CHL - Chapter 2

1500 Kata
Dan detik selanjutnya mereka berdua terlibat obrolan ringan dan seru. Maya akan selalu tertawa tiap kali si Dark Grey mengatakan hal konyol apa saja yang pernah ia alami. Dari pembicaraan mereka, Maya mengetahui sedikit tentang pria ini. Dia telah berada di Singapura untuk waktu yang lama dan baru saja kembali ke Indonesia beberapa hari lalu. Dan bar ini adalah tempat yang paling sering ia kunjungi sebelum dia pergi ke Singapura. Maka dari itu J cukup kaget ketika melihat si Dark Grey datang malam ini. Tidak terasa waktu berjalan sangat cepat. Maya bahkan tanpa sadar sudah menghabiskan martini beserta zaitunnya. Dan mereka terdiam hingga menimbulkan keheningan yang cukup canggung. Tangan Maya sesekali akan merapikan rambutnya. Melihat gelasnya yang kosong, ia pikir sudah waktunya pulang walau dia merasa bahwa waktu mereka berdua masih kurang. Dengan kesadaran masih 80%, ia mencari uang tunai di dalam tas malamnya. “Aku yang bayar.” Maya terdiam. Ia menatap si Dark Grey. Pria itu mengeluarkan kartunya dan memanggil J. “Gelas Nona Grey juga.” J menatap Maya sejenak. Karena wanita itu hanya diam saja, J akhirnya mengangguk. Setelah proses pembayaran yang lumayan singkat barulah J mengembalikan kartu milik pria seksi tadi. Memegang tas tangannya, Maya beranjak berdiri dan menatap Dark Grey. “Thanks.” Dark Grey memberikan senyum tipis. Di saat Maya mulai melangkah, dia menghentikan wanita itu dengan sebuah ajakan, “Malam masih panjang, ingin ke tempatku? *** “Martini sialan...” Gerutu Maya berbisik dengan tangan memijit kepalanya yang sedikit berdenyut. Tidak ingin menghabiskan banyak waktu, ia segera melarikan lengan berat pria yang nama aslinya bahkan Maya tidak tahu beserta kaki-kaki pria itu yang mengelilinginya seperti koala. Menarik selimut untuk menutupi keadaan dirinya sendiri, Maya mulai memunguti semua pakaiannya dan mencari pintu apapun yang paling dekat dengannya. Menemukan pintu yang ia maksud, ia segera ke sana dan menguncinya dari dalam. Melihat sekeliling, ia cukup lega. Ini adalah lorong menuju kamar mandi dengan sebuah wastafel beserta cermin di depan Maya. Maya mengenakan gaun malamnya dengan sangat cepat. Ia bahkan tidak merapikan rambutnya ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Ia hanya mencuci wajahnya yang terlihat sangat menyedihkan. Oh ayolah, ini sudah siang bagi wanita karir yang menginap di tempat tinggal orang lain. Jam kerjanya pukul 9 pagi. Dan dari —entah di mana dia saat ini— menuju rumahnya kemungkinan paling lamanya sekitar 1 jam. Lalu, jam berapa dia akan mandi, sarapan dan pergi kerja? “Oh shoot.” Maya keluar dari ruangan itu tergesa-gesa. Ia mengalihkan wajahnya ketika menyelimuti si Dark Grey tanpa busana yang masih pulas dan membelakanginya. Kemudian ia mengambil tas dan sepatunya. Ketika Maya mengaitkan salah satu tali sepatu hak tingginya, alarm ponselnya kembali berbunyi membuat pria yang masih di tempat tidur besar itu mengernyit. Dia membuka matanya dan melihat pemandangan sesosok wanita yang ia bawa ke tempatnya sudah berpakaian lengkap. Menutup matanya, dia bergumam dengan suara serak khas bangun tidur, “Kenapa harus pergi cepat? Ini masih awal.” Heh, masih awal katanya... Batin Maya berdecak. Maya mematikan alarm ponsel kemudian mengambil sepatu lainnya. “Ini hari Senin dan aku harus kerja.” Pria itu menyipitkan matanya. “Dengan pakaian seperti itu?” “Tentu saja tidak!” Seru Maya. Dia akan menjadi bahan perbincangan semua teman kerjanya jika dia datang kerja menggunakan gaun dari acara pernikahan temannya. “Aku harus kembali ke tempatku dan berganti pakaian.” Maya mengerutkan dahinya setelah itu. Kenapa ia merasa dia terlalu santai dengan pria asing satu malamnya? Itu mungkin karena pria ini yang mulai bersikap santai. Ah sudahlah! Maya menggeleng. Setelah mengenakan sepatunya dengan sempurna, Maya segera berbalik. “Apa kita akan berakhir seperti ini?” Suara pria yang masih di tempat tidur membuat Maya berhenti melangkah. “Ah benar...” bisiknya sebelum berbalik seraya mengeluarkan beberapa uang tunai dari dalam tas malamnya. Meletakkan 3 lembar uang seratus ribu rupiah di atas nakas pria itu, Maya berkata, “Pembayaran martiniku dan ambil kembaliannya.” Pria itu menumpukan kepalanya di satu tangan. Matanya menatap Maya dengan tatapan menghibur. “Jika aku masih ingat aku bilang aku mentraktir minumanmu.” “Itu sebelum kita berakhir di tempat tinggalmu.” Maya berkata cepat. Jika alasan pria ini membayar minumannya supaya bisa membawa Maya ke tempat tidurnya, itu terdengar menyebalkan. Wanita mana yang mau dibayar satu gelas martini untuk berakhir seperti ini?! “Kalau begitu, selamat tinggal.” Tidak ingin terlalu lama di sana, Maya kemudian berbalik dan pergi. Menatap uang tunai di atas nakas, pria itu hanya mengangkat sudut bibirnya sedikit sebelum bangun dari tempat malasnya. *** “Ah sial...” Tiba di kantor dengan pakaian kerjanya, kepala Maya merasa luar biasa pening. Dia berjalan menuju pantry di departemennya dan mengambil satu buah aspirin. Tepat ketika ia menelannya bersama air mineral, saat itu juga Jane datang. “Iris masuk kerja hari ini.” Berbalik, Maya seketika terkejut. “What?!” Maya, Jane, Ayumi dan Veronica segera menemui Iris yang baru saja mendaratkan bokongnya di kursi. Mereka segera mengelilingi wanita berparas cantik itu. “Masuk kerja di hari pertama menikah?!” pertanyaan pembuka dari Maya segera disusul yang lainnya. Dan detik berikutnya Iris mendapatkan banyak pertanyaan bertubi-tubi. Maya terkikik ketika melihat wajah Iris yang bersemu merah dan suara maupun gerak-geriknya yang kikuk. Wanita ini, adalah sahabatnya yang sudah menikah tadi malam. Dan cukup lucu untuknya kembali bekerja di hari pertama pernikahannya, bagi Maya. Biar begitu, Maya tak ambil pusing. Toh, sahabatnya masih dalam momen bahagianya. Jujur saja, Maya ikut bahagia ketika mendengar Gavin Mikhail, pria yang tidak pernah menatap Iris akan menjadi suami Iris. Sahabatnya ini sudah menyukai pria itu semenjak mereka berada di Inggris. Namun, Maya tidak terlalu menyukai adik dari Gavin. Yah sebenarnya dia juga tidak terlalu suka dengan Gavin karena sikapnya yang dingin pada Iris. Pokoknya, bagi Maya, keluarga Mikhail tidak ada yang terlihat baik selain Nenek Rosalina dan ibu mertuanya yang sering Iris ceritakan kepada Maya. Maya tersenyum. Kisah cinta sahabatnya baru dimulai. Sedangkan dia.... Bayangan mantannya yang bersama wanita lain membuat senyum Maya saat ini hilang. Matanya sedikit kebas. Dan ia mengerjapkan matanya berulang kali. Oh Tuhan... Maya masih mengingat mantannya! “WHAT?!” pekikan serempak yang berasal dari Veronica, Jane dan Ayumi membawa Maya kembali ke masa sekarang. “Ini di kantor!” Iris mengingatkan mereka. Dan wanita itu terlibat omong kosong dengan Jane untuk sementara waktu. Maya mengangkat majalah dewasa yang ia ambil dari meja teman laki-lakinya tepat di wajah Iris. “Jadi, kenapa kalian belum melakukan ini?” Melihat wajah sahabatnya semakin merah seperti tomat busuk, Maya tidak bisa berhenti menyeringai. Oh dia sangat tahu besar cinta Iris kepada suaminya. Ia pun kembali memasukkan majalah tadi ke dalam tasnya. Pertanyaan Maya dan yang lainnya seperti tidak ada habisnya. Dan Iris sangat kewalahan dengan semua itu sampai seseorang di belakangnya menginterupsi mereka. “Apa yang kecil?” Suara yang sudah mereka kenali membuat Maya dan yang lainnya menoleh ke belakang. Di sana, Richard; ayah dari Iris, Bos dari Bos di departemen Maya, pemilik dari Perusahaan Adinata, sudah berdiri dengan wajah ramahnya seperti biasa. Mereka segera menunduk sedikit dan menyapa Richard dengan sopan. Hanya Maya yang diam. Matanya melebar ketika terkejut. Bukannya menatap dan menyapa Pak Richard, dia malah menatap pria yang mengenakan setelan jas yang dijahit rapi dengan tangan. Pria itu berdiri di sebelah Pak Richard. Pria yang tidak asing baginya. Pria yang ia temui tadi malam. Pria yang mengajaknya ke penthouse milik pria itu. Dan pria yang menghabiskan malam dingin tadi malam bersamanya. Well, itu malam yang panas... Dark Grey... Oh hebat. Maya masih ingat panggilan darinya dan warna pakaian yang pria ini kenakan tadi malam. Kenapa dia berpakaian formal? Kenapa dia bisa bersama Pak Richard? Apakah mereka saling kenal? Dan terlebih lagi, apa yang dilakukannya di sini?! “Mengurusi bisnis orang lain.” Maya masih ingat ketika J bertanya pada pria ini dan itu adalah jawabannya. Apa maksudnya? Dia ingin mengambil alih Perusahaan Adinata, begitu? Kepala Maya rasanya ingin pecah padahal dia sudah mengambil satu aspirin barusan. Tapi, tunggu sebentar.... Tipe pria seperti pria di depannya ini bukankah tidak akan mengingat teman satu malamnya? Lagi pula tadi malam Maya mengenakan riasan tebal ke bar karena pulang dari pesta pernikahan Iris. Dan sekarang dia hanya mengenakan riasan tipis. Jadi mana mungkin dia mengenal Maya. Benar kan? Ya, pasti begitu. Bertanya pada dirinya sendiri dan menjawabnya sendiri. Malah semakin membuat Maya gugup. Semua pertanyaan dalam benaknya hanya bisa ia simpulkan menjadi; pria ini, yang berdiri di depannya, yang tidak melihatnya, akan bekerja di sini. Oh darn it.... Bagaimana jika pria ini suka bergosip?! Kalau benar adanya, masa depan Maya yang cerah di Perusahaan Adinata akan berakhir! Tersadar dari kepanikan batinnya, Maya mencoba menarik dirinya. Ia hendak melarikan pandangannya tepat ketika mata dalam pria itu bergeser padanya dan mengunci tepat di manik mata hitam Maya. Jantung Maya berdebar-debar. Ia tidak bisa bergerak. Wajahnya tidak bisa ia gerakkan. Ia seolah terhipnotis untuk terus membalas tatapan dalam pria itu. Menatap Maya, pria itu mengeluarkan senyuman tipis untuknya. Hanya itu, Maya mengetahui satu hal. Oh, no.... Batin Maya. Dia mengingat Maya...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN