Mobil berhenti di lobi sebuah mal besar di tengah kota. Sopir membukakan pintu. Arthur turun lebih dulu lalu mengulurkan tangan pada Evelyn.
“Pelan-pelan sayang,” ujar Arthur.
“Iya, Mas,” jawab Evelyn sambil meraih tangannya.
Mereka berjalan memasuki mal dan langsung menuju restorannya. Begitu duduk dan melihat menu, Evelyn menatap Arthur.
“Kamu mau makan apa, Mas?”
“Yang biasa aja. Kamu pesan aja buat kita berdua,” jawab Arthur sambil menutup map menu.
Evelyn tersenyum kecil. “Baik, Bos besar.”
Arthur terkekeh. “Mulai lagi kamu.”
Tak lama pesanan datang. Mereka makan dalam suasana yang terlihat tenang, meski pikiran masing-masing penuh hal lain.
“Mas,” kata Evelyn setelah beberapa suap. “Nanti malam kita harus tampil yang rapi. Ini kan acara pertunangan, kita harus menghargai Papa. ”
“Iya,” jawab Arthur. “Makanya setelah ini kita belanja sebentar.”
“Duh, itu tandanya kamu siap kena seret aku muter-muter mall,” goda Evelyn.
Arthur menghela napas panjang pura-pura pasrah. “Sudah nasib.”
Setelah makan, mereka pun berbelanja. Evelyn memilih beberapa kebutuhan, termasuk mencari dress untuk malam nanti. Setelah selesai, ia menoleh ke Arthur.
“Mas, aku mau ke salon bentar, ya. Biar rapi sekalian.”
Arthur mengangguk. “Iya. Mas tunggu di kafe aja.”
“Jangan pergi ke mana-mana lho,” kata Evelyn sambil menunjuknya.
Arthur tersenyum. “Mas di sini. Kamu yang jangan lama-lama.”
Evelyn masuk ke salon. Di dalam, ia duduk di kursi rias.
“Mau diapakan, Mbak?” tanya salah satu kapster.
“Make up yang simple tapi elegan. Aku mau datang ke acara di hotel,” jawab Evelyn.
“Siap, Mbak.”
Selama didandani, pikiran Evelyn melayang.
“Mas Arya… sudah bertunangan,” batinnya.
“Kenapa rasanya aku gak iklas ya…”
Beberapa saat kemudian, Evelyn keluar dari salon dengan tampilan baru. Dress yang ia kenakan jatuh anggun di tubuhnya. Rambutnya tertata rapi, riasannya lembut.
Arthur yang menunggu di kafe langsung berdiri saat melihatnya.
“Evelyn…” Arthur menatapnya cukup lama. “Kamu cantik sekali sayang.”
Evelyn tersenyum kecil. “Terima kasih. Kamu juga harus rapi, nanti ganti jas dulu, ya.”
Arthur terkekeh. “Siap, Nyonya.”
Mereka kembali menuju mobil. Sopir sudah siap di depan mal.
“Kita langsung ke hotel,” ujar Arthur.
“Baik, Mas,” jawab sopir.
Mobil melaju meninggalkan mal. Evelyn menatap keluar jendela, sementara Arthur menatap lurus ke depan.
Di dalam hati Evelyn, perasaan campur aduk mulai menyeruak.
“Malam ini… aku akan bertemu Mas Arya lagi,” batinnya.
“Semoga aku benar-benar bisa bersikap biasa.”
Sementara di sisi lain, Arthur menggenggam ponselnya pelan di pangkuan.
“Jangan sampai perselingkuhan ku dengan Bianca ketahuan,” pikirnya.
Mobil terus melaju menuju hotel tempat acara pertunangan itu akan berlangsung.
Mobil berhenti di depan hotel bintang lima yang megah. Lampu-lampu kristal dari dalam ballroom terlihat berkilauan. Arthur lebih dulu turun, lalu menggandeng tangan Evelyn.
“Ayo, Sayang,” ujar Arthur.
Evelyn mengangguk kecil. “Iya, Mas.”
Mereka melangkah masuk ke dalam ballroom yang penuh tamu berpakaian elegan. Musik mengalun lembut. Laura langsung menghampiri mereka dengan wajah sumringah.
“Akhirnya kalian datang juga,” kata Laura.
“Iya, Mah. Maaf telat,” ujar Evelyn.
“Belum mulai kok. Ayo, masuk,” kata Laura sambil menarik tangan Evelyn.
Tak jauh dari sana, seorang pria paruh baya menghampiri.
“Arthur, Evelyn… sini,” katanya ramah. “Kenalkan, ini Arya, anak Papa.”
Arthur tersenyum formal. “Arthur.”
Arya mengangguk sopan. “Arya.”
Laura menoleh ke sekeliling. “Imel mana? Kok belum kelihatan.”
“Masih make up, Mah,” jawab Arya singkat.
Evelyn lalu mengulurkan sebuah kotak bingkisan.
“Ini ada sedikit hadiah dari kami.”
“Terima kasih,” jawab Arya. “Ayo, kita duduk.”
Mereka berjalan menuju meja tamu kehormatan. Setelah duduk sebentar, Evelyn tampak gelisah.
“Mas, aku ke toilet sebentar ya,” ujar Evelyn pelan pada Arthur.
Arthur mengangguk. “Iya. Aku tunggu di sini.”
Di koridor toilet yang agak sepi, Evelyn baru saja keluar dari bilik ketika tiba-tiba seseorang menarik tangannya. Seketika ia ditarik ke pelukan.
“Mas! Kamu ngapain sih?!” Evelyn terkejut sambil berusaha melepaskan diri.
Arya menahan lengannya.
“Aku cuma mau ngomong. Dengerin aku, Evelyn.”
“Lepasin dulu! Ini tempat umum!”
Arya menatapnya dalam-dalam.
“Mas cuma menyukai kamu. Dari dulu. Mas sama Imel itu bukan karena cinta. Kita cuma dijodohkan sama Papa buat urusan bisnis.”
Evelyn terdiam sesaat, lalu mendorong dadanya.
“Terus kenapa kamu ngomong gini sekarang? Aku udah punya suami, Mas! Dan hubungan kita dulu cuma cinta monyet!”
Arya mendekat lagi.
“Tapi kamu masih punya perasaan ke Mas, kan?”
Evelyn menahan napas, matanya berkaca.
“Keluar dari sini, nanti ada yang lihat!”
Arya menyeringai tipis.
“Kamu takut?”
Tanpa memberi kesempatan, Arya tiba-tiba mengecup bibir Evelyn singkat.
“Mas!” Evelyn terkejut, mendorongnya keras.
Arya tersenyum kecil lalu berbalik pergi begitu saja.
Evelyn terpaku beberapa detik. Tangannya perlahan menyentuh bibirnya sendiri.
“Astaga…” bisiknya gemetar.
Ia menggeleng kuat-kuat.
“Sadar, Evelyn… kamu punya suami. Dan dia itu kakakmu.”
Evelyn menarik napas panjang sebelum berjalan kembali ke ballroom dengan langkah berat dan hati yang kacau.