Mandiri

1017 Kata
Suara alarm ponsel berbunyi nyaring. Pagi kembali menyongsong, tak peduli malam yang kelam baru saja berlalu. Kesepian mulai menghampiri. Terlalu banyak hal yang berubah hanya dalam satu malam. Aku mulai bangun dan bersiap-siap untuk keseharianku yang baru. Mengurus kelulusanku dan bersiap untuk kuliah. Bedanya sekarang semua kulakukan seorang diri. Rasanya aku jadi teringat dengan kehidupan lamaku Falisha. Seharusnya aku terbiasa dengan kesendirian. Aku terlalu terlena dengan kebahagiaan dari kesempatan keduaku. ‘Hahh.. di depan Ica aku bilang ayah dan ibuku meninggalkan uang yang cukup untukku hingga kuliahku selesai. Kenyataannya bisa bertahan beberapa semester jika aku harus pulang pergi ke kampus yang jaraknya cukup jauh itu. Sepertinya aku harus kerja sambilan.’ “Selamat siang Bu, saya Meena Tarani mau daftar ulang untuk kuliah angkatan XXIII, jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual)” sesampainya di calon kampusku, aku langsung menuju ruang dosen. “Halo, silahkan isi formulir ini dan syaratnya sudah kamu bawa semua?” sapa ibu Administrasi yang menggunakan kacamata itu ramah. “Baik bu, saya isi sebentar” tak lama ponselku bergetar. Menampilkan nama Frederica di layar ponselku yang mulai menyala itu. “Halo Ca, ada apa?” “Na, lo lagi dimana? Gue mau daftar ulang nih, lo udah?” “Ini aku lagi di kampus Ca, lagi isi form daftar ulang. Aku tunggu disini ya, ASAP (as soon as possible).” “Posisi lo dimana Na? Clark si udah disana dari pagi. Gue heran dia sekolah di luar kenapa temennya disini banyak banget!” suara Ica terdengar kesal “Di ruang dosen nih bagian TU nya. Kalo udah sampe kabarin ya. Aku nunggu kamu sampe aja Ca. Canggung kalo sama org lain. Bye” “Okey Na, see you there” Berkat kejadian sebelumnya, aku lebih sering lagi merasa bersyukur atas segala yang aku punya saat ini. Atas mereka yang masih ada menemaniku hingga saat ini. ***** Universitas U adalah universitas ternama dalam bidang desain. Bahkan untuk jurusan desain sampai memiliki gedung sendiri. Fasilitasnya juga lengkap. Mulai dari studio foto, ruang khusus melukis, ruang komputer dengan spesifikasi fantastis dan juga fasilitas pendukung lainnya. Seperti lapangan bola, lapangan berlari, kolam renang dan lainnya. Aku tidak pernah menyangka bisa berkuliah di kampus ternama dan mewah seperti ini. Sayangnya kelulusanku nanti tidak dapat disaksikan kedua orang tuaku. Hanya aku seorang diri. “Papa, mama, Meena kangen.. Tapi Meena janji untuk jadi anak yang kuat. Meena gak akan mengecewakan Mama Papa” ucapku dalam hati. Kondisi mentalku masih belum stabil. Jika aku sedang sendiri, pikiranku akan mulai berkelana. Mengingat semua kejadian indah. Saat itu terjadi, butiran bening akan mulai menuruni wajahku. “Meena?!” suara berat yang mulai kukenali itu memecah lamunanku. “......” “Na, lo gak pura-pura gak kenal sama gue kan? Anak-anak mulai ngeliatin gue nih karena lo diem doang” “Ya, saya hanya lagi berfikir aja. Sebelum suaramu membuyarkan semuanya,” “Oh, sorry. Gue beliin minum ya, Ica 15 menit lagi sampe.” “Thanks Cal” aku pun memanggilnya dengan sebutan yang sering Ica gunakan untuk menyebut nama sepupunya itu. Walaupun mereka berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya, entah mengapa mereka justru lengket denganku. Rakyat jelata yang kini sebatang kara. Aku merasa tak punya apapun yang dapat kubanggakan atau kutukar untuk pertemanan yang berharga ini. “Ini Na minum buat lo” “Thanks Cal, by the way Ica tau kita disini?” “Iya gue udah kabarin barusan. Dia baru sampe parkiran katanya. Terus lo udah dapet apartemen di sekitar sini? Gimana jadinya tetep di rumah atau bagaimana? “Saya juga masih bingung. Mungkin beberapa hari ini saya akan cek lebih lanjut. Kalau terburu-buru nanti malah salah langkah,” “Apa lo selalu begini dari dulu?” ekspresi wajah Clark mulai berubah menjadi serius. Tapi aku tidak tahu apa maksud dari pertanyaannya. “MEENA?! Temenin gue balikin form daftar ulang dulu yuk. Biar Cal aja yang jaga mejanya,” “Oke,” aku langsung berdiri dan hanya membawa ponselku. Menitipkan semua barang bawaanku kepada Clark. ***** “Lo udah tau mau tinggal dimana Na? Gak mau sama gue aja? Mami punya apartemen deket sini. Kebetulan ada dua kamar,” “Aku belum tau Ca, masih sayang ninggalin rumah itu,” ucapku lirih. Mungkin ekspresi wajahku terlihat sedih. Ica dan Clark bahkan terdiam untuk beberapa saat. “Gue tau Na. Tapi kalau gini terus lo juga gak bisa move on. Lagian rumahnya bisa lo sewain juga kan. Lumayan buat hari-hari lo.” Ucap Ica dengan hati-hati, takut menyinggung perasaanku “Umm... Tapi ada 1 syaratnya ya Ca?” “Just let me know darl,” “Aku bayar sewa ke kamu ya,” “Hah?!” pertama kalinya Ica dan Clark berbicara bersamaan. Keduanya terlihat sangat terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. “Gue gak habis pikir Na, lo tau kan Ica maksudnya tulus. Dia juga gak kekurangan uang sampe harus narik sewa dari lo?” “Sorry Ca, Cal. No offense. Kalau aku mau bayar sewa biar aku ngerasa nyaman tinggal di apartemen bareng kamu Ca. That’s all. Lagipula kan kamu yang bilang Ca, rumahnya sewain aja. Aku akan bayar sewa apartemen kamu dari sewa rumah itu.” “Hhhhhh.. Oke Na gue juga speechless. Uang sewanya sepertiga dari harga sewa rumah lo. The best price I can accept from you,” “Deal”  ucapku sambil tersenyum simpul. Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya aku tersenyum. Senyum yang tulus maksudku. Semenjak kejadian itu, aku merasa belum ada hal baik yang dapat membuatku tersenyum seperti dahulu. ***** Sesampainya aku di rumah, aku pun mulai mengemasi barang-barang. Barang peninggalan ayah dan ibu semua sudah kusumbangkan. Hanya bersisa foto-foto kami. Bukannya aku kejam tetapi menyimpan barang mereka hanya akan membuatku semakin sedih. Aku tak mau ayah dan ibu merasa tidak tenang. Aku memulai dari memilah-milah barang yang akan kubawa ke apartemen Ica. Aku tidak sengaja menemukan buku diari milikku dan milik Meena yang asli. Aku mulai menulis buku diary sedari aku hidup sebagai Meena. Berjaga-jaga jika suatu hari Meena yang asli kembali dia akan punya ingatan tentang semuanya. Kebiasaan menulis buku diari itu berhenti semenjak kelulusanku di kelas 6 SD. Aku tidak ingat tetapi semangatku terputus seiring dengan ingatanku yang hilang beberapa saat. Aku sempat mencoba mengingat kejadian apa saja yang kulupakan tapi tidak juga bisa. Yang ada hanya kepalaku menjadi sakit. Membuat badanku terasa lebih lemas. Buku-buku itu pun aku masukkan ke bagian dus yang tidak akan kubawa ke apartemen. Seusai membereskan barang, yang tidak terpakai kupindahkan ke gudang di loteng. Tempatnya tidak besar, api cukup untuk menampung beberapa dus saja. Bagian ini tidak akan kubukakan untuk penyewa rumah ini nantinya. Seminggu kemudian, aku mulai pindah ke apartemen Ica yang berada di lingkungan kampus. Lumayan untuk menghemat biaya transportasi. Aku juga tidak perlu takut jika terpaksa pulang malam. Karena kini taka da lagi sosok ayah yang bisa menjemputku. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN