Edo berteriak, menutupi telinga dan menekuk kedua kakinya di atas ranjang. Ia terus berteriak seakan merasa kesakitan, wajahnya memerah dan matanya melotot menatap marah ke arah Mela yang bangkit dan berusaha menenangkannya.
"Do, kamu kenapa?!" Tanya Mela, setengah berteriak karena khawatir. Ia memegang kedua tangan Edo yang masih menutupi telinganya. Di satu sisi Mela ketakutan melihat raut wajah Edo yang berbeda dari sebelumnya yang biasa terlihat lembut tapi kini berubah menjadi bengis dan sangar.
Edo menepis tangan Mela dan membuatnya terjatuh terbaring di ranjang lagi.
"Pergi dari tubuh gue!! Pergi!!" Edo terus memohon.
Mela yang melihatnya bangkit dan duduk sambil menggeser tubuhnya ke belakang hingga membentur ranjang
Tiba-tiba Edo mendongakkan kepala sambil memejamkan mata. Ia tak lagi berteriak, justru sikapnya menjadi tenang.
Secara perlahan Edo membuka kedua matanya dan menatap wajah Mela yang terlihat cemas dengan tatapan serius dan.. terlihat berbeda.
Edo merangkak mendekati Mela mengeluarkan sebuah kalimat dengan suara pelan. "Kau sempurna, Cantik." Tangannya memegang pipi Mela sambil menyeringai.
Ia mendekati seakan menghirup aroma tubuh Mela lalu kembali menatapnya. "Still virgin…"
Mela mengernyitkan dahi tanda tak memahami sikap dan ekspresi wajah Edo yang berbeda..seperti berhadapan dengan pria lain pada satu tubuh.
Mela bangkit dan bermaksud untuk beranjak dari ranjang tapi tak bisa. Dua tangan kekar Edo memegang bahu Mela dan membuatnya kembali berbaring.
"Lepasin aku, Do! Kamu kenapa sih?!" Pinta Mela sambil meronta.
Edo berhasil mencengkram kedua tangannya yang terlentang di atas kepala. Ia mendekati wajah Mela dengan nafas yang berkejar-kejaran. "Kau lah yang aku tunggu selama ini." Bisiknya.
Mela tidak berhenti meronta dan mengabaikan ucapan dan sikap Edo. "Tidak! Kamu aneh, Do! Lepasin aku! Lepasin aku sekarang!"
'Plakk'
Sebuah tamparan melesat dan hinggap pada pipi Mela. Wajahnya memerah dan terasa perih.
Tangan Mela spontan memegang pipi. "Kamu--" Air matanya mengembang, merasakan sakit dan terheran dengan sikap Edo yang berubah dengan cepat.
"Aaakh--" Edo kembali berteriak tanpa sebab. Kedua tangannya meremas-remas rambut lalu bangkit dari ranjang dan terduduk di atas lantai.
Mela turun dari ranjang, dengan cekatan dia mengambil dan mengenakan kembali gaun putihnya.
"Jangan pergi." Cegah Edo, menarik tangan Mela. Ia mendongak, menatap meminta iba dan air matanya menetes berharap Mela tak pergi meninggalkannya.
Ia kembali. Edo yang pertama kali ia kenal telah kembali.
Mela menepis tangan Edo dan berjalan mundur ketika Edo bangkit dari duduknya. Ia menggeleng ketakutan. "Tidak. Kamu aneh, Do. Kamu sudah menampar aku dan--"
Edo kembali meraih tangan Mela yang berusaha meronta. "Aku gak memukul kamu, Mel. Aku hanya ingin mencumbumu dan... aku gak ingat lagi." Edo membela diri lalu meraih tubuh Mela dan memeluknya.
"Aku minta maaf, Sayang. Jika aku--" Tangan Edo mengelus lembut pipi Mela yang merah karena bekas tamparan. "Menamparmu lagi atau berbuat jahat. Kamu bisa membalasnya." Sambungnya lagi dengan suara pelan.
Mela menggeleng dan mendorong pelan tubuh Edo. "Kamu aneh, Do!" Menatap tajam Edo. "Tidak. Orang-orang disini aneh semua. Wanita tua itu, Sophia dan kamu!" Tuduh Mela berusaha tak mempercayai ucapan Edo lagi. Dipikirannya hanya satu sekarang.
Pergi dari sana secepatnya !
Mela membalikkan tubuh bermaksud untuk pergi tapi tangan Edo kembali menarik dan memeluknya lagi. "Aku gak akan membiarkan kamu pergi, Mel. Aku benar-benar sayang dan gak mau kehilangan kamu." Ia semakin mengeratkan pelukannya.
Mela menggoyang-goyangkan tubuh agar terlepas dari pelukan Edo, tapi tak bisa. Akhirnya ia menyerah membiarkan Edo memeluknya erat.
⚫⚫⚫
Apartemen Paradise island-Jakarta Selatan
"Ini foto dan data wanita yang menghilang selama sebulan terakhir. Rata-rata usia mereka diatas 20 tahun, cantik dan seksi.." Ucap salah satu pria berambut gondrong, bermata sipit dan bertubuh kurus pada lawan bicaranya yang sedang duduk santai di sofa sambil meneguk pelan secangkir kopi luwak.
"Lu bisa serius dikit gak sih, Den?" Tanya pria berambut gondrong itu sambil menguncir rambutnya yang sebahu dan duduk di depannya.
"Deny Alfiansyah?! Gue ngomong sama lu, Bro." Ucapnya lagi, tangannya meraih secangkir kopi yang baru saja ditaruh diatas meja milik kawannya tadi lalu meneguknya pelan.
Pria yang bernama Deny tadi menggeleng melihat kawan seperjuangannya merebut dan menghabiskan kopi miliknya.
"Memangnya gak ada kasus lain selain harus nyari cewek hilang? Kasus pembunuhan di apartemen SC lebih menarik perhatian gue, Rey." Balas Deny, mengambil lembaran kertas di atas meja lalu membacanya pelan.
Tak ada lima menit Deny kembali menaruhnya lagi diatas meja. Ia menghela nafas sambil menyandarkan punggung. Tangannya memegang ponsel dan mengetik sebuah nama. "Jeslyn Angelic." Gumamnya. "I got it!" Seru Deny sambil tersenyum lebar memandang ponsel.
Rey terkejut dan penasaran. "Apaan sih?" Ia bangkit lalu mendekati Deny dan mengintip ponselnya. Tak lama Rey menggeleng dan berdecak kesal.
"Gue kira elu dapat petunjuk tentang tuh cewek ternyata--"
Deny tertawa senang berhasil mengerjai Rey yang antusias dengan kasus yang baru saja diberikan oleh atasan mereka. "Kenapa? Elu gak senang nonton kayak beginian?" Tanya Deny, menghentikan tawanya sambil menyodori ponsel ke arah wajah Rey.
"Gue gak ada waktu buat nonton bokep! Lagipula...gue jomblo." Balas Rey dengan suara melas saat mengatakan kata 'jomblo'.
Deny tertawa terbahak-bahak melihat sikap Rey yang dingin setiap kali melenceng dari topik pembicaraannya. Pria yang telah menjadi partner dalam menuntaskan beberapa kasus selama 3 tahun terakhir ini memang terkenal keseriusannya dalam bekerja, tak sama dengan dirinya yang santai tapi pasti. Seperti yang ia lakukan sekarang, membuka situs dewasa hanyalah sebuah candaannya saja. Ia memang telah mendapatkan petunjuk untuk kasus yang harus mereka selesaikan.
Instagram.
Deny membuka i********: lalu memperlihatkan ponsel itu kembali ke wajah Rey. "Nih! Perhatiin baik-baik tanggal terakhir si Jesyln buat postingan!" Ucap Deny.
Rey merebut ponsel dari tangan Deny. "Untung akunnya gak di gembok.."Gumam Rey sambil melihat satu persatu postingan Jesyln, tak lama ia mengeluh kesal.
"2.450 pengikut. Huff...berarti kita harus selidiki satu persatu followers dia, biar dapat petunjuk?" Keluh Rey.
Deny mengangguk. "Yes. Kita mulai sekarang, Rey." Ucapnya sambil bangkit dari sofa lalu mengenakan jaket kulitnya yang berwarna hitam.
"Lu mau kemana? Katanya kita harus selidiki followers dia? Kok lu malah mau kabur?!" Rey tak habis pikir melihat Deny tertawa mendengar ucapannya. Pria berlesung pipi itu merebut ponsel dari tangan Rey dan menaruhnya di saku jaket.
"Ke kampus Jeslyn. Kita cari informasi dari sana. Gue yakin tuh cewek punya teman dekat yang bisa kita dapetin info tentang dia." Sahut Deny, tangannya mengambil kunci mobil lalu berjalan menuju arah pintu.
Rey bangkit dan mengejar Deny. "Tunggu gue ikut, Den!"
⚫⚫⚫
"Akh!"
Jeslyn menoleh kebelakang melihat Tia berteriak dan bangkit dari duduknya setelah seekor tikus melewatinya sambil berdecit.
Tia berlari ke arah Jeslyn. Raut wajahnya ketakutan dan terus berteriak melihat tikus itu terdiam di tempat ia duduk sebelumnya.
"Lu kenapa sih takut banget sama tikus?!" Ucap Jesyln. Seminggu lamanya ia satu ruangan bersama Tia tak ada yang berubah dari gadis yang notabene anak orang kaya itu. Manja, penakut dan baperan.
Tia menggeleng dengan wajah pucat. "Seumur hidup gue gak pernah satu tempat sama tikus. Baru kali gue tinggal di tempat yang jorok kayak gini." Keluhnya membuat Jeslyn tertawa.
"Hei, Nona! Makanya lain kali jangan tinggal di istana terus, sekali-kali lu hidup ngekost biar tahu rasanya hidup pas-pasan." Sahut Jeslyn dengan nada jengkel.
Tia mencibir, tak setuju dengan ucapan Jesyln yang dinilai terlalu memojokkan kehidupannya yang mewah. Sebagai putri satu-satunya dari seorang CEO perusahaan kosmetik yang ternama, ia memang tak pernah merasakan hidup susah seperti Jesyln yang hanya menjadi mahasiswa dari kalangan biasa.
"By the way, kapan kita bisa keluar dari sini, Jes? Gue takut sama tempat ini dan sama...Mister?!" Tia menghentikan ucapannya ketika melihat dua wanita datang kedalam ruangan itu.
Seorang wanita yang terlihat agak muda membawa dua nampan berisi makanan dan seorang lagi menenteng sebuah bungkusan plastik.
Wanita muda itu mendorong masuk kedua nampan melalui celah dari bawah kerangkeng.
Jeslyn membungkuk dan mengambilnya. Pandangannya lekat pada wanita yang menenteng bungkusan plastik itu. "Dasar Nenek sihir!" Gumamnya sambil berjalan menuju sisi dinding untuk menyantap makan siang yang hampir memasuki waktu sore.
Wanita yang diberi julukan 'Nenek sihir' itu memasukkan bungkusan plastik kedalam kerangkeng sambil bicara pada Tia. "Gantilah gaunmu! Malam ini kamu harus tampil cantik didepan mereka, jika kamu menolak--"
Ia mendekatkan wajahnya pada teralis besi itu lalu memandang serius ke arah Tia yang menerima bungkusan plastik dan mengeluarkan isinya.
Sebuah gaun putih.
"Riwayat mu tamat, Nona.." Sambungnya lagi sambil berbisik.
Tia mengangguk pelan. Kali ini ia mencoba menuruti apa yang dikatakan wanita itu daripada melawan dan mendapatkan hukuman dari Mister, seperti yang ia lakukan beberapa hari yang lalu.
Tia memasukkan kembali gaun itu lalu mengambil nampan yang berisi makanan ala kadarnya. Menu makanan yang biasa di nikmati oleh pembantu rumahnya saat ia belum menjadi tawanan Mister tapi kini ia harus memakan dan menghabiskannya daripada harus menahan lapar.
⚫⚫⚫
Melani berdiri didepan jendela memandang kebawah. Hanya sebuah halaman yang membosankan dan tentunya tak ada wanita tua yang ia lihat sebelumnya.
Edo baru saja meninggalkannya setengah jam yang lalu untuk menemui seseorang. Ia tak menceritakan dengan siapa bertemu dan urusan apa yang harus di selesaikan, lagipula Mela bukan tipe wanita yang suka campur dengan urusan orang lain terlebih lagi ia dan Edo baru saja menjalin hubungan sebagai kekasih.
Beberapa kali Mela menoleh ke arah jam dinding dan matahari yang semakin menukik ke arah ufuk barat. Udara semakin dingin membuatnya memeluk diri sendiri dengan kedua tangannya. Tak ada jaket atau baju tebal yang dapat ia temukan didalam lemari kecuali gaun panjang berwarna merah tadi.
'Ceklek.'
Mela menoleh kebelakang setelah mendengar Edo membuka pintu. "Kenapa kamu lama sekali? Apa tamu kamu sudah pulang?" Tanya Mela memandang Edo berjalan mendekati sambil tersenyum.
Edo tak menjawab, ia hanya tersenyum dan memeluk Mela.
"Hari sudah sore, Do. Aku harus pulang." Ucap Mela membuat Edo melonggarkan pelukannya lalu memandang Mela dengan serius.
Ia menggeleng. "Kita gak bisa pulang hari ini, Mel." Jawabnya dengan santai.
"Apa? Kenapa, Do?" Tanya Mela, cepat.
"Mobilku dipakai sama temanku dan mereka datang kesini tengah malam nanti."
Mata Mela melotot mendengar ucapan Edo. Rasanya tak mungkin kembali ke Bekasi hanya mengandalkan mobil mewah Edo. Toh ini Bogor, banyak angkutan umum yang bisa mengantarkannya ke Bekasi.
"Kita bisa naik bis, Do. Aku harus pulang karena orang tuaku pasti khawatir, lagi pula besok pagi aku harus kerja lagi." Mela kembali memohon. Ia memang harus tiba di rumah malam ini atau ayahnya akan memakinya tiada henti seperti yang sering ia dapatkan jika tak pulang pada waktunya.
Edo tertawa kecil mendengar permohonan Mela. "Naik bis?" Tanya Edo, memastikan pertanyaan Mela dan wanita itu mengangguk.
"Mela, Sayang... rumah ku berada di tengah-tengah hutan bukan di pinggiran kota. Butuh waktu satu jam untuk sampai di kota. Paham?" Jawaban Edo membuat Mela cemas dan bisa membayangkan sebuah tamparan akan hinggap di pipinya saat tiba di rumah.
"Apa?! Gawat, Do! Aku bisa dibunuh sama ayahku kalau aku gak pulang malam ini. Aku mohon sebaiknya kamu anterin aku ke kota sekarang daripada aku kena damprat. Please.." Pinta Mela lagi dengan wajah memelas
Edo menggeleng. "Sorry, Mel. Aku gak bisa bantu karena gak mungkin kita jalan kaki kesana.. lagipula aku mau nunjukin kamu sesuatu nanti malam."
"Sesuatu? Apa itu?" Tanya Mela, penasaran. Wajahnya masih terlihat cemas.
"Kamu lihat aja nanti.. sesuatu yang menarik." Ucap Edo sambil tersenyum dengan tatapan penuh misteri..
⚫⚫⚫
"Huft.." Rey menyandarkan punggungnya di kursi sambil menghembus nafas memandang Deny yang asik dengan ponselnya. Ia meneguk pelan kopi espreso yang baru saja di antar oleh waiters.
"Gak usah ngeluh, Rey. Kita sudah dapat petunjuk orang yang lagi dekat sama Jeslyn. Tinggal kita selidiki empat cewek yang lainnya. Gue yakin kita pasti bisa dapatin mereka kok!" Seru Deny dengan percaya diri. Setelah penyelidikan mereka menuju kampus Jeslyn dan menemui sahabatnya, memang tak banyak informasi yang mereka dapatkan, hanya saja sahabat Jesyln mengatakan bahwa Jeslyn sedang dekat dengan seorang pria dengan panggilan Mister. Pria tampan dan kaya.
Tangan Deny menari-nari diatas ponsel dan menyelidiki pria yang di panggil Mister tersebut tapi nihil. Ia menduga Mister itu hanya semacam nama panggilan bukan nama akun yang sedang ia cari sekarang.
"Bagaimana dengan tiga nama cewek lainnya? Anak CEO kosmetik juga menghilang selama dua minggu, bahkan orang tua nya sudah menyewa detektif swasta buat nyari dia dan--" Rey menghentikan ucapan lalu menggeleng. "Mereka gak berhasil nemuin tuh cewek." Sambung Rey lagi.
"Yes!" Ucap Deny setengah berteriak dan membuat sebagian pengunjung coffee shop menoleh ke arah mereka.
"Ada apa?! Apa lu dapet petunjuk baru?!" Tanya Rey, antusias dan penasaran menanti jawaban Deny.
Pria berlesung pipi mirip aktor lawas Ongky Alexander itu tersenyum lebar menatap Rey yang tak sabar menanti jawaban darinya.
Deny memperlihatkan layar ponsel ke arah Rey dan menunjukkan sebuah foto pria tampan mirip Christian Ronaldo.
"Dia. Cowok yang sedang deket sama Jeslyn dan anak CEO itu." Jawab Deny. "Nama akunnya…"
"Edoardo94."