Di depan batu nisan bertuliskan nama Liam Hoxander, Leonor berdiri terpaku, terbungkus dalam jas hitamnya yang rapi. Udara pagi yang sejuk di Kediri tidak mampu menenangkan gejolak di hatinya yang bergolak. Setelah meletakkan setangkai mawar putih bersih di atas marmer makam adiknya, sebuah sesal membelitnya, terasa lebih tajam dari embun pagi yang menempel di rerumputan. "Maafkan aku, Liam," bisik Leonor, suaranya parau, nyaris bergetar oleh emosi yang tertahan. Bayangan Keyli, wanita yang ia asumsikan adalah istri sah adiknya, melintas di benaknya, menghadirkan rasa bersalah yang menusuk. Ia tahu tindakannya—tidur bersama Keyli—telah melangkahi batas, menodai sesuatu yang seharusnya sakral. "Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri," lanjutnya, sebuah pengakuan pahit yang lebih ditu

