KEHILANGAN JATI DIRI

1592 Kata
Keheningan malam yang seharusnya membawa ketenangan justru terasa menyesakkan bagi Keyli yang terbaring seorang diri di kamar asing ini. Pikiran tentang bayinya yang terlelap di kamar sebelah bersama pengasuh seolah menjadi jangkar yang menahannya untuk benar-benar terlelap. Di tengah rumah sebesar ini, ia merasa begitu kosong dan terasing, sebuah perasaan wajar mengingat ia tak memiliki ikatan darah maupun emosi yang tulus dengan keluarga ini. Dengan langkah perlahan, Keyli menuruni anak tangga yang diterangi cahaya lampu remang-remang, mencari setitik udara segar dan merasakan angin kebebasan sesaat, melepaskan topeng kepura-puraan yang harus dikenakannya setiap saat. Ia memilih duduk di taman belakang yang dingin, memeluk kesendirian di kursi taman, menatap taburan bintang di langit malam yang luas. Sebuah ketenangan semu menyelimutinya, meski otaknya tak henti-hentinya berbisik penuh kecemasan. Jemarinya mengusap lembut penyangga tangan yang masih terpasang di lengannya yang belum sepenuhnya pulih dari kecelakaan itu, sebuah pengingat bisu akan kebohongan besar yang kini merenggut kehidupannya. Ia menghela napas panjang, sebuah desahan keputusasaan yang tak terucap, tak tahu bagaimana menghadapi hari esok dan hari-hari berikutnya dalam sandiwara yang menyesakkan ini. Tiba-tiba, keheningan malam yang rapuh itu terkoyak oleh suara tembakan yang mengagetkan, bagai petir yang menyambar di tengah malam sunyi, membuat tubuh Keyli tersentak hebat dan jantungnya berdebar kencang bagai burung yang terperangkap dalam sangkar. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri dengan rasa penasaran yang bercampur aduk dengan ketakutan yang mencengkeram, apalagi suara tembakan itu terdengar begitu dekat, seolah berasal dari balik dinding taman ini. Mungkinkah masih di area rumah megah ini, mengingat luasnya bangunan dan taman yang mengelilinginya bagai kerajaan terpencil. Dengan keberanian yang dipaksakan oleh rasa cemas yang membakar dan keingintahuan yang membuncah, ia memutuskan untuk mencari tahu sumber suara itu, setidaknya jika ada bahaya mengintai, ia bisa mencari pertolongan dan menyelamatkan keluarga yang selama ini bersikap ramah dan baik padanya. Dengan langkah setenang bayangan, Keyli diam-diam menyusuri jalan setapak di area luar rumah yang gelap dan dingin, berusaha menemukan sumber suara yang mengejutkan itu dengan kewaspadaan yang meningkat di setiap langkahnya. Setiap geraknya diwarnai kehati-hatian, takut jika ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat, atau bahkan bertemu dengan sosok mengerikan seperti perampok atau penjahat yang berhasil menyusup masuk ke dalam wilayah pribadi ini. Tanpa sadar, ia telah berjalan cukup jauh dari kursi taman tempatnya duduk semula, terdorong oleh rasa ingin tahu yang tak tertahankan dan firasat buruk yang semakin kuat mencengkeram hatinya. "Bersihkan mayatnya!" titah suara pria yang akhir-akhir ini begitu akrab di telinga Keyli. "Baik, Mr. Leonor," jawab pria bertubuh kekar dengan nada patuh, yang kemudian mengangkat sesosok tubuh tak bernyawa, mayat pria yang baru saja dieksekusi dengan kejam oleh Leonor, dibantu oleh rekannya yang lain. Di dekat sana, di bawah rembulan yang pucat, pemandangan yang jauh lebih mengerikan terhampar di depan mata Keyli yang tersembunyi. Seorang pria yang babak belur penuh luka mengerikan tergantung mengenaskan di sebuah tiang kokoh, kepalanya terkulai lemah, mulutnya tersumpal kain kotor yang membungkam jeritan kesakitannya, namun matanya yang sayu memancarkan permohonan ampun yang menyayat hati, sebuah tatapan putus asa yang tak akan pernah dilupakan Keyli. Dengan sadisnya, Leonor mengguyur tubuh pria malang itu dengan cairan minuman beralkohol, membuat luka-lukanya yang terbuka semakin perih dan teriakan tertahannya menggema dalam sunyi malam yang mencekam. Mata Keyli terbelalak tak percaya saat mengintip dengan jantung berdebar kencang dari celah jendela ruangan asing yang sedikit terbuka, menyaksikan dengan ngeri perlakuan kejam yang dilakukan oleh tuan rumah yang selama ini ia anggap sebagai keluarga yang penuh perhatian dan kebaikan. Tubuhnya membeku bagai patung es, darahnya terasa membeku dalam pembuluh vena, menyaksikan penyiksaan mengerikan di depan matanya, sebuah pemandangan yang akan menghantuinya dalam mimpi-mimpi buruknya. Sungguh, tak pernah Keyli melihat kekejaman seperti ini sebelumnya, bahkan kekerasan rumah tangga yang pernah ia alami terasa jauh berbeda. Tidak, ia tidak bisa tinggal lebih lama lagi di tempat ini, di sarang iblis yang menyamar sebagai rumah tangga terhormat. Ia harus segera mencari cara untuk keluar dari sini bersama bayinya. Jantung Keyli berdetak kencang bagai genderang perang yang memanggilnya untuk melarikan diri, mendesaknya untuk segera menjauh dari tempat mengerikan ini, dari bau kematian dan kengerian yang menguar di udara malam. Ia berbalik badan dengan gerakan kaku dan berjalan cepat menjauhi ruangan itu, napasnya tersengal-sengal di tengah rasa takut dan trauma yang luar biasa, bayangan penyiksaan mengerikan itu terus menghantuinya di setiap langkah. Sebenarnya tempat macam apa ini? Siapa sebenarnya mereka? Keluarga macam apa yang menyembunyikan kekejaman di balik topeng keramahan dan kekayaan? Kekalutan Keyli mencapai puncaknya ketika ia kembali masuk ke dalam rumah melalui pintu halaman belakang yang terbuka dan sekejap mata bertabrakan dengan Leonor yang entah bagaimana telah muncul di hadapannya bagai hantu di tengah malam, membuat Keyli menjerit ketakutan yang tertahan bercampur rasa sakit yang menusuk pada lengannya yang belum sembuh total di tengah cahaya remang-remang lorong yang dingin. Tubuh Keyli tersentak mundur beberapa langkah, merasakan aura mengancam yang tiba-tiba terpancar dari sosok kekar pria di hadapannya, aura yang kini terasa lebih nyata dan menakutkan setelah apa yang baru saja ia saksikan. Leonor, dengan piyama tidurnya yang tampak begitu kontras dengan kengerian yang baru saja disaksikannya, berdiri tegak bagai pilar tanpa ekspresi, hanya sorot matanya yang menyimpan rasa penasaran yang tak terucapkan saat menatap Keyli, seolah sedang mengamati makhluk asing. "Are you okay, Hazel?" tanyanya dengan nada lembut yang terasa janggal dan dibuat-buat di tengah atmosfer tegang yang menyelimuti lorong, seolah tak ada pembantaian mengerikan yang baru saja terjadi di sudut rumah ini, seolah semuanya hanyalah ilusi malam. "Kamu dari mana?" cecarnya dengan pertanyaan ringan yang terasa bagai anak panah yang menusuk kebingungan dan ketakutan Keyli, yang masih terpaku dalam keterkejutan melihat Leonor sekejab mata berdiri di hadapannya, seolah muncul dari kegelapan malam itu sendiri, bukan sosok yang sama yang baru saja ia lihat melakukan tindakan keji. Di saat yang sama, cahaya lampu lorong menyala terang, memecah kegelapan yang menyelimuti ketegangan. Dalam sekejap, para pelayan dan penjaga rumah berdatangan dengan langkah tergesa-gesa, wajah mereka tegang dan penuh kewaspadaan. Bahkan kedua orang tua Leonor, Paul dan istrinya, muncul dengan raut wajah khawatir bercampur curiga, seakan siap melindungi keluarga mereka dari ancaman yang tak terlihat. Mereka semua menatap Keyli, yang berdiri membeku di tengah lorong, tubuhnya gemetar hebat, tatapannya kosong karena shock menyaksikan kengerian yang tersembunyi di balik dinding rumah mewah ini. Mereka semua bagai sekawanan serigala yang siap menerkam mangsanya, dan Keyli, dengan rahasia mengerikan yang kini ia simpan, merasa seperti rusa yang terperangkap di tengah lingkaran predator. "Hazel, apa yang terjadi?" Keith mendekati Keyli yang terlihat pucat pasi dan gemetar hebat, mengusap lembut tangannya yang masih terpasang penyangga tangan dengan ekspresi khawatir yang tampak tulus namun terasa mencurigakan. Mata Keyli berlarian liar, tidak berani menatap wajah Leonor yang tadi ia lihat begitu mengerikan dan penuh amarah, wajah seorang algojo yang tak mengenal ampun. Bagaimana mungkin pria itu sudah berada di sini lebih dulu, bahkan mengenakan piyama tidur yang bersih dan rapi, padahal beberapa saat yang lalu ia masih mengenakan setelan jas yang tampak berlumuran darah dan keringat? "Sa-saya ..., saya ...," suara Keyli tercekat di tenggorokannya yang kering, menghilang tanpa jejak, tak tahu harus berkata apa karena saking terguncangnya jiwanya yang baru saja menyaksikan kengerian yang tak terbayangkan. "Dia tiba-tiba muncul dari luar dan tak sengaja menabrakku," jelas Leonor dengan nada santai yang dibuat-buat, menyembunyikan kebenaran mengerikan di balik senyum tipisnya yang dingin, "tangan kamu baik-baik saja, Hazel?" Keyli menelan saliva dengan susah payah, tenggorokannya terasa tercekat oleh ketakutan. Ia mengangguk cepat sambil menatap Leonor seperti melihat monster mengerikan yang menyamar menjadi manusia ramah, sebuah topeng yang kini terasa begitu tipis dan mudah pecah. "Besok sebaiknya suruh dokter datang dan memeriksa tangannya," titah Paul kepada salah seorang pelayannya dengan nada datar dan tanpa emosi, seolah kesehatan Keyli hanyalah formalitas belaka. "Sa-saya baik-baik saja, tad-tadi saya hanya ingin mencari udara segar sebentar ...," Keyli tidak berani melanjutkan ucapannya, takut jika kebohongannya terbongkar dan ia harus menghadapi konsekuensi yang mengerikan. "Tapi kenapa kamu seperti melihat monster sampai tidak melihat jalan?" kejar Leonor, matanya menyelidik tajam, berusaha membaca pikiran Keyli yang kacau balau. Tentu saja Keyli tidak punya jawaban yang aman untuk pertanyaan itu. Ia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang baru saja ia saksikan, takut jika dirinya terseret ke dalam masalah yang lebih besar dan membahayakan nyawanya dan nyawa putranya. Lebih baik ia menyusun rencana untuk pergi dari tempat ini secepat mungkin, sebelum semuanya terlambat dan ia menjadi saksi bisu selamanya. Bibir Keyli hanya terbuka dan tertutup tanpa mengeluarkan suara, ekspresi kebingungan bercampur ketakutan terpancar jelas di wajahnya yang pucat pasi. "Sudah. Sebaiknya kita semua kembali ke kamar," perintah Paul dengan nada tegas, mengakhiri interogasi yang menegangkan itu. Keyli segera berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya, tak berani menoleh ke belakang, sedangkan Keith menatap Leonor dengan tatapan penuh selidik dan kecurigaan yang mendalam, mencoba membaca kebohongan di balik mata putranya. "Apa yang dia lihat?" tanya Keith dengan tatapan mengintimidasi, menginterogasi putranya dengan sorot mata yang tajam. "Sepertinya dia melihat aku membunuh pemilik bus itu," jawab Leonor jujur, tanpa sedikit pun penyesalan dalam nada suaranya yang dingin. "What?" Paul berusaha menahan amarahnya yang mulai terpancing, rahangnya mengatup rapat, "bukankah Papa sudah katakan, jangan mengeksekusi siapapun di rumah ini selama Hazel belum tahu siapa kita sebenarnya," ucapnya kesal, namun tidak berani menaikkan nada suaranya di hadapan putranya yang temperamental. "Semenjak pemilik bus itu tertangkap tadi sore, aku tidak bisa tidur nyenyak, rasanya jiwaku tidak tenang dan terusik, ingin segera membalaskan dendam Liam," terang Leonor, sebuah pengakuan yang bisa dimengerti oleh kedua orang tuanya yang juga merasakan kehilangan mendalam. "Besok saya pastikan Hazel tidak akan mengingat apa yang dia lihat malam ini," ujar Leonor lagi dengan keyakinan yang dingin dan tatapan mata yang menyimpan rencana tersembunyi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN