Bisikan

2098 Kata
    Hari libur artinya bersantai seharian di rumah. Itulah yang terpikir oleh Affa sejak pertama kali bangun di lagi hari. Sayangnya, acara bersantai Affa harus terganggu, oleh teror nomor tidak dikenal yang terus menelepon dan mengirim pesan ke ponsel Affa. Ia meraih ponselnya di atas ranjang, baru selesai mandi dan Affa harus menghadapi si peneror ini. Ia membuka pesan dan membacanya. From +6283456789123 06.15 SMS gak dibales, telepon gak diangkat, apa sih mau mu~ 06.16 Yang? 06.16 Digoyang-digoyang yang 06.17 Hobaaaa!!! Cikarang digoyang!! 06.20 Sepedaaa?!! Ada orang? 06.45 Eh pesek!! Angkat kalo lo gak bisa bls sms, angkat telepon kek!!     Dan tepat setelah Affa selesai membaca pesan. Sebuah nomor yang sejak tadi mengirimi pesan, menelepon Affa kembali. Affa mengangkatnya. "Sumpah ya, gue bakal blokir nomor lo. Kurang kerjaan banget sih jadi orang," sembur Affa.     "Selamat pagi juga sayang, iya hari ini emang cerah banget. Secerah senyumanmu," jawab orang di ujung sambungan. Affa mengerutkan keningnya, selain karena jawaban yang ia dengan tak nyambung, suara itu juga terdengar akrab di telinganya. Itu seperti suara makhluk absurd itu.     "Hei calon bini, kok kagak nyaut? Hari ini kita jadi jalan kan?"     Nah, benarkan tebakkan Affa. Ini pasti Ghuan. Siapa lagi yang berani memanggil Affa seperti itu, jika bukan Ghuan si kue kaleng.     "Kagak. Lagian lo dapet nomer gue dari mana sih?"     "Gue gosok-gosok kupon berhadiah. Eh ternyata hadiahnya, nomor hp punya lo. Kita emang berjodoh. Jadi mending kita jalan."     Affa memutar bola matanya kesal. Ia melangkah untuk meletakkan handuk yang ia gunakan untuk mengeringkan rambut sebahunya. "Gak mau jalan sama kue kaleng. Gue mau bokep aja."     "Astatang, gue gak nyangka kalo lo suka nonton bokep!!! Kalo tau dari dulu, gue ajakin nonton bareng dah. Sekalian gue ajakin nonton yang aslinya, atau mau langsung praktek?"     "Idih ngeres banget otak situ. Bokep yang gue maksud itu, bobo cakep. Udah ah!" Affa sudah akan memutuskan sambungan teleponnya.     "Lo mancing-mancing sih. Eh btw lo beneran gak mau jalan? Gue udah dandan ampe ganteng banged. Udah wangi kembang pula, macem kuburan baru."     "Kagak. Gue males keluar rumah."     "Kalo gitu, gue aja yang dateng ke rumah lo. Kita nongki-nongki cakep di rumah aja."     "Itu apalagi, gue gak mau berduaan sama lo."     "Kenape? Takut khilaf ya?"     "Gue emang takut khilaf. Takut khilaf, nyiram lo pake aer got!! Udah ah!!--tutt--tut."     Affa melangkah menuju lantai bawah saat mencium wangi masakan yang menggelitik hidungnya. Ponselnya, kini telah berada disaku hotpans yang ia kenakan, sebelumnya Affa menyimpan nomor Ghuan dengan nama Si Kue Kaleng. Tiba di dapur, Affa menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyiapkan sarapan diatas meja makan. Affa mendekat dan menyapa wanita tambun yang Affa yakini adalah bi Inem.     "Eh enon, pagi non. Mau sarapan sekarang?"     Affa mengangguk dan duduk dengan tenang. "Bibi, bi Inem ya? Hehe, semoga bibi betah kerja di sini ya."     "Oh iya, bibi belom kenalan sama enon, tapi syukur enon udah tau nama bibi. Soal betah, bibi pasti betah. Apalagi ngurus enon yang cantik begini," ujar bi Inem. Matanya yang sedikit terturupi kelopak matanya yang gemuk, tampak berkilat aneh, namun hal itu tak bisa ditangkap oleh Affa.     Affa malah tertawa karena kelakar bi Inem. "Bibi bisa aja. Bibi masak apa?"     "Bibi masak nasi goreng sama temen-temennya non, buat sarapan yang simpel aja ndak papa kan?" tanya bi Inem.     "Enggak papa kok bi, yang penting enak," jawab Affa semangat.     Bi Inem tersenyum dan menyendokan nasi goreng, telur ceplok, serta beberapa potong tomat dan timun. Setelah itu ia menyodorkan piring tersebut pada Affa. "Makasih bi. Bibi ikut makan aja, sini!!" Affa menarik tangan bi Inem dan membuat asisten rumah tanggannya itu duduk disampingnya. Bi Inem sempat menolak, namun dengan lihai Affa memaksanya untuk makan bersama.     Selepas makan, Affa membantu bi Inem dengan mencuci piring serta membereskan meja makan. Ia kembali mendapat pujian dari bi Inem. Affa hanya tersenyum menanggapinya. Tapi saat Affa selesai mencuci piring, ia melihat kotak bekal serta botol air yang kemarin ia bawa telah berada di tempat sampah. Anehnya saat Affa akan mengambilnya kembali, ia dicegah oleh bi Inem. "Non jangan diambil. Udah kotor. Lagian masih banyak kotak bekal di lemari kok, warnanya juga sama hijau daun." Mau tak mau,     Affa hanya bisa menurut. Ia bahkan tak bisa menangkap keanehan dari perkataan bi Inem. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, bi Inem segera meminta izin untuk pulang. Affa tak bisa menahan bi Inem, jadi kini Affa ditinggal sendiri di rumah.     Sesuai dengan keinginan Affa di awal hari. Sepanjang hari, Affa hanya bermalas-malasan sembari menonton acara kartun kesukaannya, dan menguras cemilan di dapur. Affa juga mengirim pesan pada kakaknya, menceritakan kejadian tadi malam yang membuatnya ketakutan setengah mati.     Tapi, tampaknya kakaknya belum membaca pesan tersebut dan lebih dulu jatuh tertidur. Tak apa, toh itu sudah lewat juga. Namun Affa memang ingin sedikit pamer pada Guntur, karena dirinya bisa melewati situasi menakutkan tersebut, walaupun kini Guntur tak berada disisinya.     Akhirnya, Affa malah saling berkirim pesan dengan teman-teman barunya di sekolah. Siapa lagi jika bukan Wida dan Valany. Ah jangan lupakan Ghuan. Si kue kaleng itu, memang antusias mengirimi pesan pada Affa.     Sesekali Affa harus tertawa karena balasan-balasan absurd dari Ghuan, selebihnya Affa kesal sendiri hingga menggigiti ujung bantal sofa saking gemasnya. Seperti saat ini, Affa telah berpindah ke dalam kamarnya dan tengah berguling-guling kesal karena balasan yang barusan ia terima dari Ghuan. Entah mengapa, chatting dengan Ghuan seakan-akan memiliki candu tersindiri untuknya. Banyak hal yang Ghuan angkat dalam chatting mereka, dan itu membuat chatting mereka berlangsung hingga berjam-jam.     Tak terasa, waktu telah berlalu dengan cepat, kini hari mulai sore dan Affa memutuskan untuk mandi. Tubuhnya terasa gerah, mandi air dingin pasti sangat nyaman. Secepat kilat, kini Affa telah memasuki kamar mandi dan menguncinya. Gemiricik air terdengar beberapa saat kemudian. Dan saat itulah, sosok misterius berpakaian hitam kembali muncul di kamar Affa.     Sosok itu meraih ponsel Affa dan membuka room chat Affa dengan Ghuan. Satu persatu pesan dibaca dengan teliti. Sosok itu terlihat sangat marah. Lalu, entah mengapa ponsel Affa tiba-tiba mati begitu saja. Sosok itu kembali meletakkan ponsel Affa ditempat sebelumnya, lalu ia kembali menyelinap pada sudut gelap di kamar tersebut.     Bertepatan sosok itu bersembunyi, Affa ke luar dari kamar mandi dengan sebuah handuk yang melilit tubuhnya. Dari sebatas d**a hingga pertengahan pahanya. Affa membuka lemari dan memilih pakaian yang akan ia kenakan. Tanpa malu-malu, Affa melepas handuknya dan membiarkannya teronggok dilantai.     Dengan santai Affa menggunakan pakaiannya, berupa kaos polos kebesaran serta celana nyaman selutut. Ia tak menyadari jika sepasang mata tajam kini tengah mengamatinya dengan penuh perhatian. Kilat dingin melintas dikedua manik tajam tersebut, mengikuti setiap gerakan Affa yang kini meraih ponselnya dan kembali turun ke lantai bawah.     Affa menyalakan televisi dan menonton acara kartun sore. Ia sempat mendengar bi Inem yang tengah berjibaku di dapur, sepertinya tengah menyiapkan menu makan malam. Maaf bi Inem, Affa gak bantuin ya, soalnya Affa gak bisa masak, muehehe. Bisik Affa dalam hati.     Ia hanya cengar-cengir tak jelas sembari melihat kartun yang ditayangkan di layar televisi. Affa mencoba menghidupkan ponselnya yang ternyata mati tanpa sebab. Namun berapa kali pun Affa coba, ponsel Affa tetap mati. Padahal Affa yakin kalau baterainya masih penuh. Lalu kenapa? Apa mungkin ponsel Affa telah rusak? Jika benar, ini gawat. Affa tidak mengingat nomor ponsel kakaknya, jadi ia tak bisa menghubungi kakaknya itu. Bagaiamana jika guntur khawatir? Arghhh Affa pusing sendiri.     "Non Affa, itu di depan ada tamu." Affa berjengit saat mendengar suara bi Inem yang terdengar agak berbeda, seperti tengah ketakutan. Ia menoleh dan mengangguk mengerti. Setelah merapikan pakaiannya, Affa segera menuju pintu utama dan melihat seorang pria berkumis serta berkacamata.     "Permisi Pak," sapa Affa pada bapak-bapak tersebut. Sepintas Affa bisa memperkirakan usia pria itu, sekitar 40 tahunan.     "Ini pasti Non Affa, adiknya Den Guntur ya?" tanya pria tersebut.     "Iya Pak, Bapak ini siapa ya? Dan ada perlu apa? Oh maaf mari masuk Pak." Affa mempersilakan tamunya untuk masuk kedalam ruang tamu. Affa meminta bi Inem untuk menyiapkan minuman.     "Saya Pak Yoyo, yang nyewain rumah ini Non."     "Oh jadi Bapak yang punya rumah ini?" Affa bertanya terkejut. Tapi ia tak mendapatkan jawaban selain sebuah senyum ramah.     "Em Bapak ada perlu apa? Setau saya, Kakak udah bayar uang sewa buat setahun ke depan kan Pak?" Affa cemas, takut-takut jika kedatangan pemilik rumah memang untuk menagih uang sewa.     "Iya Non, sudah dibayar lunas. Tapi kedatangan saya ke sini untuk membawa barang-barang saya yang masih berada di gudang," jelas Yoyo.     "Oh begitu. Silakan Pak, gudang masih belum kami bereskan kok. Cuma, memang ada beberapa barang saya dan kak guntur yang disimpan di sana. Gudangnya gak dikunci kok Pak, Bapak bisa masuk sendiri ke sana."     Yoyo mengangguk dan beranjak menuju gudang, Affa mengantar untuk kesopanan dan berbalik menuju dapur untuk mengecek makan malam. Sepertinya kali ini, Affa harus makan malam dengan bi Inem dan pak Yoyo. Untungnya, bi Inem memasak beragam lauk. Cukup untuk makan mereka bertiga.     Setelah memastikan hal tersebut, Affa kembali menuju gudang dan melihat pak Yoyo yang telah mengeluarkan dua buah lukisan berukuran sedang dari gudang.     "Oh Bapak mau bawa lukisan ini?" tanya Affa.     "Iya Non, ada salah satu yayasan yang membuka lelang dan semua hasil lelang akan di donasikan. Nah, dua lukisan ini Bapak mau lelang di sana," jelas Yoyo.     "Begitu toh. Semoga terjual dengan harga yang memuaskan ya Pak."     "Amin Neng."     "Sekarang kita makan malam dulu aja Pak, saya gak enak kalo Bapak pulang gak saya jamu apa-apa."     "Enon selain cantik, ternyata baik banget ya," seloroh Yoyo.     "Ah Bapak bisa aja. Udah, ayo ke ruang makan Pak." Affa berjalan terlebih dahulu. Tiba di ruang makan bi Inem telah menyiapkan peralatan makan dan menuangkan air minum.     "Mari Pak, Bi Inem juga makan ayok sini." Lagi-lagi bi Inem di tarik oleh Affa agar duduk disampingnya agar bisa makan bersama. Namun berbeda dengan tadi pagi, bi Inem kali ini terlihat sangat tegang. Tapi Affa tampaknya tak menyadari itu, ia malah tengah menikmati makanan buatan bi Inem dengan santai sembari berbincang ringan bersama Yoyo.     "Bi, makan dong," Affa menegur bi Inem yang memang sejak tadi belum menyentuh makanan di atas piringnya. Bi Inem yang semula menunduk mengangkat pandangannya dan bertemu tatap dengan Yoyo, setelah bertatapan beberapa detik bi Inem mengalihkan pandangannya pada Affa dan tersenyum.     "Iya Non, Bibi makan."     Makan malam pun kembali berlanjut. Affa makan banyak, dan itu menjadi bahan guyonan Yoyo. Ia berkata, "Non Affa badannya kecil, tapi makannya buanyak banget. Itu makanan larinya pada kemana ya Non?"     Affa hanya bisa menjawab dengan tawanya. Jujur, Affa sendiri bingung. Setelah makan malam selesai. Pak Yoyo pamit undur diri. Begitupula dengan bi Inem yang memang telah menyelesaikan tugasnya, dan harus segera pulang karena suaminya sudah menunggu di rumah.     Kembali, Affa sendirian di rumah yang berubah menyeramkan saat malam hari ini. Affa begidik saat mengingat kejadian malam kemarin, dimana listrik tiba-tiba padam dan membuatnya ketakutan.     Affa melirik jam di dinding. Baru jam 18.45, tapi entah mengapa Affa telah menguap beberapa kali. Apa ini efek, karena makan terlalu kenyang? Bukan kah kata orang, perut kenyang, hati senang, tinggal tidur?     Dengan senyum merekah, Affa memutuskan untuk tidur lebih awal. Ia naik kelantai atas dan masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa hijau daun. Sebelum merebahkan diri di atas ranjang, Affa terlebih dahulu mengganti celananya menjadi hotpans, menggosok gigi serta mencuci kaki dan tangannya.     Setelah itu, Affa segera membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Nyaman. Kedua matanya telah tertutup, namun kembali terbuka saya mengingat sesuatu.     "Ah tadi chat si kue kaleng belom Affa bales, dia nungguin gak ya?" tanya Affa pada dirinya sendiri, ia melirik ponselnya yang mati, di atas nakas. Tapi Affa kemudian menggeleng.     "Ish, ngapain Affa mikirin si kue kaleng? Mending Affa tidur cakep aja. Biar besok bisa bangun pagi." Affa akhirnya memejamkan matanya kembali. Tak butuh waktu lama, napas Affa berubah ringan dan teratur. Dengkur halus juga keluar dari sela-sela bibirnya yang tak terkatup rapat. Secara perlahan kedua tangan dan kakinya bergerak. Tangannya merentang lebar sedangkan kakinya mengangkang.     Tanpa selimut yang menutupinya, paha mulus Affa kini terpampang indah. Putih mengundang. Dua kata yang cukup mendefinisikan paha Affa tersebut. Saking mengundangnya, kini sosok misterius yang selalu mengawasi Affa, kembali ke luar dari persembunyiannya dan mendekati Affa.     Sosok itu naik keatas ranjang, merangkak dan berdiam diantara kedua kaki Affa yang mengangkang. Sosok itu kembali memposisikan tubuhnya setengah berbaring di atas tubuh Affa. Ia mengendus leher Affa yang memang memiliki aroma sabun yang samar tercium di sana.     Affa bergumam saat ceruk lehernya disentuh oleh sesuatu yang basah. Ia berubah gelisah saat leher dan bahunya disentuh dalam sapuan lembut, namun menyisakan jejak-jejak basah. Namun Affa kembali tenang saat perutnya menerima usapan-usapan halus yang menenangkan.     "Sayang, kenapa kau selalu membuatku marah? Itu membuatku terus ingin menghukum dirimu. Bersiaplah untuk esok hari sayang."     Affa samar-samar bisa mendengar bisikan tersebut. Namun sayangnya, Affa tak terbangun. Ia teranjur terbuai oleh usapan lembut di perutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN