih setelah menjadi seorang manager. Waktuku lebih banyak kuhabiskan bersama berkas di kantor dan Devina pastinya yang selalu menemaniku sebelum kuijinkan untuk pulang. Namun hari ini sebelum bell berbunyi aku sudah mengemasi barang-barangku. Aku akan berkunjung ke rumah orang tuaku. Telepon dari mama yang tidak jelas tadi cukup mengganggu. Devina yang terkena marah olehku rupanya pulang awal juga. Tampak dia sudah mematung di depan gerbang. Sepertinya sedang nunggu angkutan yang lewat. Tiba-tiba terbersit perasaan bersalahku karena telah memarahinya. Aku menghentikan mobilku di sampingnya. “Dev, ayo saya anter pulang!” Aku menawarinya karena kebetulan kami searah. Aku pun akan langsung pergi ke rumah orang tuaku. “Gak usah, Pak!” Sepertinya Devina masih marah. Dia hanya diam mematung. “Ayo, saya antar! Ini perintah, jangan kebanyakan membantah!” ucapku. Akhirnya gadis itu membuka pintu mobil dan duduk di sebelahku. Dia memalingkan wajah menatap kaca jendela di sebelahnya. “Untuk hal yang tadi saya minta maaf! Pikiran saya sedang kalut soalnya!” ucapku sambil menghela napas. “Iya, Pak … gak apa-apa,” lirihnya. Membuat rasa bersalah ini semakin menjadi. “Sebagai permintaan maaf saya, besok saya traktir makan siang!” ucapku. Dia menoleh, ada binar dari kedua netranya. “Makasih, Pak … jadi merepotkan!” Mudah sekali mengubah sedihnya menjadi senyuman. Hanya sebatas hal sederhana saja makan siang sudah membuatnya melupakan kesedihannya. “Ok, nanti ajak aja teman-teman divisi lain juga!” ucapku. Dia mengangguk. Kini senyuman manisnya sudah kembali. Sedikit lega hati ini setidaknya aku tidak terlalu merasa bersalah padanya. Setelah menurunkannya. Aku segera menuju rumah orang tuaku yang bisa ditempuh dengan waktu sepuluh menit dari kediamannya. Aku mengetuk daun pintu dan mengucap salam. Tidak lama pintu terbuka. Plak! Sebuah tamparan yang kuterima. Aku mengernyit sambil menatap kedua netra yang menyorotku  penuh kemarahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN