CHAPTER-1

1906 Kata
Namanya Dewa Herlamlang. Mulanya, aku tak tahu apa arti nama itu. Karena rasa ingin tahuku yang begitu besar, akhirnya aku mencari tahu arti nama itu. Dalam beberapa kepercayaan Dewa sering disebut juga Tuhan. Disembah, dianggap suci dan di hormati umat manusia. Sungguh mengesankan nama itu. Meskipun sebagai orang Prancis asli sulit bagiku mengucapkan nama itu. Pertemuan pertama kami di sebuah restoran Italy di kawasan dekat kampus. Aku secara tidak sengaja menabraknya, membuat bajunya penuh oleh saus dari spagetti pesananku. Dia sama sekali tidak marah. Justru tersenyum dan memperingatkan aku untuk lebih berhati-hati. Setelah beberapa hari kemudian, aku bertemu dengannya lagi. Di kampus tempatku menimba ilmu. Kami satu kampus ternyata. Bahkan satu jurusan. Sering berada di kelas yang sama pula. Ah, kurasa Dewi Fortuna merestui hubunganku dengannya. Lorraine Campelo. Tanganku gatal ingin segera membuka lembar berikutnya. Tapi Richard dan Ana kembali berseteru. Masalah yang sama, tentang aku. "Mungkin kita harus membawanya pergi dari sini, Rich." sayup-sayup kudengar Ana berbicara. "Tidak. Biarkan mereka tetap bersama. Apa pun yang terjadi." jawab Richard tanpa mengurangi rasa sayangnya pada Ana. "Dia tidak akan baik-baik saja melihat pasangannya seperti itu!" Ana mulai gemas. "Sayang, mereka akan baik-baik saja selama masih bersama." kekeuh Richard. Terdengar derap langkah kaki yang makin lama justru makin tidak terdengar. Ana pergi dengan hati dongkol. Diikuti Richard di belakangnya. Mereka bertengkar lagi. Siang ini, awan putih dengan berbagai macam bentuk menghiasi angkasa. Langit biru terbentang luas di atas RRTech Island. Cuaca begitu cerah. Kurasa langit sedang bahagia. "Hey," ucapku parau. Hari ini, aku seperti ingin berhenti berharap. Langit memang tidak pernah berniat menyatukan hubunganku dengannya. Berkali-kali kami terpisah. Berbagai macam cobaan telah kami lewati bersama. Tidak ada yang berubah. Langit memang tidak merestui hubungan kami. "Ana memasak cumi dan udang untukku." kuambil tangannya yang pucat dan kubawa ke dalam genggamanku. "Aku menyukainya. Masakan Ana tidak kalah dengan masakan chef-ched di sini." Dia tetap diam. "Damian juga menyarankanku agar makan lebih banyak dari sebelumnya. Jadi sekarang aku makan dua piring nasi setiap kali makan. Dan beberapa buah-buahan. Sesuai anjuran Damian. Dokter itu memang kejam. Dia ingin melihatku gendut sepertinya." kukecup tangan pucat itu beberapa saat. "Tapi, meskipun masakan Ana lezat, aku lebih menyukai masakan buatanmu. Apa kau mau memasak lagi untukku?" Setetes air mata mengalir dari pelupuk mataku. Tuhan, sampai kapan kau siksa kami seperti ini? Aku butuh kepastianmu. "Aku merindukanmu." ucapku lemah. Tubuhku luruh ke lantai. Air mata semakin deras membanjiri pipiku. Dadaku sesak. Kupukul lantai itu berkali-kali dengan tangaku. Sakit! Perih menjalar di kulitku! Hatiku kembali hancur. "Kau harus kuat, Gadis! Demi Dewa, demi anak dalam kandunganmu!" teringat kata-kata Damian kala itu. "Terus ajak dia bicara. Mungkin dengan begitu, kesadarannya akan cepat pulih." Kuingat betul kata-kata itu. Setiap hari kulakukan apa pun yang Damian katakan. Untuk mengajaknya bicara, menceritakan hal-hal positif dan masih banyak lagi. Aku tidak pernah menyerah. Tidak sekali pun. Tapi kenapa dia tak membuka matanya sama sekali? "Dewa, tidakkah kau tahu betapa hancurnya aku tanpamu?" Seseorang menyentuh bahuku. "Kau harus minum kalsium dan vitaminmu." Damian berkata bijak. Ia membantuku berdiri. "Jangan sakiti dirimu seperti ini, Gadis." "Kapan dia bangun, Dam!" "Nanti." "Kau selalu bilang nanti. Tapi sampai detik  ini Dewa tidak juga bangun!" "Bersabarlah, Gadis. Tubuhnya butuh proses untuk menerima jantung baru." Damian memegang tanganku, memintaku untuk duduk lalu dan meminum kalsium serta beberapa butir pil, entah apa itu. "Berbaringlah. Kau harus cukup istirahat, ya?" Aku tahu apa yang akan Damian lakukan. Setiap kali aku tertekan karena melihat tidak ada kemajuan mengenai kondisi Dewa, Damian selalu memnyuntik lenganku. Membuatku terlelap untuk beberapa jam kemudian. "Gadis,," suara lembut Ana menyadarkanku. Wanita itu telah berdiri dengan putrinya. Hari ini mereka mengenakan dress serupa dengan motif bunga matahari besar di bagian atas. "Bangunlah! Sudah pagi lagi." Ana berkata lembut. "Kau harus makan," katanya lagi. Ana membantuku duduk. Tubuhku terasa sangat lemas. Mungkin karena tidak ada makanan yang masuk ke perutku sejak kemarin. "Minumlah!" wanita itu menyodorkan segelas air ke mulutku. Aku meneguknya. Rachel ikut duduk di ranjangku. Tidak seperti balita lainnya, Rachel sangat pemalu. Ia hanya mau berkomunikasi dengan orang-orang yang dikenalnya saja. "Ma... ma... ma.. mii" Rachel berkata sesuka hatinya. "Iya, iya, mommy di sini, sayang." Ana membelai lembut pipi putrinya. "Kau mau pulang ke Indonesia?" tawar Ana untuk ke sekian kalinya. "Tidak. Aku ingin di sini bersama Dewa." Ana mulai menyuap nasi juga lauk-pauk ke dalam mulutku, sambil terus berbicara harapan-harapan positif untuk kesembuhan Dewa. Dia juga yang selalu mewanti-wanti agar aku menjaga kandunganku. "Apakah anak ini bisa melihat ayahnya, An?" tanyaku waktu itu. "Pasti bisa, Gadis. Dewamu akan bangun sebentar lagi." Ana percaya akan kesembuhan Dewa. Damian yang menjaminnya. Damian lebih dari seorang dokter bagi RRTech. Dia mampu membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Menyembuhkan yang hampir mati menjadi sehat lagi. Dokter itu seperti memiliki kekuatan tangan Tuhan. Pernikahan kami batal. Batal untuk saat ini. Begitu kata Ana. Baik mama maupun papa tidak tahu kondisi Dewa saat ini. Mereka terus dan terus bertanya soal pembatalan pernikahan kami. Richard yang menyamar sebagai Dewa selalu berkata ia harus mengurus perusahaannya dulu. Banyak masalah yang terjadi di sini. Kebohongan-kebohongan tercipta untuk menutupi kondisi Dewa yang sebenarnya. Richard tidak mau ada yang memanfaatkan situasi ini untuk menyerang RRTech. Dewa adalah ujung tombak perusahaan teknologi ini. Dan Richard adalah tangan kanannya. Waktu terus bergulir. Mata kuliah yang kupelajari semakin sulit saja. Aku hampir tidak punya waktu untuk bermain-main seperti dulu lagi. Tapi aku selalu punya waktu untuk memikirkan Dewa. Objek sempurna untuk dipandang, diingat, dikenang dan dicintai. Ah! Aku selalu berkhayal tentang pria itu. Dia selalu sempurna di mataku. Sangat sempurna. Aku tidak berani menyapanya. Sungguh! Nafasku seakan berhenti saat kami berhadapan. Jantungku berlompatan tidak keruan. Pesonanya mampu melumpuhkan saraf-saraf tubuhku. Di mataku dia melebihi seorang nabi yang sering di sebut sebagai nabi paling tampan. Ha ha ha! Kuakui aku memang konyol. Tapi aku menyukainya. Mencintainya! Dan akan kulakukan apapun untuk mendapatkannya. