1. Kapan Nikah??

3317 Kata
Aku melirik handphoneku yang berdering. “Siapa?” tanya Pipit karena aku mengabaikannya. “Siapa lagi kalo bukan Acha” jawabku. Pipit tertawa. “Angkat Nad, nanti drama mau meninggal, mau pingsan karena elo gak angkat telepon” kata Pipit lagi. Akhirnya aku angkat juga sambil tertawa. Habis sudah kesekian kali dia menelponku hari ini. “ANTE!!!, lama amat angkat telepon doang!!, apa aku perlu suruh om Boi bayar orang buat bantu Ante angkat telepon aku?” omelnya memulai. Aku tertawa mendengar suara cemprengnya yang akan keluar kalo dia sedang ngambek. “Apa sayang?, ante lagi meeting sama tante Pipit” jawabku. Dia berdecak. “Jemput aku di sanggar tari mama, aku gak mau semobil sama Ello. Mama sih bawa bawa Ello ke sanggar, terus papa juga bawa dede Marsha ke sanggar juga. Ribet tante…” rengeknya. Aku menghela nafas. “Kenapa lagi Cha?” tanyaku. Ponakanku tuh gak boleh di cuekin, atau di nomor duakan. Terkesan egois sih, cuma memang dia dari kecil di manjakan karena dulu, cuma dia cucu satu satunya keluarga kami. Sekarang dia harus berbagi karena punya satu adik lelaki yang memang jahil sekali, dan adik perempuan balita yang manjanya juga poll. Jadilah semua harus ikut ribet mengurus anak anak abang tertuaku itu. Abang keduaku hanya punya satu anak, setelah kehamilan kedua istrinya mengalami keguguran. Jadi ikutan menyayangi dan memanjakan anak anak perempuan abangku. Aku?, tentu saja ikutan. Walaupun menyebalkan, toh keponakan itu selalu buat aku gemas. Gregetan pengen nampol, eh gak deh mau nyium. “Ello tuh ganggu latihan tariku terus ante Nad, udah tau acaranya sebentar lagi. Mama udah cape ngomel jadi biarin aja. Lagi tuh, Ello doang cowok cowok yang suka ikut ke sanggar, heran aku tuh. Bukan kaya Biyan yang anteng nurut sama aku” keluh Acha sok tua. Aku tertawa, Biyan, yang dia sebut tadi, anak lelaki abang keduaku. Umurnya di bawah Ello. Tentu aja nurut. Eh gak juga sih, Biyan sih karakternya good boy, sama siapa aja nurut dan sopan, persis abang  keduaku, Brian Syahreza. Kalo Ello di bilang persis abang pertamaku, Andra Syahreza, kok ya gak mirip. Bang Andra itu bukan tipe pecicilan macam Ello, bang Andra itu tipe yang tenang, dan flamboyant. Makanya sebelum dia nikah dengan kakak iparku yang berlatar belakang betawi asli, dia playboy parah. Menurutku Ello itu pecicilannya mengikuti kak Ocha, kakak iparku itu. Hal yang di wariskan kakak iparku pada anak anak mereka yang lain, anak anaknya seragam bermulut juara, walaupun mereka masih kecil. Marsha si bungsu anak abangku, umurnya baru 2 tahun, astaga…mulutnya tetap aja juara. “Trus papa, bucinnya gak ilang ilang. Mama udah pergi di kawal Ello sama aku, tetap aja, mesti jemput mama, bukan temenin Marsha di rumah, kan aku jadi kesel. Pokoknya bilang om Boi, jemput aku sebelum jemput ante kerja. Aku gak mau semobil sama Ello yang resek, aku mau nginep juga di rumah eyang, besok libur dan nanti malam kitakan makan malam. Titik ya ante, no debat!!” katanya menutup perintah. Aku tertawa dan memutuskan panggilan setelah mengiyakan. Aku menelpon Boy dulu sebelum melanjutkan urusanku dengan Pipit. Boy?, ingatkan siapa Boy?, ya pacarku. Tahap hubungan kami baru sampai situ, walaupun kami sudah sama sama selesai kuliah. Gak tau ya, setelah aku tumbuh semakin dewasa, aku tidak lagi merasa harus buru buru menikah seperti rencana awal kami dulu. Boy sampai berhasil menyelesaikan program magisternya di UCLA, sebelum dia kembali ke Indo dan mengambil alih perusahaan media bertaraf nasional milik keluarganya. Mau gimana lagi, dia anak satu satunya, dan lelaki pula. Kami tetap menjalanin hubungan sehat walaupun sudah semakin intim dan dekat. Di usiaku yang mau 25 tahun dan Boy, 26 tahun lebih, kami masih santai dengan pekerjaan. Tidak ada gairah pacaran yang meletup letup, walaupun kami sering berduaan di aparteman Boy, atau di rumahku. Percaya deh sama aku, semakin bertambah umur seseorang, pola pikirnya juga akan lebih berkembang. Aku jadi mengamini, kalo kedewasaan sikap seseorang belum tentu di barengi dengan kedewasaan berpikir. Faktor umur pasti berperan sekali dalam mendewasakan pemikiran seseorang. Buktinya aku nih ya. Dulu aku bisa bersikap dewasa, lebih tepatnya sok tua, dengan selalu ikut campur dengan kehidupan dua abangku. Aku selalu ribet kalo urusan abang abangku, dari mulai bang Andra dengan kak Ocha, sampai soal bang Brie yang dulu susah sekali cari pacar. Nyatanya sewaktu Boy, harus tinggal di Amrik karena kuliah, aku ngamuk ngamuk seperti anak kecil, sampai akhirnya Boy mengutus semua orang untuk menemaniku. Tapi lama lama, setelah akhirnya aku masuk kuliah, aku merasakan betul gimana kehidupan dunia kampus yang beda dengan masa kita sekolah. Akhirnya aku bisa ngerti dengan kesibukan Boy kuliah di Amrik. Aku tidak lagi ngamuk ngamuk karena kangen. Aku sabar aja nunggu Boy pulang kalo waktu libur kuliah datang. Dia akhirnya lulus trus balik Indo, dan aku belum lulus kuliah, aku juga mendukung dia kembali lagi ke Amrik untuk menyelesaikan program magister sarjananya. Akunya menyibukan diri dengan proyek dengan dua teman ajaibku. Ingatkan dua bebek Juminten sama Srintil?. Atas kehebatanku merengek, mereka berdua memang kuliah satu kampus denganku, Pipit masuk jurusan penyajian music, jadi dia lebih ke art director, Opie dan aku masuk fakultas design produk. Yang akhirnya berguna untuk kami jadi creator kreatif dalam bidang seni dan budaya. Kami bertiga akhirnya berkolaborasi mengerjakan proyek Kementerian seni dan budaya, juga kementrian luar negeri, untuk mengirim para pemuda pemudi yang berperan serta aktif dalam misi kebudayaan nasional ke luar negeri. Semua berawal, karena tampilnya aku membawakan tarian di kedutaan Indonesia untuk Australia bersama kakak Ocha yang memang penari handal. Hanya kak Ocha konsen di tarian budaya betawi, karena keinginannya melestarikan budaya leluhurnya. Aku tidak begitu, semua aku ambil. Mau urusan tarian daerah manapun, mau cuma bawa pasukan paduan suara yang lomba, sampai acara festival makanan nasional di luar negeri yang suka di adakan kedutaan negara kita di suatu negara. Sibuklah aku selepas kuliah, keliling Indonesia, untuk mendalami dan mencari orang orang yang memang konsen melestarikan budaya nasional di pelosok pelosok daerah, bersama dua temanku, atau ikut keliling dunia karena program missi budaya itu. Kami bertiga jadi rekanan kementrian departeman pendidikan dan kebudayaan nasional. Kalo wadah yang menaungi kami bertiga adalah yayasan kemanusian yang di dirikan bang Brie untuk kak Cleymira istrinya. Ya abangku memang mensupport passion dan hasrat istri istri mereka. Seperti bang Andra yang membuatkan sanggar tari besar untuk kak Ocha, bang Brie juga membuatkan yayasan kemanusiaan untuk kak Cley, yang tertarik jadi madam Thresia zaman now. Yayasan