Mobil hitam itu akhirnya berhenti tepat di depan gerbang besar Mansion De Luca. Bangunan megah itu menjulang angkuh di balik pagar besi tinggi dengan kamera pengawas di setiap sudut.
Di dalam mobil, Lin Yu An membuka mantelnya perlahan.
“Waktunya berubah peran…”
Ia berganti pakaian dengan seragam maid sederhana berwarna hitam-putih. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tampak polos tanpa riasan mencolok. Dalam hitungan menit, sosok pembunuh bayaran itu lenyap—berganti menjadi seorang pelayan biasa bernama Isabella Moretti.
Pintu mobil dibuka dari luar. Salah satu anak buahnya mengeluarkan koper dari bagasi.
“Semua sudah siap, Nona.”
Lin Yu An—kini Isabella—mengangguk pelan.
“Mulai sekarang, panggil aku Isabella.”
“Baik… Isabella.”
Ia turun dari mobil. Langkahnya tenang namun penuh perhitungan. Salah satu anak buahnya berjalan ke depan gerbang lalu menekan bel.
“Ting… tong…”
Tak lama kemudian, pintu kecil di samping gerbang terbuka. Seorang pengawal bertubuh besar dengan wajah curiga keluar.
“Kalian siapa?”
Tatapannya tajam meneliti mereka.
“Ada keperluan apa datang kemari?”
Pria dari yayasan langsung menunduk sopan.
“Kami dari Yayasan Milan, Tuan. Kami mengantar maid baru sesuai permintaan pihak mansion.”
Pengawal menoleh ke arah Lin Yu An dari ujung kepala sampai kaki.
“Dia?”
“Benar. Namanya Isabella Moretti.”
Pengawal menyipitkan mata.
“Kau yakin dia orang yang tepat? Di sini bukan tempat main-main.”
Pria yayasan tersenyum tipis, suaranya meyakinkan.
“Kami sangat yakin. Dari seratus orang, dia nomor satu. Paling disiplin, paling patuh, dan paling cekatan.”
Lin Yu An menunduk sopan.
“Saya akan bekerja sebaik mungkin, Tuan.”
Pengawal terdiam beberapa detik, lalu membuka pintu gerbang lebar-lebar.
“Baik. Masuklah.”
Ia mengambil koper dari tangan anak buah.
“Ikuti aku.”
Lin Yu An melangkah masuk ke halaman luas mansion. Lampu taman menyala terang, suara air mancur terdengar menenangkan—kontras dengan suasana mencekam yang ia rasakan.
Di dalam bangunan utama, pengawal berjalan di depannya sambil berbicara.
“Mulai hari ini, kau berada di bawah tanggung jawab Kepala Dapur.”
Lin Yu An mengangguk.
“Siapa namanya, Tuan?”
“Madam Soraya.”
Nada pengawal mengeras.
“Dia keras, galak, dan tidak suka kesalahan. Sekali kau berbuat ceroboh, kau bisa langsung diusir… atau lebih buruk.”
Lin Yu An menunduk lebih dalam.
“Saya mengerti, Tuan. Saya akan berhati-hati.”
Mereka pun sampai di sebuah ruangan besar dekat dapur utama. Seorang wanita paruh baya dengan tatapan tajam sedang memeriksa para pelayan.
Pengawal melangkah maju.
“Madam Soraya.”
Wanita itu menoleh.
“Ada apa?”
Pengawal menunjuk ke arah Lin Yu An.
“Ini maid baru dari Yayasan Milan. Namanya Isabella Moretti.”
Madam Soraya menatap Lin Yu An tajam dari ujung kepala sampai kaki.
“Kau?”
Lin Yu An membungkuk sopan.
“Iya, Madam. Saya Isabella. Saya akan bekerja dengan sungguh-sungguh.”
Madam Soraya mendengus kecil.
“Di sini tidak ada kata malas, tidak ada kata salah. Sekali aku kecewa—kau keluar.”
“Saya mengerti, Madam.”
Madam Soraya menoleh ke pengawal.
“Baik. Serahkan dia padaku.”
Pengawal mengangguk.
“Mulai sekarang, dia tanggung jawab Anda, Madam.”
Pengawal pergi, meninggalkan Lin Yu An sendirian di hadapan Madam Soraya.
Wanita itu menatapnya dingin.
“Ikuti aku.”
Lin Yu An melangkah patuh.
Di dalam hatinya, ia bergumam pelan:
“Langkah pertama berhasil…”
“Sekarang tinggal menunggu waktu…”
“Sampai aku berdiri tepat di depan Lorenzo Vittorio De Luca.”
Madam Soraya berdiri tegak di depan Lin Yu An—sekarang bernama Isabella. Tatapannya tajam, dingin, seperti pisau.
“Dengar baik-baik,” ucapnya tegas.
“Kau TIDAK boleh naik ke lantai atas. Area itu milik Tuan Muda dan keluarga inti.”
Isabella menunduk sopan.
“Baik, Madam.”
Soraya melangkah dua langkah mendekat.
“Jangan pernah melanggar aturan ini. Sekali kau tertangkap di sana tanpa izin…”
Soraya menatap tajam.
“…kau tidak akan sempat meninggalkan mansion ini hidup-hidup.”
Isabella menelan ludah, tapi suaranya tetap tenang.
“Saya mengerti, Madam.”
Soraya berbalik, berjalan menyusuri lorong panjang mansion.
“Sekarang dengarkan tugasmu.”
Ia menunjuk ke arah lantai marmer yang mengilap.
“Kau akan membersihkan lantai, ruang bawah tanah, gudang belakang, dapur, dan…”
Ia berhenti sejenak.
“…darah.”
Isabella mengangkat wajahnya sedikit.
“Darah, Madam?”
Soraya menoleh tajam.
“Kau tidak tuli. Darah di lantai. Darah di dinding. Darah di ruang interogasi.”
Isabella tetap menunduk.
“Saya tidak akan bertanya macam-macam, Madam.”
Soraya menyeringai tipis.
“Bagus. Maid yang panjang umur adalah maid yang tidak banyak bertanya.”
Isabella mengangguk.
“Saya paham.”
Soraya menepuk tangan sekali dengan keras.
“Angel!”
Seorang gadis muda berambut pirang datang berlari kecil.
“Iya, Madam!”
Soraya menunjuk Isabella.
“Antarkan maid baru ini ke kamarnya.”
Angel menatap Isabella sekilas, lalu mengangguk.
“Baik, Madam.”
Soraya kembali menatap Isabella.
“Setelah itu, langsung bekerja. Jangan banyak melamun.”
Isabella membungkuk sopan.
“Permisi, Madam.”
Angel berjalan di depan, membawa sebagian peralatan kerja. Mereka keluar dari gedung utama, melewati taman belakang, menuju bangunan terpisah.
“Paviliun belakang…” gumam Angel.
“Tempat para pelayan tinggal.”
Isabella mengangguk pelan.
“Aku ikut.”
Mereka sampai di depan sebuah pintu kayu sederhana.
Angel membukanya.
“Ini kamarmu.”
Ruangan itu kecil, hanya berisi satu ranjang sempit, lemari besi kecil, dan meja kayu.
“Letakkan barangmu. Lima menit lagi kita mulai kerja.”
Isabella menyeret kopernya masuk.
“Baik.”
Saat Angel berbalik hendak keluar, Isabella bertanya pelan:
“Angel…”
Angel menoleh.
“Hm?”
“Sudah berapa lama kau bekerja di sini?”
Angel terdiam sesaat.
“Tiga tahun.”
Isabella mengangguk.
“Masih hidup sampai sekarang… itu hebat.”
Angel tersenyum kecut.
“Bukan karena hebat. Karena patuh.”
Isabella mematuk pelan.
“Aku akan mengingat itu.”
Di dalam kamar, Isabella meletakkan kopernya di sudut. Matanya menyapu tiap detail: ventilasi kecil, jendela sempit, dan satu kamera kecil tersembunyi di sudut langit-langit.
Dalam hati ia tersenyum tipis.
“Keamanan ketat… seperti dugaan.”
Ia merapikan rambutnya, lalu keluar kembali menemui Angel.
Di lorong belakang dapur, Angel menyerahkan sarung tangan.
“Tugas pertama: ruang bawah tanah.”
Isabella menatapnya.
“Interogasi?”
Angel mengangguk pelan.
“Kalau kau melihat sesuatu yang… menjijikkan…”
Ia berhenti sejenak.
“…anggap saja lantai itu hanya kotoran biasa.”
Isabella mengenakan sarung tangannya.
“Aku tidak mudah jijik.”
Angel meliriknya.
“Bagus. Karena di mansion ini…”
Ia menatap lurus ke depan.
“…bau darah lebih biasa dari bau parfum.”
Mereka melangkah turun ke tangga batu menuju ruang bawah tanah.
Langkah Isabella tetap tenang.
Di dalam hatinya, suara Lin Yu An berbisik dingin:
“Langkah kedua dimulai…”
“Sedikit lagi, Lorenzo…”