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti! Pasti! Loeraine Campelo. Lembaran ini yang sepenuhnya tentang Dewa lagi. Wanita ini sepertinya telah jatuh hati pada Dewaku. "Ka tidak pernah cerita tentang gadis yang menyukaimu waktu masih kuliah?" Kubelai lembut rambutnya. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Bergerak saja tidak. Kemarin aku meminta Richard untuk memangkas rambut lebat Dewa. Juga jambang yang tumbuh lebat di sekitar dagunya. Sekarang, tunanganku jauh lebih tampan dari sebelumnya. Meskipun dengan rambut panjang dan jambang lebat sekalipun dia tetap tampan. "Aku masih menunggumu bangun. Aku masih di sini. Menunggu tanganmu bergerak untuk menyentuh anak kita. Aku masih ingat waktu kau meninginginkan anak dariku. Setiap hari kau membahas tentang anak dan anak. Sampai aku bosan mendengarnya. Tidakkah kau ingat bahwa kita sudah punya anak? Dia tumbuh dengan baik di perutku. Ana dan Damian membantuku mengurusnya. Sebagai ayahnya kau juga harus membantuku mengurusnya. Bangunlah!" Aku bisa melakukannya! Aku bisa menunggunya kembali! "Kita pernah bahagia bersama." kataku kalut. "Dan akan selalu bahagia." Dewa menambahkan. Perbincangan itu terjadi pada malam sebelum Dewa tertembak. Firasatku mengatakan akan ada hal buruk. Dia memintaku untuk selalu berpikir positif. Sudah kulakukan, namun tidak semudah mengatakannya. Malam itu juga aku sengaja menolak ajakan Dewa untuk bercinta. Ana bilang tidak baik melakukan hubungan suami istri saat sedang hamil muda. Peluru itu menembus jantung Dewa. Darah mengalir deras dari dadanya. Aku masih bisa melihat senyumnya, senyum malaikat. Juga merasakan perlindungannya. Harusnya, tembakan berikutnya diarahkan padaku. Tapi dia menarikku, timah panas itu hanya mengenai udara kosong. Pelaku penembakan memang mengharapkan kematianku dan Dewa. Motifnya adalah balas dendam. Balas dendam karena cintanya yang tak terbalaskan. Cintanya pada Dewa. Orang-orang berlarian ke pantai begitu mendengar suara tembakan yang kedua. Mereka melarikan Dewa ke klinik dengan menggunakan mobil khusus. Kekacauan terjadi di mana-mana. Beberapa pekerja takut terjadi serangan di sarang mereka. Yang lain justru sigap memulai perang demi mempertahankan markas mereka. Ricard menginterogasi satu per satu anak buahnya, memastikan tidak ada penyusup di antara mereka. Ketegangan tidak berkurang kala dia meminta penjagaan diperketat. Ribuan SmartFly diaktifkan untuk mendeteksi seluruh sisi pantai. Tidak ada satu pun pewasat tempur, jet, maupun kapal yang bersandar. Tiga hari setelah kejadian tersebut Richard menyatakan situasi aman terkendali. Penembakan yang dilakukan oleh salah satu programmernya murni masalah pribadinya dengan Dewa. Bukan dengan RRTech. Tidak ada penyusup, tidak ada penghkianat, programmernya memang sudah merencanakan pembunuhan Dewa dan aku. Merencanakannya jauh sebelum mereka menemukan RRTech Island. Tiga hari berikutnya Damian menyatakan Dewa tidak akan bisa bertahan. Richard yang pertama kali menyampaikannya padaku. Aku menangis dalam diam. Anak ini? Anak dalam kandunganku tidak akan mengenal ayahnya. Anak ini tidak akan pernah bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Sama sepertiku. God! Betapa kejamnya kau! Damian menemukan solusi lain. Dokter itu menyarankan agar mencangkok jantung Dewa. Bagaimana dia akhirnya menemukan jantung baru untuk pemilik RRTech itu? Programmer RRTech, pelaku penembakan, sekaligus seseorang dari masa lalu Dewa itu di makamkan satu hari setelah insiden penembakan terjadi. Sebelumnya Damian berinisiatif mengambil seluruh organ-organ tubuhnya. Dia bilang, sayang sekali membuang organ manusia, wanita itu terlihat sehat dan menjaga pola hidupnya dengan baik. Setelah serangkaian tes yang Damian lakukan, dia menemukan kecocokan jantung Dewa dengan jantung wanita itu. Richard meminta ijin padaku untuk mencangkok jantung Dewa. Meski awalnya berat, toh aku menyetujuinya. Berat sekali membiarkan kekasihku memiliki jantung seorang yang sangat kejam seperti Raine. Proses pencangkokan berjalan lancar. Dewa bisa kembali hidup seperti semula asalkan dia mau menjaga pola hidupnya. Bukanlah hal yang sulit. Damian melakukan tugasnya dengan baik, memberi perawatan terbaik pada Dewa. Seluruh RRTech bergembira mendengar kabar itu. Semua orang berpikir Dewa akan sadar dalam waktu dekat. Pesta perayaan disiapkan untuk menyambut kembalinya Sang Pemimpin. Dapur sibuk memasak berbagai macam makanan untuk pesta, bir-bir sengaja dikeluarkan dari gudang dan di tata rapi di meja dekat pantai, puluhan kalkun dipotong untuk barbeque. Pesta besar itu gagal diselenggarakan setelah Damian mengumumkan Dewa tidak akan siuman sampai beberapa bulan kedepan. Entah kapan. Tubuhnya butuh waktu beradaptasi dengan jantung baru. Semua orang kecewa. Bukan karena perstanya batal, namun karena mereka tidak tahu kapan pimpinan mereka kembali memimpin seperti dulu lagi. Akulah yang paling terluka mendengar berita itu. Dan lagi-lagi Damian punya cara agar Dewa bisa berkomunikasi dengan anaknya, jadi tidak hanya aku yang selalu bicara dengan dia. Damian merekam detak jantung janin di dalam perutku. Pertama kali mendengar detak jantung anakku air mataku lolos begitu saja. Aku harap Dewa juga bisa merasakan kehadiran anaknya. Lewat rekaman yang selalu kami putar di samping ranjangnya, mereka berkomukasi. Dua makhluk Tuhan yang memiliki ikatan kuat namun harus terpisah begitu jauh. Sejauh pandangan mata inu kehilangan cakrawala. Tiga bulan melesat cepat bak buah kelapa jatuh ke tanah. Aku masih belum bisa menjamah kehidupannya. Sedikit sekali yang kutahu tentangnya. Dia seorang mahasisqa jenius. Kemungkinan besar akan lulus kurang dari empat tahun. Dari kasak kusuk yang kudengar, Dewa akan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat lalu melanjutkan ke jenjang S2. Jika dia lulus kurang dari empat tahun maka waktuku mendekatinya tidak banyak. Kemungkinan kami terpisah sangat besar. Dan aku tidak mau berpisah dengannya. Lorraine Campello Di lembar ini, kutemukam bercak yang ditinggalkan air mata wanita itu. Dia menangis hanya karena membayangkan berpisah dengan Dewa. Betapa dalamnya perasaannya pada Dewa? Pria yang mungkin tidak pernah menganggapnya ada. "Sayang," sekarang aku pun ikut menangis melihat wajah itu semakin pucat. "Aku juga tidak mau berpisah denganmu. Anak kita harus melihat ayahnya, kau. Kita akan merawatnya bersama, mendidiknya, menjaganya, melindunya. Bukanlah kau sudah menyiapkan nama untuknya? Ya, kau sudah menyiapkan nama itu!" "Ya Tuhan!" aku pura-pura lupa. "Siapa namanya? Siapa? Ayo bangunlah! Kau harus menamai anak kita, Sayang! Bangunlah!" Seolah ada keajaiban yang sengaja ditiup Sang Malaikat, jemarinya bergerak pelan. Sangat pelan. Bola mataku menangkap gerakan lambat itu. "Dam!" Aku menjerit keras.                              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN