Bab 2

1158 Kata
Dengan jari-jari rampingnya, Yemi menarik untaian rambut Sandra yang tergerai. Kemudian menyentaknya kebelakang diiringi pekikan Sandra. Suara terkesiap disekelilingnya. "Kau sebut aku gilakan? Dan inilah saat aku dalam keadaan gila!" Diambilnya botol kecap lalu disemprotkannya ke seragam Sandra sampai meluber ke wajah Sandra. "Aaakkhh... s****n lepaskan!" umpat Sandra. Tapi Yemi tak mengindahkan. Sandra melirik kedua temannya dibelakang, mengkode mereka. Yemi memutar matanya jengah ketika kedua tangannya dipegangi dan gerakan tubuhnya ditahan. Sandra lepas dan ia bertambah geram. Ia mengambil tindakan dengan memelintir kedua tangan yang mencengkeramnya itu ke belakang hingga teman-teman Sandra mengaduh kesakitan. "ampun...tolong lepaskan." jerit keduanya "Aku tidak memiliki urusan dengan kalian. Jadi jika tidak ingin tangan ini kupatahkan. Segera enyah dari pandanganku." keduanya mengangguk kompak sambil menahan sakit. Yemi melepaskan mereka dan Sandra bertambah kesal dengan ketidak becusan kedua temannya. "kalian mau kemana? Kemari pengecut!" panggil Sandra ketika melihat kedua temannya itu bergerak menjauhi kantin. "Bukankah kau yang pengecut Sandra? Beraninya melawan beramai-ramai. Ini yang jadi primadona sekolah? Cantik sih tapi BANCI!" ejek Yemi pedas dilengkapi dengan senyuman miringnya. "Banci katamu?! Kau itu yang Aneh Yemi! Dasar perempuan jadi-jadian! Apakah kau tidak pernah dididik untuk menjalani kodratmu?" "Kau tidak punya kaca di rumah? Kau yang lebih aneh. Anak manja! Setidaknya aku memiliki ibu. Lah kau, kaya saja tapi tidak pernah diperhatikan. Ibumu pun kau tak tau kemana." Plak!... Kantin menjadi senyap. Kepala Yemi masih tertoleh ke kiri. Tamparan kilat itu membuatnya terkejut. Bekas merah di pipi, membuat Yemi menatap tajam Sandra. "Kedua orang tuaku belum perna menamparku. Dan kau mengawalinya! Atas kehendak apa Sandra?!" kedua alisnya berkedut. Nafas Sandra masih memburu, "Jangan pernah melibatkan ibuku dalam pertengkaran." Plak!... "Akupun sama. Jangan sekali-kali kau menghina kedua orang tuaku!" tangan Yemi terasa panas setelah menampar sisi pipi Sandra. Sandra terkekeh, mengusap pipi. Saat Yemi berpaling, ia menarik kuncir kuda rambut Yemi hingga terlepas. Dan mereka terlibat dalam aksi pertengkaran fisik. Orang-orang dalam kantin itu bergerombol mengelilingi kedua sosok itu. Tidak ada yang berniat melerai. Shelly dan Karina sudah angkat tangan. Mereka sudah biasa melihat Yemi bertengkar. Yemi mendorong tubuh Sandra ke belakang lalu dibantingnya ke atas meja hingga meja itu terbelah menjadi dua. Semua orang terperangah menyaksikan kejadian itu yang bergerak begitu cepat, bahkan setelah beberapa menit berlalu belum ada yang bergerak. Sandra bangkit berdiri, tidak ada luka di sekujur tubuhnya. Yemi menyipitkan mata curiga, ia menduga-duga ada sesuatu yang tidak beres disini. Manusia saja jika dibanting ke lantai akan menyebabkan tulang punggungnya patah, apalagi tadi ia membanting tubuh Sandra dengan keras bakan mejanya sampai patah. Dan yang ia lihat sekarang, Sandra bisa berdiri dengan mantap di kedua kakinya tambahkan ia juga berlari ke arahnya sekarang! Ia tak sempat mengelak manakala dirasakannya kelima jari kanan Sandra mencengkeram lehernya begitu kuat. Nafasnya tersendat, ia hendak memukul lengan yang tengah mencengkeramnya ini namun Sandra bergerak cepat. Wanita itu mendorongnya ke dinding. Kepalanya berdenyut sakit saat dirasakan kepalanya membentur dinding batu itu. Pandangannya memburam, Yemi mengambil langkah cepat dengan menendang perut Sandra menggunakan kakinya. Ia bisa merasakan lagi udara mengisi kerongkongannya saat Sandra terdorong mundur akibat pukulan yang ia berikan. "Ada apa ini?" suara cempreng dengan nada tegas membuat orang-orang yang berkerumun tadi bubar. Menyelamatkan diri. Yemi masih menghirup oksigen dimana nafasnya masih tersengal. Ia memutar kepalanya ke arah kanan diamana suara itu berasal. Tampaklah Bu Monik sedang berkacak pinggang membawa penggaris kayu panjang yang biasanya digunakan untuk menggaris di papan tulis. Mata tua itu menatap Yemi dan Sandra yang masih berdiri pada tempatnya. Tampaknya ia kenal dengan wajah tak asing keduanya, sebab merekalah yang sering keluar masuk kantor " Kalian berdua kenapa lagi?" Bu Monik menghampiri keduanya sambil mengelus penggaris. Isyarat bahaya! Sandra yang terduduk akibat tendangan Yemi melancarkan aksinya. Ia berpura-pura menangis dan kesakitan. "Kau kenapa?" tanya Bu monik. Yemi menatap Sandra dengan tajam. Ia mengetahui bahwa wanita itu tengah bersandiwara sekarang. Sandra memegangi perutnya " ssshh...sakit bu" rintihnya "Terus kenapa bisa sakit?" "Saya ditendang olehnya...hiks..hiks..." adu Sandra dengan wajah kesakitan agar bu monik percaya padanya. Yemi mendengus jengkel, menyadari akal bulus dari musuhnya ini. Tidak menunggu lama lagi, pasti dia akan dibawa ke kantor. "Kau apakan Sandra?... " tuding Bu Monik pada Yemi. "Apakah kau memukulnya, Yemi?" Dengan wajah malas-malasan Yemi menjawab " tepatnya aku menendangnya bu..." jelasnya "kami tadi berkelahi" lanjut Yemi "Kalian berkelahi?" tanya Bu Monik tak percaya. "Hm..." "Tidak bu, kami tidak berkelahi. Yemi sendiri yang menendangku duluan. Padahal ia jatuh sendiri. Dia menuduhku karena menyebabkannya jatuh. Dan dia langsung menjambak rambutku lalu menendangku..." Sandra menjelaskan menurut ceritanya disertai bumbu-bumbu air mata yang ingin sekali Yemi usap dengan amplas biar habis sekalian wajah busuknya itu! "...padahal aku nggak tau apa-apa bu...hiks... Yemi, walaupun itu bukan salahku. Aku minta maaf." kepala Sandra tertunduk, ia menangis menyalahkan dirinya. Di cela-cela rambut yang tergerai menutupi wajah Sandra, ia menyeringai ke arah Yemi. Hal itu membuat Yemi makin berang, ia tau kemana arah sandiwara yang dilakukan oleh Sandra ini. "Yemi! Tak seharusnya kau berprilaku seperti itu. Kau harusnya berpikir secara dewasa, Sandra tidak tau apa-apa dan kau harusnya bisa membedakan mana yang salah dan benar, bukan seperti ini. Ibu sudah pusing dengan semua kenakalanmu ini, kali ini panggil orang tuamu kemari" ucap Bu Monik tak terbantahkan. "Tapi bu, ini semuanya bukan sepenuhnya kesalahan saya" sangkal Yemi. "Pokoknya ibu tak mau tau, panggil kedua orang tuamu kemari! Dan kalian berdua ikut ibu ke kantor!" ***** Yemi melipat tangan di d**a sambil memandang kepadatan jalan raya diluar sana. "Ayah tidak tau harus melakukan apa lagi sekarang" ujar pria setengah baya disampingnya. Wajahnya nampak putus asa dengan kelakuan sang anak, ia memijit pelipisnya berulang kali. "Ayah tinggal membelikanku motor balap yang sedang ngetren itu. Masalah selesai." jawab Yemi sekenanya "Aduh..." ringis yemi saat sebuah jitakan berhasil mendarat dikepalanya. Ia menatap ayahnya cemberut sambil mengelus bagian kepalanya yang sakit. "Apakah di pikiranmu itu hanya ada motor Gp?" Cibir ayahnya kesal "Tiap hari itu saja yang selalu diomongi. Tidak di rumah, di mobil, dimanapun. Kamu selalu minta itu Yemi." "Habisnya temanku sudah punya semua. Kalau minta sama ibu, aku pasti sudah di jadikan sop Ayah." "Perempuan macam apa yang mengendarai motor Gp Yemi? Ayah pusing dengan tingkahmu. " Lihat! Semua nilai rapotmu merah semua. Belum lagi pelanggaran-pelanggaran yang kamu lakukan. Dan ini yang ketiga kali ayah di panggil gara-gara kamu berkelahi. Mau jadi manusia apa kamu ini? Benarkan dulu sekolahmu itu." "Aku bukan manusia ayah. Kalau nilaiku bagus, ayah akan membelikannya?" "Tidak." "Yahhh, Ayaaaah." Yemi merajuk. Ia menggoyang lengan ayahnya seraya memasang pupy eyes, "Ayah, beliiin ya? Sekali saja." "Ah sudahlah Yemi ayah tau kelakuanmu. Sudah dibelikan motor Gp, lalu terbit mobil sport keren dikit pasti matamu langsung hijau. Ayah hapal kelakuanmu. Dimana-mana kalau ada otomotof keren pasti minta beliin. Yang lama say goodbye." "Aku nggak gitu." Mata Yemi menoleh ke kiri bawah. Seseorang yang duduk dibelakang mereka hanya mengamati kelakuan ayah dan anak tersebut dalam diam, sesekali bibirnya membentuk senyum namun matanya terlihat sedih saat menatap Yemi. Saat menatap anak itu, ia akan terkenang pada seseorang. "Jacob, lampunya telah bewarna hijau" ujar orang itu Jacob memandang ke luar jendela mobil, dimana rambu-rambu lalu lintas telah berganti "Oh, maaf" "Maaf Om Damian, mata Ayah agak rabun. Tapi kalau lihat wanita cantik pasti rabunnya langsung sembuh." "Enak saja, Ayahmu ini laki-laki paling setia di muka bumi ini." "Iya, setia. Didepan ibu saja. Dibelakang sih Tuhan yang tahu." Damian menyunggingkan senyumnya melihat perdebatan antara ayah dan anak di depannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN