Chapter 6

1003 Kata
Dengan kesal Diana menendang s**********n Jeremy sangat kuat membuat pria itu jatuh dengan kedua tangan berada di daerah yang Diana tendang sambil mengadu kesakitan. Diana berharap tendangannya dapat membuat kebanggaan Jeremy di potong. Tidak cukup dengan itu saja. Saat Jeremy masih terduduk di lantai, Diana kembali menginjak tangan Jeremy yang menutupi ereksinya dengan sandal hello kitty miliknya membuat Jeremy kembali mengaduh kesakitan. “Eat that, jerk! You are an asshole! Fuckin' bastard!!!” hardik Diana seraya menunjukkan jarinya mengarah ke wajah Jeremy dengan emosi meluap-luap hingga ke kepalanya. Seketika semua orang di sana berhenti dengan aktifitas mereka. Mereka semua menatap pertunjukkan yang sedang Diana buat. Merasa panas karena terlalu lama berada di rumah seorang b******k, Diana dengan cepat membalikkan tubuhnya meninggalkan Jeremy. Tapi baru beberapa langkah, ia kembali menghadap Jeremy —yang sedikit takut melihat kedatangan Diana seakan wanita itu ingin menguliti k*********a. Detik berikutnya Jeremy bernafas lega saat Diana berjongkok hanya mengambil kue yang wanita itu bawa. “Aku tidak akan rela jika kueku dimakan oleh pria b***t,” gumam Diana ketus. Diana menatap Jeremy dengan sorot mata penuh kebencian. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Jika tidak...” Diana mengatur nafasnya yang semakin sesak. “Aku akan menyuruh Inanna memotong ereksimu atau menyuruh Hera menghabisi kelimpahan yang kau dapatkan sekarang lalu membunuhmu secara perlahan-lahan.” Setelah itu Diana meninggalkan Jeremy yang masih memegang selangkangannya yang kesakitan. Jujur, Jeremy sangat terkejut saat tahu Diana berada di rumahnya. Ia yakin sudah mengatakan bahwa ia pergi ke Kanada. Jadi bagaimana bisa Diana tahu ia mengadakan pesta? Jeremy berdiri dengan cepat. Berdeham saat orang-orang masih mengerumuninya seakan ia mengatakan 'it's okay...' atau 'I'm okay..' atau apapun itu yang menjurus ke hal baik-baik saja padahal selangkangannya sangatlah sakit. Tak lama kemudian kerumunan itu berpencar kembali menikmati pesta walau harus menutupi tawa mereka. Jeremy membalikkan tubuhnya menghadap Kevin yang sudah berpakaian lengkap. “Um, Kevin... Aku bisa jelaskan—” Kevin menggelengkan kepalanya tidak habis pikir kelakuan Jeremy. “Kau bilang kau sudah memutuskannya, Jeremy. Jangan mencariku lagi.” Setelah mengucapkan itu, Kevin langsung pergi meninggalkan Jeremy yang menghela nafas. Saat ia ingin melangkah ia langsung berhenti kaku kesakitan. Ia memprediksi, dalam beberapa hari ke depan ia tidak akan bisa bermain bersama Kevin. Segala umpatan yang ia punya ia keluarkan. “s**t! Wanita itu tidak ada manis-manisnya.” *** Diana membawa mobilnya dengan kecepatan sedang. Setiap detiknya ia mencoba mengatur emosinya dengan cara menghirup nafas lalu menghembuskannya berulang kali di antara tangisannya. Seakan tahu caranya tidak mempan akhirnya ia menepikan mobilnya kemudian menangis sekencang-kencangnya. Berteriak hingga memukul stir. Betapa teganya Jeremy... Semenjak mereka pacaran, Diana selalu mengutamakan Jeremy. Dia pernah membatalkan acara Venus hanya untuk menemani Jeremy di rumah sakit saat Ibu pria itu sibuk. Diana juga pernah membelikan jam tangan terbaru untuk pria itu yang harganya fantastis. Tapi apa Diana pernah mengeluh? Tidak! Diana malah senang saat pria itu tersenyum menatapnya. Mengatakan jika Diana adalah wanita yang spesial. Bodoh memang... Dan malam ini, Diana rela berkutat di dapur membuat kue. Dia rela menghabiskan gaji 3 bulannya untuk membeli gaun ini. Ia butuh waktu berjam-jam duduk di salon untuk berdandan. Dan apa yang ia dapatkan dari pria itu?! Hanya kelakuan b***t yang menusuk hatinya dari belakang. Pria itu selingkuh! Diana bisa melihat wajah pria tadi yang sama terkejutnya dengannya. Mungkin mereka memiliki pemikiran yang sama tentang pacarnya yang memiliki kekasih lain. Dan Jeremy? Sungguh, Diana tidak habis pikir jika Jeremy adalah seorang gay. Jeremy selalu tersenyum lembut padanya. Tidak pernah melirik wanita manapun— Pria itu memang tidak waras. Jeremy memang b******n! Diana mengusap air matanya kasar. Ia menatap dirinya di depan cermin mobil. Maskara luntur, mata merah dan bengkak, juga rambut berantakan. Hatinya tertawa saat mengingat betapa bodohnya ia merelakan dirinya di dorong kesana kemari hanya untuk melindungi kue. “Lihatlah... Betapa jeleknya dirimu, Diana...” desisnya sembari menggeleng kepala. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan riasannya dan hanya memberikan polesan berwarna pink di bibirnya. Diana melirik kotak kue yang ia letakkan di dashboard. Membukanya, lalu meringis saat melihat kue di dalamnya hancur setengah. Setidaknya setengah lagi masih dalam keadaan utuh biarpun kue tersebut sedikit miring akibat jatuh. Diana menghela nafas, memijit pelipisnya. Ia membutuhkan udara sebanyak mungkin sekarang ini. Diana menurunkan kaca samping yang langsung disambut suara dentuman samar-samar. Ia menoleh ke kanan kiri lalu ke belakang. Terdapat nama bar terkenal di New York. Diana berfikir sejenak, membuka pintu mobil, lalu membawa kakinya untuk memijak jalanan beraspal itu. Yang ia pikirkan sekarang hanya pelepasan emosi batinnya. Walaupun harus beresiko ia akan akan mendapati dirinya berada di salah satu kamar di bar tersebut esok pagi. Dengan bercak darah pastinya... Bukankah semua pria sama saja. Yang ada di kepala mereka hanya tentang s**********n wanita. Buktinya Jeremy... Jika ia memberikan kehormatannya untuk pria asing di sana apakah ia bisa mendapatkan cinta kembali? Apakah jika ia memberikan kehormatan yang ia banggakan ini akan membuat pria asing itu mencintainya? Diana terkekeh di sepanjang jalan. Mana ada pria yang mencintai wanita bodoh sepertimu, Diana... Mereka akan mempermainkanmu. Semua pria akan seperti itu. Semakin dekat dengan bar tersebut membuat jantungnya terpompa laju. Bagaimana tidak, ini kali pertama ia menginjakkan kakinya di sini hanya sendiri, tanpa Venus. Hera pasti akan marah besar jika tahu Diana ke sini sendirian. Hebat kau Diana... Betapa beraninya kau... “It's okay Diana... You just need to get drunk. Just for a moment, be Helena. Dancing with a stranger, having s*x with someone and everything will be fine,” ucapnya menyemangati diri sendiri. "My God, aku sedikit takut." Dan akhirnya ia masuk tanpa Venus. Hanya sendiri... Ethan memasuki bar tempat langganannya. Bar ternama yang berisikan kalangan atas seperti seleb hingga pengusaha kaya raya. Seperti biasa, ia datang karena membutuhkan wanita untuk menemani malamnya. Ethan duduk di kursi bar dan memesan minuman. Saat minumannya datang, ia langsung menghabiskan hingga tandas. Dan kembali memesan sloki lagi ketika seseorang meneriakkan namanya. “Oh Tuhan, Ethan?!” Wanita berambut pirang itu mendekati Ethan dan memeluk bisep pria itu dengan centil. “Kau masih mengingatku, bukan? Aku bahkan masih mengingat alamatmu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN