Forward is the only direction this plane will fly.
“Terima kasih karena telah bersedia pulang denganku.” Aku terus saja mengulangi kalimat itu. Tidak peduli dengan wajah Laura yang tampak jengah. Dua hari setelah kedatangan kedua orang tua Laura di rumah sakit, Dokter Harun mengonfirmasi bahwa Laura sudah bisa pulang dan tinggal menjalani rawat jalan untuk mengontrol jahitan di kepalanya.
“Mamaaaa!!!” Dion berlari dengan kaki-kaki kecilnya menyambut kedatangan kami. Laura yang baru saja turun dari mobil tampak terbelalak ketika tubuh mungil Dion menubruknya. Dan saat lengan-lengan kecil itu memeluknya, Laura sama sekali tak bereaksi.
“Ini Dion. Anak kita. Auzora Dion Wardana.” Aku berbisik di telinga istriku. Berharap dia mengingat sedikit saja memori tentang anak kami. “Kamu kecelakaan saat menyelamatkannya.”
“Dion kangen Mama. Mama sudah sembuh?” suara cicitan Dion yang khas tampaknya membuyarkan entah apa yang dipikirkan oleh Laura karena setelah itu aku melihatnya tersenyum.
“Iya, Dion. Mama kangen kamu.” Laura berlutut untuk mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Dion. Dia merengkuh bahu kecil itu dan menambahkan, “Mama sudah sembuh. Kamu tidak perlu khawatir.”
Aku memperhatikan itu semua dengan hati yang seperti krim beku terkena sinar matahari. Laura tak pernah bersikap seramah itu pada Dion. Meski dia adalah ibu yang melahirkan Dion, dia tak pernah bersikap seramah itu.
“Bara? Sudah datang?” Aku menoleh pada suara ibuku yang entah sejak kapan berdari di ambang pintu.
“Iya, Bu.” Aku mengangguk kecil. kerlingan mata Ibu beralih pada Laura dan Dion. Mungkin sadar karena sedang diperhatikan, Laura bangkit berdiri. Aku mendekat lagi padanya untuk berbisik, “Itu ibuku.”
Laura mengangguk sambil mengulas senyum tipis di bibirnya.
“Ayo masuk!” Ibu beranjak dari ambang pintu.
“Dion mau sama Mama!” Putraku itu tampak posesif pada ibunya. Mungkin karena sudah lebih dari enam bulan tidak bertemu. Dion sangat menyayangi Laura meskipun Laura seolah tidak pernah menunjukkan sikap lembutnya pada Dion. Tapi, bukankah memang begitulah hati anak-anak? Kepolosan mereka membuat mereka memandang dunia hanya berisikan hal-hal baik saja. “Waktu itu Dion lihat Mama makan es krim. Dion juga mau.”
Laura tidak menolak ketika Dion menggamit lengannya. “Oh, ya?”
“Sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi, Dion bilang dia melihatmu makan es krim di kedai depan sekolahnya.” Aku mencoba menjelaskan sambil merengkuh bahu Laura, yang anehnya kali ini tidak ditolaknya. Aku membimbingnya masuk ke dalam rumah.
“Nanti Mama akan ajak kamu makan es krim lagi di sana, oke?”Aku kembali terkejut oleh ucapan Laura. Amnesia yang dia derita rupanya tidak buruk juga. Sikapnya pada Dion berubah menjadi jauh lebih lembut.
Dion mengangguk antusias. “Tapi, Mama dari mana? Kenapa baru pulang? Kenapa Mama pergi lama sekali? Mama nggak rindu Dion?”
Aku melihat Laura tampak tertegun. Ah! aku belum bilang padanya soal dirinya yang menghilang selama enam bulan sebelum kecelakaan itu terjadi.
“Ya! Dari mana saja kamu selama ini, Laura?” Ibuku bersedekap dan menatap Laura dengan tatapan yang serupa macan betina kelaparan.
“Bu, aku kan sudah bilang Laura sedang amnesia. Dia tidak ingat apa-apa.” Aku berusaha menengahi.
“Tidak ingat atau pura-pura tidak ingat!?” sinis ibuku.
Laura mengalihkan tatapan penuh tanda tanyanya padaku. Dahinya mengernyit. Matanya menyipit. “Nanti aku jelaskan!” seruku cepat.
“Jelaskan sekarang!” Laura menyela. Sorotan matanya yang cemerlang menghantamku.
“Kamu itu pergi dari rumah entah kemana tanpa berita selama enam bulan ini. Mobil kamu terkahir kali ditemukan di tepi jurang. Kami semua pikir kamu sudah mati karena lompat ke sungai!” Tanpa bisa kukendalikan, ibuku yang duluan bersuara.
“Bu!” Aku mencoba menjeda.
“Jadi, setelah enam bulan berlalu, kamu pikir kamu bisa kembali seenaknya ke rumah ini seperti seolah-olah tidak terjadi apa-apa?”
“Ibu!” Aku kembali menyela. “Tolong, Bu. Laura baru saja kecelakaan. Dia tidak ingat apa-apa!”
“Bara,” kedua bola mata Ibu kini nyalang menatapku, “Dari dulu kamu memang selalu membela Laura. Meski dia berbuat salah sekali pun! Kamu itu sudah dibutakan sama cinta dan obsesimu! Cinta pada pandagan pertama sama perempuan yang kamu puja-puja itu. Lihat ini! Perempuan ini menyebabkan banyak kesulitan di hidup kamu, Bara. Itu karena kamu tidak pernah mendengarkan kata-kata Ibu.”
Aku tersenyum sinis. Pembahasan ini lagi. Sampai kapan pembahasan ini akan terus diungkit-ungkit?
“Dion, ayo sini. Kita main puzzle, yuk!” Alya muncul tepat ketika kesabaranku sudah berada pada batasnya. Alya adalah tante kesayangan Dion, untuk itu dia tidak pernah menolak ajakan dari adik semata wayangku itu.
Saat keduanya menghilang di balik dinding kamar Alya, aku menoleh ke arah Laura sekilas. Meneliti bagaimana reaksinya setelah mendengar semua ucapan yang ibuku lontarkan padanya itu. Tapi, aku tidak bisa membaca apa pun di sana. Aku kemudian menoleh kepada ibuku, “Bu, tolonglah. Jangan bahas ini sekarang. Percuma saja. Laura tidak ingat apa pun. Mungkin saat nanti ingatannya kembali, Ibu bisa menanyainya sampai puas.”
Ibuku mendengkus, “Terus bagaimana rencana lamaranmu dengan Farah? Batal karena tiba-tiba istrimu yang pergi ini memutuskan untuk pulang?”
Semua perkataan ibuku yang hari ini dia lontarkan pada Laura memang membuatku terkejut, tapi kalimat yang terakhir inilah yang sukses membuat kepalaku pening, “Bu, sejak awal aku tidak pernah setuju dengan rencana Ibu menjodohkanku dengan Farah. Karena aku tidak pernah menganggap Laura sudah mati.”
“Dia sudah mati ataupun belum, Dion membutuhkan ibu yang lebih baik daripada ibu kandungnya ini!” Ibuku balas menghardik. “Lagi pula apa kurangnya Farah? Dia gadis baik-baik. pramugari. Kalian bekerja di bidang yang sama.”
Aku baru saja akan kembali menyahut saat Laura, untuk yang pertama kalinya, memutuskan berbicara. Dia menoleh padaku dengan ketajaman sorot mata yang tak juga berkurang intensitasnya, “Kenapa kamu tidak bilang padaku kamu mau menikah lagi? Kalau tau seperti ini aku kan tidak perlu memilih untuk pulang denganmu.”
Aku mengernyit, “Laura, ini tidak seperti yang kamu sangka.” Lalu berbalik kepada ibuku, “Bu, aku rasa cukup untuk membahas hal-hal seperti ini. Laura harus istirahat. Aku akan membawanya ke kamar.”
Aku menggamit jemari Laura, namun wanita itu menepisnya. “Laura, aku tidak sedang dalam situasi yang mau berkompromi!” Hardikku. Dan tampaknya hardikan itu berhasil karena ketika aku meraih jemarinya lagi, Laura membiarkannya. Aku menuntunnya untuk menaiki tangga menuju ke lantai dua dan masuk kedalam salah satu ruangan. Kamar kami.
“Jadi, kapan kamu akan mulai menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi?” Laura menyentak tangannya sehingga lepas dari genggamanku. Aku menutup pintu kamar di belakang kami dan melangkah ke ranjang. Rasanya terlalu lelah untuk menjelaskan apa pun lagi sekarang. Aku duduk di tepi tempat tidur, “Duduklah.” Aku menepuk tubir ranjang di sisiku.
Laura melengos. Alih-alih menuruti perkataanku untuk duduk di sampingku, dia memilih berjalan ke sisi lain ruangan. Langkahnya terhenti pada sebuah pigura besar yang tersemat di salah satu dinding ruangan kamar kami. Di dalammya foto pernikahanku dan dia. Laura mengamati foto itu untuk beberpa saat sebelum dia menelusuri buffet yang terletak tak jauh dari sana, yang di atasnya terdapat bingkai-bingkai foto kecil berisi foto-fotoku, foto dirinya dan juga foto-foto Dion, anak kami.
“Laura, dengar Sayang,” gumamku, “Meski semua orang meyakini bahwa kamu mungkin saja sudah mati tenggelam dibawa oleh arus sungai di jurang itu, aku tidak akan percaya. Aku tidak akan percaya sebelum melihat….” Tuhan, rasanya aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku. “Aku tidak akan begitu saja percaya sebelum melihat jasadmu secara langsung.”
Ucpanku itu mungkin saja membuat Laura terkejut karena di detik yang sama dia berbalik menatapku, “Apa yang membuat orang-orang berpikir aku sudah mati terbawa arus sungai? Apa yang aku lakukan di tepi jurang itu? Tidak mungkin kecelakaan karena kata ibumu tadi mobilku ada di sana. Kira-kira apa yang terjadi? Apakah aku melompat ke sana? Apakah aku mencoba bunuh diri?”
Kini berganti aku yang tertegun mendengar rentetan pertanyaan Laura. Aku memejamkan mata. Mencoba menaksir dari mana kira-kira harus menceritakan semua rangkaian peristiwa yang terjadi enam bulan lalu ini?
“Bisakah kamu menceritakan dengan sejujur-jujurnya, Bara? Aku sangat bingung sekarang. Rasa-rasanya seperti sedang mengalami jet lag!”[]
===Catatan Kaki===
Jet lag adalah gangguan tidur berupa rasa kantuk pada siang hari dan sulit tidur pada malam hari, yang timbul setelah melakukan perjalanan jarak jauh dengan pesawat, melewati zona waktu yang berbeda. (alodokter.com)