yang bang Brie buat beda dengan yayasan milik teman SMA ayahku yang konsen pada anak anak terlantar dan anak anak jalanan. Yayasan milik teman ayahku, om Prass, itu lebih mirip di sebut rumah singgah, atau panti asuhan. Kalo milik kak Cley, itu lebih kepenanganan bencana alam di daerah, pemberian bantuan hukum pada orang yang membutuhkan bantuan hukum tapi tidak punya biaya, misal korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak anak, atau bantuan hukum pada orang miskin yang bersengketa karena haknya di ambil paksa oleh orang yang punya kuasa. Dan masalah sosial lain yang masuk ke yayasan. Darimana sumber dananya?, selain support penuh dari kedua abangku dan ayahku, juga dari pacarku itu. Dan dari donatur relasi keluarga kami. Dari pemerintah juga ada. Kalo memang harus kirim orang orang untuk ke luar negeri, kan butuh akomodasi. Kalo sedang ada bencana alam, kami buka rekening untuk masyarakat yang menyumbang, yang programnya di kawal oleh perusahaan media yang Boy pimpin. Kalo gaji Opie, ya jadi pengeluaran yayasan, juga karena Opie kerja freelance di stasiun TV milik Boy, dia itu lebih pantas di sebut asisten Boy dalam menyusun program acara di stasiun TVnya. Semenjak di ambil alih oleh Boy, memang banyak acara acara yang di tiadakan. Macam sinetron kejar tayang atau acara gossip gossip selebriti. Bukan tidak ada sama sekali, hanya porsinya di kurangi. Gimana pun bisnis gak bisa terlalu idealis. Macam sinetron, kalo pun ada, lebih ke sinetron bertema keluarga yang inspriatif, atau sinetron komedi. Kalo ada acara music, ya music aja, bukan di campur acara masak masak, atau di campur dengan acara gossip para hostnya. Dan acara gossip tetap ada, tapi lebih ke acara talk show, yang mengundang langsung si artis, untuk mengkonfirmasi sesuatu, dan bukan lagi acara gossip artis yang penuh narasi panjang dan lebay. Itu kenapa banyak artis setuju jadi tamu, selain untuk mengkonfirmasi sesuatu, ya terkadang mereka suka karena jadi media mengumumkan karya mereka, dan bukan lagi bicara soal kehidupan pribadi mereka. Dan di yayasan milik bang Brie lah setiap hari aku ngantor, bersama Pipit dan Opie kalo tidak ada urusan dengan Boy. Hari ini dia ada urusan dengan Boy, karena ada meeting program baru soal program acara mencari bakat nasional. Yang nantinya di harapkan ada lagi talent talent anak muda yang konsen di kebudayaan nasional. Seperti seorang gendang cilik yang kami temukan karena ajak pencarian bakat di televisi, akhirnya aku bawa lawatan ke luar negeri, mengiringi penari jaipong tampil di panggung internasional. Mesti bangga jadi orang Indonesia. Dulu, aku dan Pipit menertawakan Opie yang nasionalis sekali. Sekarang setelah kami bergerak jadi misi kebudayaan, rasanya bangga sekali, saat melihat orang orang yang kami ajak tampil memenangkan lomba, gak usah menang deh, melihat orang bule ikutan tari Maumere aja , kami sudah senang dan bangga sekali. “Itu sih elo bakalan lama merried Nad, sibuk jadi baby sitter Acha mulu” komen Pipit. Aku tertawa. “Sombong lo baru tunangan doang, Galih terpaksa itu” ledekku. Dia tertawa. “Opie juga anteng amat ya jomblo?, dia gak mau Nad sama bule yang dari UNICEF?” tanya Pipit. Aku mengangkat bahu. Opie memang di kecengin bule. Satu bukti kalo lelaki tuh gak selalu suka dengan perempuan berbody goal. Opie cenderung gendut, tapi karena dia pinter, bule relawan keceh, malah suka sekali. Opienya masih mikir karena beda keyakinan. Masalah sensitive kalo soal agama sih. Aku dan Pipit tidak ikut campur, membiarkan Opie dengan romansanya, lagian mereka juga jarang ketemuan, karena kesibukan. “Biar aja deh dengan kegalauannya, tar juga ada jalan” jawabku lalu kami melanjutkan pekerjaan kami sampai Boy, Opie dan tentu saja Acha datang. Acha masih ngambek dan sibuk mengeluh pada Boy yang mendekat padaku hanya untuk mencium pipiku lalu melayani Acha yang ngembek di sofa ruangan kantorku. “Gila ya ponakan elo, sepanjang jalan loh, ngomel kaya pake baterai everyday, gacor Nad, di sekolah dia belajar bahasa Indonesia gak sih, masa ngomong gak ada titik koma” komen Opie setelah mencium pipiku juga. Aku tertawa berdua Pipit. “Awas dia dengar, tar minta bang Brie apa kak Cley pecat elo gawe” kata Pipit menanggapi ciuman pipi dari Opie. “Hadeh, susah dah cucu sultan. Drama banget sama bokapnya, untung ya tuh bang Andra soleh banget, macam mas Boi, iya aja Acha ngomel padahal yang di omongin bolak balik soal adiknya yang jahilnya poll. Udah si Marsha ngamuk minta es cream lagi, kelar dah hidup bang Andra. Untung keceh badai paripurna Nad, mau tuh kemeja belepotan es cream Marsha aja, tetap badas abang elo. Gue kalo kak Ocha ngasih abang elo poligami, pasti antri paling depan” kata Opie lagi lalu duduk di sebelah Pipit di depan meja kerjaku. Aku dan Pipit ngakak. “Buat jadi guling kalo kak Ocha kerja jadi pawang uler bang Andra, mau lo?!!, yang cuma ngeces atas bawah sampe ileran” ledek Pipit. Opie ngakak. Kami lalu langsung diam waktu Acha mendekat ke arahku. “Ante pulang yuk, cape nian hayati, mau bobo, di sini gak enak  buat bobo, mau di kamar eyang ti apa kamar ante” rengeknya padaku. Aku mengangguk. “Eh jangan di kamar ante Cha, om Boi tar keganggu” gurau Pipit. Acha berdecak. “Halalin ante aku dululah!!, enak aja mentang mentang sultan, ante aku gak boleh di bawa ngamar kaya mamaku sama papaku. Mamaku bilang, ante belum boleh berduaan di kamar kaya mama sama papaku” jawabnya galak. Boy seperti biasanya hanya tertawa. “Ayo Yang, lanjut besok kerjaanmu. Pie elo bareng Pipitkan?” tanya Boy beralih pada Opie. “Biasa mas Boi, jadi supir juragan nyonya, kan gue berharap di kasih lambo sama juragan mobil” jawab Opie yang sudah bisa nyetir mobil juga dan jadi antar jemput Pipit. Pipit tertawa sambil bangkit. “Go home sista, besok tinggal natar peserta lawatan supaya kita juara lagi kaya yang udah udah” ajak Pipit. Kami memang selalu briefing anak anak muda yang akan ikut lomba tari atau nyanyi di luar negeri, supaya mereka tidak hilang arah, kadang ya, namanya generasi milenial, malah sibuk selfie dan bukan focus lomba, itu kenapa perlu di ingatkan. Apalagi tujuan lawatan kami kali ini ke Paris yang sedang mengadakan festival budaya. Berlalulah kami pulang ke rumah masing masing. Acha tertidur di mobil dan Boy yang menggendongnya ke kamarku. Kecapean ngoceh jadi ngantuk. Aku dan Boy Ikutan sholat magrib dengan ayah bunda dan pekerja rumah lalu kami menunggu keluarga abang abangku datang. Princess Acha tetap di biarkan tidur setelah bunda menggantikannya baju. Kebiasaan baik yang di tularkan bang Andra dan kak Ocha jadi begitu kalo kami kumpul, kalo tidak kumpul, ayah dan  bunda sholat di kamar. Aku yang masih suka malas malasan. Boy karena ikutan tertular bang Andra dan bang Brie, lebih rajin dari aku. Solehkan pacarku?, solehlah, kan bergaul dengan orang soleh. “OM BOI!!!” cetus Ello mengajak Boi high five saat dia datang. “EL, mama udah bilang supaya cium tangan” omel kak Ocha mulai bersuara. Dia berdecak. “Mah, om Boi masih muda, masa cium tangan, mama gak gaul nih, kan kalo selesai sholat sama ngaji, aku cium tangan, mama payah!!” jawabnya. Ayah dan bundaku tertawa. “Sama Eyang kung tos juga gak?” tanya ayah. “TOS dong Yang, biar eyang muda trus, gak kaya mamaku, jadi tua karena doyan ngomel” jawabnya dan membuat bunda menarik tubuh kecilnya untuk di peluk. Kami tertawa. Bang Andra cuma menggeleng pelan melihat kelakuan putranya, karena sibuk menggendong Marsha si bontot yang merengek turun minta ke bunda. “Eh ante Nad Nad, cantik amat, sayang belum di halalin, mau tunggu aku gede aja gak?” rayu Ello beralih padaku. Aku tertawa. “Mana boleh nikahan sama keponakan, lagian kalo boleh, ante gak mau sama kamu, gantengan Biyan” ledekku. Dia berdecak. “Ante belum tau pah, berapa banyak cewek di sekolah yang kasih aku surat bilang suka aku, bangkuku aja, kanan kiri cewek semua” jawab Ello. “Astaga…” desis bang Andra menepuk keningnya setelah Marsha di pangku bundaku. Kami tertawa kecuali kak Ocha yang bertahan berdiri dan tolak pinggang. “Dan mama ketiban pulung karena mama cewek cewek itu ngadu kalo kamu suka suruh cewek cewek itu kerjain tugas kamu” omel kak Ocha. Ello tertawa. “Lah salah aku dimana?, wajar mah, kalo orang ganteng kaya aku. Aku juga gak minta di kerjain tugas sekolahku, mereka aja yang mau. Aku mah santuy, aku pinter…” “Cuma kamu malas, karena kebanyakan gaya” potong bang Andra. Ello tertawa sendiri sedangkan kami tertawa melihat bang Andra dan kak Ocha yang geleng geleng. “Duduk mah, nanti mama kurang tenang buat ngomel, gak ada kak Acha yang bantu mama ngomelin aku” jawab Ello lalu santai berteriak pada PRT rumah minta minum. Kak Ocha menurut duduk setelah mencium tangan ayah dan bunda. “Haus bosque?” ledekku karena Ello duduk di antara aku dan Boy. Ello menggeleng karena dia sedang minum air putih yang bibi bawakan. “Gak terlalu ante Nad, aku harus menjaga kegantenganku dengan minum air putih, masa gitu aja gak tau” jawabnya konyol. Boy sudah ngakak dan mengacak rambutnya, kedua orang tuanya sudah sibuk ngobrol dengan ayah dan bunda tentang telatnya keluarga bang Brie dan istrinya. “Asalamualikum…” dan kami menemukan keluarga bang Brie datang. Manisnya Biyan, keponakan lelakiku anak satu satunya bang Brie, dia menggenggam tangan mamanya, kak Cley,  bosku di yayasan. Sementara bang Brie membawa bungkusan buah seperti biasa kalo dia datang. “Bie!!, brother aku!!” cetus Ello bangkit dan mendekat ke arah Biyan. Biyan tertawa. “Bang tunggu, mommyku belum duduk” tolak Biyan menolak rangkulan Ello dan tetap menuntun mamanya. “Susah deh anak mommy” ejek Ello lalu beralih mengajak bang Brie tos. Baru setelah membantu kak Cley sampai mendekat ke arah kami dan mencium tangan ayah dan bunda, dan menyalami yang lain, Biyan menyalami kami juga dengan sopan. “Tukeran anak boleh gak tante Cley?” ejek Kak Ocha. Ellonya tertawa mendengar sindiran mamanya. “Akunya gak mau tante Ocha, aku sayang mommy aku” tolak Biyan setelah mencium tangan bang Andra dan kak Ocha. Kak Cley dan bang Brie tertawa. “Malam tante Nad Nad, om Boi, senang bisa ketemu lagi” sapa Biyan sopan. “Meleleh…”desisku gemas lalu menciumi pipi Biyan. Abis gemes banget dengan sopannya Biyan. “Sini duduk sama Om Bie!!” kata Boy. Biyan menurut duduk. “Aku om?” tanya Ello. “Ello sama eyang kung aja” kata ayahku. Ello menurut. “Tinggal tunggu incess Tasya bangun supaya gak ngamuk karena di tinggal makan malam” kata bunda. Kami tertawa lagi. “Incess lagi incess lagi, pusing aku tuh” keluh Ello. Untung tak lama Acha bangun dan sibuk membuat repot bunda dan ayahku. Aku hanya bisa menatap bocah bocah yang berdebat di meja makan. Waktuku untuk ledek ledekan dengan kedua abangku seperti dulu sudah habis. Sudah ganti generasi yang berdebat. Walaupun di d******i Ello dan Acha. Biyan hanya menengahi sesekali karena anteng makan. Marsha sibuk menghabiskan ayam goreng, sendirian sampai belepotan, siapa yang berani menjeda, dia di pangku ayahku. Kalo habis tinggal suruh bibi buat lagi. Marsha itu susah makan, hanya suka makan ayam goreng, dia gak suka nasi, sangat sangat gak suka. Kalo pegang nasi seperti jijik. Jadi karbohidrat yang dia makan cuma kentang goreng. “Kapan kita nikah kalo semua cucu ayah sama bunda selalu buat repot” komen Boy setelah kami selesai makan malam dan menyingkir ke tepi kolam renang rumahku. Spot favorit kami. Jangan pikir ada satgas perawan seperti dulu, dua kakak iparku sudah menyerah menyuruhku menikah, begitu juga dua abangku. Mereka suka bergurau agar Boy menghamiliku supaya aku dan Boy segera nikah. Bukan aku gak mau, aku masih suka melakukan kegiatanku, dan Boy masih urus pekerjaannya. Kalo sudah nikah, otomatis, apa pun harus melibatkan Boy. Dan ruang gerakku pasti terbatas karena aku pasti harus urus suami dan anakku bukan?. “Mau coba bikin aja gak?, biar bunda sama ayah tambah pusing?” gurauku. Boy tergelak. “Bukan pusing gara gara cucu, malah pusing sama media untuk konfirmasi kehamilan di luar nikah kamu” jawabnya. Gantian aku tertawa. “Trus kita kapan nikah?” tanyaku. Boy menghela nafas. “Kapan pun kamu mau, aku siap. Aku sudah bisa kasih masa depan untukmu seperti yang aku janjikan” jawab Boy sambil mengusap cincin milik maminya di jemari tanganku. Aku tersenyum menatapnya. “Tapi kalo kamu masih mau melakukan pekerjaanmu, aku gak masalah, tinggal aku ikut kerja juga sepertimu Nad. Aku gak bermaksud supaya kamu berdiri di depanku, untuk mengungguliku karena prestasimu, egoku bisa terusik dan kamu bisa aku tabrak, supaya aku tidak merasa kalah. Tapi aku juga gak mau kamu berdiri di belakangku, kamu berhak memberdayakan kemampuanmu supaya kamu tidak rendah diri karena harus mendampingiku meraih kesuksesan sepanjang sisa hidupmu nantinya. Aku mau kamu berdiri di sampingku, dengan percaya diri, karena kamu punya prestasi, tapi lalu tidak merasa sombong karena merasa kamu bisa melakukan semuanya tanpa aku, karena kamu tau, sejak awal aku mendukung semua yang kamu kerjakan. Kita jalan sama sama ya, kan tujuannya sama, rumah tangga samawa until jannah kalo kita akhirnya menikah” jawab Boy. Aku langsung memeluk lehernya. “Kesayangan aku, kesayangan aku, kesayangan aku” ungkapku bertubi tubi di sertai ciumanku di seluruh bagian wajahnya dan berakhir dengan ciuman di bibirnya. “SENSOR ANTE!!!!” jerit Ello menjeda ciuman kami dan dia sudah menutup kedua matanya pakai tangan. Aku dan Boy terbahak melihat Ello langsung lari lagi ke dalam rumah. Siapa suruh jahil banget, dia biasa banget menganggetkan aku dan Boy yang kadang serius ngobrol berdua. Keponakanku itu ampun deh jahilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN