10. Kesedihan Calvin dan Rea

2072 Kata
“I love you, Rea,” bisik Calvin saat dia merebahkan tubuh Andrea ke sampingnya karena wanita sudah terbaring di atas tubuhnya karena kelelahan. Calvin menatap wajah cantik Rea yang tertidur di sampingnya itu dan secara otomatis, bibirnya melengkung tersenyum. Dia tidak tahu bagaimana caranya Rea bisa datang kembali ke apartemennya, dia bahkan dibuat keheranan dengan Rea yang begitu mendominasi hubungan mereka hari ini. Calvin merasa hubungan mereka tadi adalah yang paling berkesan selama hidupnya dan hubungannya dengan Rea. Begitu banyak ciuman, begitu banyak pelukan bahkan tatapan dari Rea yang tepat di mata Calvin. Calvin menarik tubuh Rea dan memeluknya erat. “Jangan tinggalkan aku lagi,” bisik Calvin pelan tanpa disadarinya bahwa Andrea mendengar bisikan itu yang membuat air matanya menetes. *** Calvin menggeliat sebentar, senyumnya sudah terbentuk bahkan sebelum matanya terbuka. Saat matanya terbuka dia tidak menemukan sosok Andrea di sampingnya. Calvin bergerak untuk mencari Andrea, dia ingin sekali menjumpai wanita itu walau hanya untuk melihat wajahnya. Calvin membuka pintu kamar mandi dan mendapatkan kamar mandinya kosong, dia menuju ke kamar ganti dan tidak mendapatkan siapa pun di sana. Calvin menuju ke dapur juga sama, tidak ada Andrea di sana. Perlahan hatinya mulai panik, kepingan-kepingan kecurigaannya dari kemarin mulai menyatu membuat sebuah kesimpulan. Calvin menjelajahi seluruh ruangan di apartemennya dan menyadari bahwa dia hanya tinggal sendiri di tempatnya saat ini. Calvin menelan salivanya susah payah, jantungnya berdebar lebih cepat, Calvin panik. Dia segera menuju ke kamarnya mengambil bajunya dan juga kunci mobil dan bersiap pergi ke tempat Andrea. Beberapa pengawal berhasil menahannya namun dengan kasar Calvin menyingkirkan mereka semua. Saat ini di pikiran Calvin hanyalah Andrea, dia hanya ingin melihat wajah Andrea lagi. Dengan kecepatan penuh, Calvin mengendarai mobilnya menuju ke tempat Andrea. Mobil Calvin sampai di tempat Andrea, dia segera melangkahkan kakinya menuju ke kamar Andrea. Calvin mengetok pintunya beberapa kali namun tidak ada jawaban dari dalam, Calvin mau tidak mau harus meneriakkan nama Andrea sampai tidak lama kemudian seorang wanita paruh baya datang menemui Calvin. “Mau cari siapa, Mas?” tanya wanita itu. “Saya cari orang yang menempati kamar ini,” jawab Calvin sambil menunjuk kamar yang biasa Andrea yang tempati. “Loh? Orangnya sudah pindah kemarin,” ujar wanita itu lagi. Calvin menelan ludahnya lagi, matanya sudah mulai panas begitu juga dengan hatinya. “Dia bilang gak pindah ke mana?” tanya Calvin lagi. “Gak bilang itu, Mas. Kemarin Cuma bawa koper saja, semua barangnya ditinggalkan. Katanya buat Ibu saja,”jawab wanita itu lagi. “Bisa saya pinjam kuncinya bu?” tanya Calvin. Wanita itu mengangguk dan kemudian pergi kembali mengambil kunci pintu kamar Andrea, memberikannya pada Calvin dan kemudian kembali pergi. Calvin memasuki kamar Andrea yang sempat dia datangi sebelumnya. Udara dingin menyapa kulitnya saat dia masuk ke ruangan itu. Bahkan wangi parfum Andrea masih dapat tercium dari ruangan itu. Calvin melangkah menuju kamar Andrea, dia dapat melihat Andrea yang memang tampaknya pergi dengan tergesa-gesa karena meja riasnya yang masih rapi bahkan kamarnya masih sama dengan yang terakhir kali dilihat Calvin. Mata Calvin tertuju ke kasur Andrea di mana dia meletakkan banyak sekali boneka di sana. Mata Calvin menangkap boneka unicorn yang dia dapatkan di pasar malam saat dia pergi bersama dengan Andrea waktu itu. Tangannya terulur mengambil boneka itu dan matanya kembali menatap gelang yang dibelikan Andrea. Senyum Calvin mengembang namun kini matanya sudah mengeluarkan air matanya. Hatinya sakit melihat benda milik Andrea itu. Sebuah rasa penyesalan menyelimuti Calvin sehingga dia tidak mampu lagi berdiri, dia jatuh terduduk di lantai samping kasur Andrea. Tangannya menggenggam boneka unicorn itu dan perlahan tangisnya membesar. Calvin menyesal karena terlambat menyadari bahwa Andrea mulai membuatnya nyaman, membuatnya merasakan jatuh cinta. Calvin menyesal karena dia butuh waktu lama hanya untuk mengungkapkan perasaannya pada Andrea. Calvin menyesal karena dia tidak bisa menahan Andrea untuk tetap berada di sampingnya. Calvin menyesal karena tidak membujuk Andrea untuk tetap bersamanya dan akan menghadapi semuanya secara bersama-sama. “Kamu di mana, Rea?” tanya Calvin. Dia menatap boneka unicorn milik Andrea. “Kenapa kamu pergi gak bilang ke aku?” Calvin memeluk erat boneka unicorn itu. Pikiran Calvin tertuju pada Maminya, dia tahu pasti bahwa Maminya adalah orang dibalik kepergian Andrea secara tiba-tiba itu. Calvin mengambil boneka unicorn itu dan juga parfum milik Andrea dan keluar dari kamar Andrea. Setelah berbicara sebentar dengan pemilik tempat, Calvin menuju ke tempat Maminya. Dia tahu Maminya pasti ada di rumah saat ini. Dia sebenarnya sudah curiga saat Andrea muncul kemarin, Calvin cukup hafal bahwa masalah tidak akan selesai dengan cepat kalau dengan Maminya. Di tambah lagi dengan sikap Andrea yang aneh, selama ini Andrea tidak pernah meminta. Cukup lama berkendara, Calvin tiba di rumah kediaman keluarga yang dihuni oleh Maminya. Dengan langkah besar dan tidak sabar Calvin memasuki rumah itu. Dia menuju ke ruangan santai Maminya karena Calvin tahu jam segini adalah jam santai untuk Maminya. “Mami!” suara Calvin sudah besar saat dia membuka pintu membuat Laura tersentak kaget namun setelah melihat kedatangan Calvin namun sedetik kemudian wajahnya kembali memasang ekspresi datar. “Pelankan suara kamu, ini bukan hutan,” ujar Laura dengan tenang. Dia bahkan kembali mengambil cangkir teh dan menyesap tehnya. “Di mana Andrea?” tanya Calvin langsung. Laura tertawa, “Kenapa juga kamu menanyakan mantan sekretarismu itu padaku?” Calvin menahan emosinya. “Mantan sekretaris?” ucap Calvin tidak mengerti. Laura memandang wajah anaknya yang tampak bingung itu. “Oh, jadi kamu tidak tahu? Dia sudah mengajukan surat pengunduran dirinya sekitar sebulan yang lalu,” ujar Laura lagi. Kali ini Calvin yang tersentak kaget, dia tidak tahu mengenai hal itu dan dia juga tahu bahwa Maminya tidak akan berbohong mengenai hal ini. Laura tersenyum miring melihat wajah kaget dan bingung Calvin. “Dia tidak meninggalkanmu karena aku suruh, Calvin. Dia memang sudah berniat meninggalkanmu dari awal,” ujar Laura membuat Calvin semakin terdiam. Hatinya tidak menerima fakta ini, dia tidak menyangka bahwa Andrea sudah berniat pergi sebelum ini. Ingatannya kembali pada sebulan lalu pada pertengkarannya dengan Andrea saat ulang tahun Maminya. Kini dia tahu alasan kenapa Andrea meninggalkannya. Itu semua karena Calvin. *** Cuacanya sedang tidak bersahabat, hujan turun dengan lebatnya dari semalam. Andrea terbangun dari tidurnya karena rasa mual yang begitu hebat. Dia juga tidak tahu kenapa yang jelas semenjak datang ke kota ini dia mulai merasakan hal aneh pada tubuhnya. Andrea menduga itu karena makanan yang dia makan tidak cocok dengannya. Andrea kembali memuntahkan isi perutnya, kali ini dia muntah lumayan banyak. Bahkan saat ini dia sampai terduduk di sampai toilet karena lemas setelah muntah. Andrea menarik nafas dalam-dalam saat dia merasa sudah mulai kelelahan. Sudah sebulan dia berada di kota ini, meninggalkan kota lamanya yang berisi penuh kenangan. Andrea pergi hanya dengan dirinya, meninggalkan segalanya di sana. Segalanya, termasuk Calvin-pria yang dia cintai. Ingatan Andrea kembali saat pertemuannya dengan Laura di kafe itu, Laura menawarinya sejumlah uang namun Andrea memilih menolak itu semua. Sebagai gantinya, Andrea malah meminta waktu bersama dengan Calvin. Dia ingin menghabiskan waktu terakhirnya dengan lelaki itu. Karena itulah Andrea datang ke tempat Calvin dan menghabiskan waktu berharga mereka bersama. “I love you, Rea.” Kata-kata Calvin saat mereka akan tidur itu membuat Andrea kembali merasa sesak di dadanya. “Kenapa baru kau ucapkan? Saat aku bersiap pergi?” Rea menutup wajahnya dan kembali menangis. Andrea merasa lelah menangis namun dia tidak bisa berhenti menangis meratapi nasibnya yang begitu malang, dipisahkan dengan lelaki yang dicintainya. Andrea bangkit dan menuju wastafel untuk mencuci wajahnya. Andrea kembali menatap wajahnya di cermin, sebuah wajah yang kacau muncul di sana. Wajah yang sudah terkena air mata setiap hari selama sebulan ini itu terlihat sangat mengenaskan. Andrea memutuskan untuk merawat wajahnya hari ini. Tangannya meraih laci dan membukanya untuk mengambil krim wajah namun terhenti saat dia melihat satu benda. Dia kembali memandangi cermin namun kali ini dengan wajah panik. Andrea akhirnya memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Untuk sementara dia tinggal di sebuah vila sewaan sambil dia mencari pekerjaan baru. Dia sudah melamar di beberapa tempat dan dia sudah mendapatkan beberapa perusahaan yang mengajaknya bergabung dengan mereka. Andrea mengantre di sebuah apotek, hatinya semakin gugup karena baris antrean yang semakin habis. Dalam hati Andrea berdoa agar ketakutannya tidak menjadi kenyataan, ini tidak mungkin terjadi, ini tidak seharusnya terjadi. Andrea menggigit bibir bawahnya saat dia sudah berhadapan langsung dengan kasir apotek itu. “Ada yang bisa saya bantu?” ucap sang kasir itu ramah. “Euhm itu ... saya mau beli ... testpack,” ujar Andrea, dia memelankan suaranya saat menyebut kata testpack. “Hah? Maaf saya tidak dapat mendengar barang yang mau dibeli,” ujar si kasir lagi. Andrea menelan ludahnya susah payah. “I-itu, saya mau beli testpack,” ujar Andrea lagi. Dia kini dapat bernapas lega setelah mengucapkan hal itu. “Oh itu, baiklah. Mau yang seperti apa? Kami punya banyak merek,” ucap si kasir itu lagi. “Yang mana saja yang paling akurat,” jawab Andrea cepat. Si kasir itu tersenyum kemudian kembali ke belakang lalu kembali lagi dengan benda itu di tangannya. Setelah membayar, Andrea buru-buru kembali ke vilanya. Andrea mengecek semua informasi mengenai kehamilan di internet, kepalanya berputar pusing setelah mendapatkan info mengenai gejala kehamilan. “No! Jangan sekarang!” ujar Andrea putus asa. Dia menggunakan tangannya untuk menutup matanya saat dia sedang berbaring di sofa. Andrea sangat sensitif dengan tamu bulanannya apalagi saat dia mulai menjalani hubungan dengan Calvin. Namun kali ini karena terlalu sedih, dia sampai lupa mengecek dan sekarang? Sepertinya sudah terlambat. Andrea mulai pusing kembali dan juga mual, dia segera berlari ke kamar mandi untuk muntah. Pikirannya menjadi tidak tenang, khawatir akan masa depannya sendiri. Dia termenung di depan wastafel menatap ke arah cermin di depannya dengan penuh ragu. Dia tidak siap! *** Tangan Andrea bergetar menatap testpack yang berada dalam genggamannya. Andrea tidak perlu pintar untuk mengetahu bahwa dua garis merah di testpack itu berarti dirinya sedang hamil, anak Calvin. Kepala Andrea bertambah pusing sekarang, dia terduduk di depan wastafel itu dan menunduk dan kembali menangis. Bukan seperti ini rencana yang dipikirkan oleh Andrea. Dia ingin memulai kehidupan barunya di sini, mempunyai karier sebagai penulis dan juga mungkin menemukan lelaki lain yang akan menggantikan Calvin di hatinya. Bukannya hamil anak Calvin dan sekarang bingung dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia sudah menandatangani kontrak dengan Laura-Mami Calvin bahwa apa pun yang terjadi dia tidak akan kembali bahkan walau hanya untuk menemui Calvin. Kalau dia nekat kembali pada Calvin maka Laura akan menuntut Andrea dan tentu saja Andrea tidak mau berurusan dengan keluarga Anggara apalagi dengan urusan hukum. Andrea mengacak rambutnya karena kesal tidak memiliki rencana dalam kepalanya. Biasanya dia selalu punya rencana namun kali ini semuanya buntu dan Andrea tidak suka ide yang buntu. Namun yang membuat Andrea semakin sedih adalah fakta bahwa anaknya ini tidak akan mengenal sosok Ayahnya. Dia akan tumbuh tanpa sosok Ayah, seperti Andrea. Dia tidak mungkin pergi dan mengatakan pada Calvin mengenai anaknya ini. Dia cukup tahu bahwa Calvin mungkin mencintainya, setidaknya itu yang Calvin katakan terakhir kali. Tapi Andrea tidak yakin dengan bayi, sepengetahuannya Calvin membenci bayi dan anak kecil. Menurutnya mereka berisik dan mengganggu. Andrea tentu masih ingat dengan peristiwa diusirnya salah satu tamu kolega Calvin karena bayi mereka yang berisik. Ya, dia sebenci itu. Tangisan Andrea semakin deras tanpa adanya suara, sakit sekali rasanya. Dia tidak siap untuk menjadi Ibu, apalagi seorang Ibu tunggal. Bagaimana caranya Andrea akan melewati semua itu? Peristiwa menyedihkan dalam hidupnya kembali terputar bagaikan film dalam kepalanya. Mulai dari dia yang ditinggalkan oleh Ayahnya yang meninggal bahkan sebelum dia mengenal sosok itu, Ibu yang meninggalkannya di tempat Neneknya, Neneknya yang tidak memperlakukannya dengan baik hanya karena alasan Andrea mirip dengan Ayahnya yang sudah meninggal itu. Kemalangannya bertambah saat akan masuk SMA dia malah dikirim ke kota sendirian dan memulai hidupnya. Saat itu Andrea tahu dia tidak pergi ke kota untuk sekolah, dia dibuang ke sana. Sekarang saat semuanya sudah mulai membaik, dia malah jatuh cinta dengan bos yang tidak peduli dengan Ibu yang memandangnya rendahan karena latar belakangnya yang tidak jelas. Sekarang dia malah mengetahui dia hamil anak Bosnya saat dia sudah menandatangani surat perjanjian bahwa dia tidak akan pernah menghubungi bosnya itu. Andrea menangisi nasibnya sendiri yang menyedihkan ini. Bertanya dalam hati pada Tuhan kenapa dari dulu dia tidak punya kebahagiaan yang lama? Kenapa Tuhan menciptakannya tanpa ada rasa bahagia. Andrea mengutuk dirinya sendiri, Calvin, Ibu Calvin, semua keluarganya bahkan Tuhan karena hidupnya yang hancur dan sendirian. Bayangan berat memiliki bayi terus memenuhi kepalanya, dia tidak akan sanggup. Andrea tidak sanggup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN