Bab 1 ~ Cobaan

1031 Kata
Cahaya mengakhiri telponnya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Cahaya menundukkan  kepala. "Kamu kerja di sini, 'kan? Kenapa nggak kerja malah asyik menelpon?" tanya lelaki itu membuat Cahaya menundukkan kepala. "Maaf, Pak, tadi-" "Cukup. Kamu kerja dan jangan membuat kesalahan, jangan meninggalkan debu sedikit pun, CEO kita tidak menyukai hal yang kotor," kata pria itu. Dia adalah Damian, sang asisten CEO. "Baik, Pak," jawab Cahaya. Damian lalu meninggalkan Cahaya yang masih menundukkan kepala. Cahaya menghela napas panjang dan mengelus dadanya. Damian masuk ke ruangan Erlando dan membungkukkan badannya didepan Erlando. "Ada apa lagi, Damian? Ada yang mengganggu?" tanya Erlando. "Tidak ada, Tuan, hanya kuman kecil," jawab Damian. "Kakek Anda menelpon saya." "Apa lagi yang dikatakan Kakek? Seperti biasa?" Damian menganggukkan kepala. "Katakan saja aku sibuk. Aku tidak suka diganggu," kata Erlando. "Kenapa tidak Anda temui saja dulu? Takutnya karena itu kesehatan beliau akan menurun." "Kakek selalu memintaku untuk membawa wanita yang akan aku nikahi, Damian." "Kasihan beliau, Tuan, Anda sangat jarang pulang dan menengok keadaan Kakek Anda." "Apa lagi katanya?" "Beliau memberi waktu." "Waktu?" "Beliau memberi waktu 2 minggu untuk Anda memperkenalkan wanita." "Apa?" "Jika tidak, Anda tidak akan mendapatkan apa pun. Dan posisi Anda akan di tangguhkan sementara waktu sampai Anda memperkenalkan wanita pada beliau." "Sungguh ancaman yang sangat menarik, Damian." "Lalu? Anda akan melakukan apa?" "Tentu akan melakukan seperti yang Kakek inginkan." "Wanitanya?" "Kan wanita sangat banyak, Damian. Sewa saja untukku." "Bagaimana jika saya menelpon Jenny?" "Jangan. Jenny tidak perlu tahu." "Baik, Tuan." "Ya sudah. Atur saja jadwalku selanjutnya, Damian." "Baik, Tuan." Damian lalu meninggalkan Erlando yang masih duduk di kursi kebesarannya. Jika hanya menyewa wanita adalah hal yang sangat gampang segampang menjentikkan jari, namun membohongi kakeknya yang akan menjadi masalah. Ericksan--sang Kakek memang menginginkan cucunya menikah, apalagi mengingat usianya sudah tidak muda lagi, bisa saja ia pergi dan meninggalkan cucunya sendirian tanpa melihat cucunya menikah. Damian menoleh melihat Cahaya yang masih melap dinding kaca, Damian memicingkan mata melihat wanita itu, wanita sederhana yang menyembunyikan kesedihannya dibalik senyumannya. Erlando keluar dari ruangannya dan berdiri didekat dinding kaca, harusnya ia menikahi Jennyfer, namun karena jarak memisahkan mereka, akhirnya Erlando mencoba tak mengganggu Jennyfer yang sedang mengejar impiannya. Erlando menghela napas panjang dan menundukkan kepala, meski didepan semua orang ia sempurna dan memiliki kehidupan yang bahagia, namun sebenarnya ada sepi dihatinya yang tidak bisa ia jelaskan dan ceritakan pada orang lain. Cahaya menoleh sesaat dan tak sengaja melihat pria tampan bak malaikat tengah berdiri tak jauh darinya, terlihat lelaki itu seperti banyak pikiran, mirip dengannya. Kehidupan memang selalu berjalan tak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, tak jarang semua orang merasa sesak dengan beban tersebut. Cahaya adalah wanita yang lahir dari rahim seorang ibu yang cukup kaya dan jauh dari kata sederhana, ketika ibunya meninggal semua beban hidup jatuh kepadanya. Dulu, ibunya adalah seorang penjahit terkenal makan dan hidup dari hasil keringat ibunya yang cukup lumayan, namun setelah tiada, semuanya serba sulit dan susah. Kuliah pun, Cahaya harus menyelesaikannya dengan usaha yang keras. Erlando menoleh dan melihat Cahaya tengah memperhatikannya. Erlando berjalan dan menghampiri Cahaya dan menendang ember berisi air, membuat Cahaya terkejut dan sadar dari lamunannya. "Apa yang kau lihat?" tanya Erlando, membuat Cahaya membulatkan matanya penuh. "Saya hanya-" "Hanya apa?" "Tentu saja saya akan melihatmu, kamu kan ada didepanku, saya juga punya mata," sergah Cahaya. Erlando menatap Cahaya dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, Cahaya memicingkan mata dan melemparkan lap yang ada ditangannya tepat di wajah Erlando, membuat Erlando membulatkan matanya penuh. Erlando menatap tajam ke arah Cahaya. "Kau berani padaku? Kau-" "Kamu yang melihatku dengan tatapan m***m itu," jawab Cahaya. "m***m? Aku?" Erlando menunjuk dirinya. "Tentu. Kau m***m," kata Cahaya lalu setengah berlari meninggalkan Erlando, namun Erlando terus mengikuti langkah kaki Cahaya, sampai Cahaya hilang di depan matanya. Erlando menyeringai mengerikan dan membuang lap kotor yang sudah mengenai wajahnya. "Kau berurusan dengan orang yang salah," kata Erlando. Erlando menghela napas dan berjalan menuju toilet untuk membasuh wajahnya. Cahaya bergidik, dan masuk ke kamar kecil untuk membasuh wajahnya. Cahaya melupakan satu hal, Erlando menendang ember berisi air yang membuat lantai basah. Cahaya kembali melangkah menuju ketempatnya tadi, dan membereskan lantai yang basah. Ia menoleh kanan dan kiri untuk melihat apakah ada yang melihatnya. Ia tidak mau sampai bertemu dengan Erlando kembali. *** "Selamat siang, Tuan Sandjaya dan Nyonya Sandjaya," ucap Erlando menyalami Burhan Sandjaya dan istrinya-salah satu kliennya. "Selamat siang, Mr," ucap Burhan menerima sambutan Erlando yang kini mengulurkan tangannya. Begitu pun dengan istrinya. "Silahkan duduk," kata Erlando lalu mereka duduk berhadapan. "Saya sudah memesan beberapa menu makanan. Semoga Anda dan istri Anda suka." "Kami makan apa pun, Mr," jawab istri Burhan. "Berarti Anda akan menyukai makanan yang saya pesan," kata Erlando membuat Burhan dan sang istri tersenyum. "Tapi sayang sekali,  Anda tidak membawa pasangan Anda dalam rapat kita ini," kata Naina-Istri Burhan. "Istri saya ini suka menemani saya meeting, Mr, jadi sudah kebiasaan bertemu dengan istri klien," sambung Burhan. "Maaf jika Anda tidak nyaman, Nyonya," ucap Erlando. "Tapi, akan saya usahakan pertemuan kita selanjutnya, saya akan membawa pasangan saya." "Benarkah? Anda janji?" tanya Naina. "Iya. Saya janji." "Kapan pertemuan kita selanjutnya?" "Bulan depan." "Sayang, Mr. Maxivel ini belum menikah," kata Burhan. "Sebentar lagi saya akan menikah," ucap Erlando spontan, membuat Damian membulatkan matanya penuh. Erlando memang tak bisa terpancing akan hal itu. Itu akan membuatnya berjanji tanpa tahu bisa ia tepati atau tidak. "Benarkah? Anda harus mengundang kami," seru Naina. "Maaf atas ketidak nyamanan Anda, Mr. Istri saya ini memang suka dengan klien yang sudah memiliki pasangan." "Tidak masalah, Tuan Sandjaya," ucap Erlando. "Baiklah. Sekarang kita bicarakan kerja sama kita." Erlando menganggukkan kepala dan mengulurkan tangannya kesamping, membuat Damian sigap memberikan dokumen yang ia pegang kepada atasannya. "Ini proposal yang team saya buat, saya sudah memberikan semua informasi didalamnya, Anda bisa mempelajarinya," kata Erlando menjelaskan. "Team Anda adalah team terbaik, Mr. Jadi, saya tidak perlu ragu dengan isi proposal ini," jawab Burhan. "Terima kasih, Tuan Sandjaya, saya tersanjung sekali mendengar pujian Anda." "CEO mereka adalah orang yang hebat, saya yakin yang bekerja di bawah CEO yang hebat adalah orang-orang yang hebat," puji Burhan membuat Erlando tersenyum. "Saya kagum pada Anda, Mr, di usia muda saat ini Anda bisa memecah rekor terbaik dalam dunia bisnis, Anda memang anak muda yang hebat dan energik, juga smart," sambung Naina. "Tapi saya berharap pertemuan kita selanjutnya, Anda membawa pasangan Anda. Berjalan didunia bisnis harus sejajar dengan hubungan pribadi. Bukankah begitu?" "Tentu. Saya akan membawakan undangan pernikahan saya pada Tuan dan Nyonya Sandjaya secara pribadi," jawab Erlando meyakinkan diri dalam hati bahwa apa pun itu akan mudah. Jangankan satu wanita, ratusan wanita bisa ia sewa. Damian membulatkan matanya penuh, Damian tahu sekali persoalan yang biasanya atasannya itu lalui dengan Jennyfer. Lalu menikah? Bisakah itu terwujud?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN