POV HARSA
Hari yang baru telah tiba. Belum pernah rasanya Harsa semangat menyambut hari dengan ceria. Sayangnya hal ini pun luput dari perhatian kedua orangtuanya. Ayahnya seorang Pengusaha ternama dengan banyak perusahaan baik di dalam negeri maupun cabang di luar negeri.
Jika kalian bertanya bagaimana dengan ibunya? Sama saja. Seharusnya memiliki orang tua yang kaya dan berkecukupan menjadi impian semua anak. Yang tidak diketahui adalah sisi kelamnya. Mereka yang tidak bisa membagi waktu akan selalu bekerja. Tanpa pandang bulu. Mereka merasa semua bisa diselesaikan dengan uang yang tidaj ber-seri itu.
‘Tok tok tok...’ terdengar suara ketukan pelan dari belakang pintu
“Ya, masuk,” sahut Harsa dengan suara cukup bersemangat
“Tuan, pakaian dan sarapan Anda sudah kami siapkan. Silahkan membersihkan diri lalu sarapan di ruang makan.”
“Terima kasih Pak Agus tapi hari ini saya akan bermain lagi dengan Meena. Siapkan saja roti. Saya ingin cepat pergi. Biasanya dia juga membawakan saya makanan. Saya makan itu saja.”
Walaupun usianya hanya terpaut dua tahun diatas Meena, pembawaan dan bahasa Harsa memang terkesan kaku. Semua berkat kedua orang tuanya yang terobsesi mengajarkan anak tunggalnya itu untuk menjadi penerus mereka sedini mungkin.
“Baik Tuan, saya akan meminta chef mengganti menu sarapannya,”
“Papa dan Mama ada dimana Pak Agus? Katanya akan menyusul kesini dalam 2 hari?”
“..... Maaf Tu-“
“Sudah Pak Agus, bukan Pak Agus yang harusnya minta maaf ke saya. Itu tugas mereka yang tidak bisa dilimpahkan ke Pak Agus terus menerus.” Potong Harsa dengan nada yang ketus.
Tidak semua bahagia apabila terlahir dengan sendok emas dalam mulut mereka. Harsa adalah salah satunya. Kekayaan dan harta berlimpah sudah dimiliki semenjak dia lahir. Harsa terpaksa tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya. Sosok yang selalu menemaninya adalah Pak Agus, kepala pelayang yang bekerja semenjak ayah dan ibunya baru menikah itu yang menjadi sosok ayah dan ibu bagi Harsa. IRONIS.
Bahkan tak jarang, teman-teman Harsa yang mengetahui akan kekayaannya hanya memanfaatkan Harsa untuk keperluan pribadi mereka. Traktir makan di restoran mewah, menonton bioskop kelas terbaik gratis, kado ulang tahun yang bermerek, dan sebagainya.
“Hhhhh.... Sudah biasa kan seperti ini. Selalu janji saja, bila tak bisa datang maka akan dibeikan hadiah yang sangat mahal. Aku sudah bosan dengan hadiah mahal.” Lirih harsa sembari membasahi badannya.
“Tapi aku yakin Meena berbeda dengan mereka. Meena tidak akan mengingkari janjinya.”
Setelah mandi dan makan sarapan sederhana yang diminta, Harsa bergegas ke hutan lalu menyusuri tepian sungai. Ternyata saking bersemangat, dia datang lebih cepat 30 menit dari biasanya.
‘Ah, Meena pasti sedang bersiap. Aku kecepetan. Apa aku jemput di villanya saja ya. Pasti bosan menunggu 30 menit sendirian disini’ ucapnya dalam batin sambil tersenyum.
Harsa pun berjalan menyusuri jalan ke arah Villa yang disewa oleh Meena dan keluarganya. Membutuhkan waktu sekitar 10-20 menit untuk mencapai villa itu. Sembari berjalan Harsa pun berpikir aktivitas apa yang akan mereka kerjakan hari ini. Mumpung masih 2 hari tersisa sebelum kedua anak itu berpisah.
Apa yang ada di hadapan Harsa membuatnya terkejut. Membuyarkan semua lamunan akan berbagai aktivitas yang akan dikerjakan bersama Meena hari ini. Betapa tidak, villa itu tampak kosong.
“Tidak mungkin, kemarin aku baru pergi bersama Meena dan keluarganya ke Kebun Binatang dan Taman Hiburan. Kenapa tiba-tiba kosong?” Harsa yang kebingungan mencoba mencari ke seluruh sisi villa.
“Permisi.... Permisi... Permisi...” Harsa masih berharap sambil mengetuk pintu villa yang tanpa pagar tersebut.
Tidak ada mobil keluarga Meena, tidak juga terlihat ada sandal atau sepatu kecil milik Meena terpampang di depan pintu itu. Terlihat villa benar-benar kosong. Seketika Harsa merasa lemas.
Masih tidak percaya jika gadis kecil yang merebut hatinya itu pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam peripisahan. Mengingkari janji yang sudah dibuat. Harsa merasa dikhianati. Padahal baru saja dia mempercayai gadis ceria itu. Gadis yang menolongnya dari sungai.
Rupanya Meena tak hanya menyelamatkan Harsa dari tenggelam di dasar sungai. Meena juga membuat hati Harsa hangat dan mulai mempercayai kasih sayang keluarga. Sayanganya hal itu hanya berlangsung selama 3 hari.
Masih merasa tidak percaya, Harsa menunggu di taman belakang villa itu. Ada sebuah pohon besar yang rindang disana. Harsa menunggu Meena di bawah pohon itu.
‘Mungkin Meena lagi pergi berbelanja dengan kedua orang tuanya untuk acara bakar-bakar lagi nanti malam. Bagaimana jika nanti mereka kembali dan aku sudah pulang ke villa. Meena pasti sedih’ Pikir Harsa yang masih mencoba untuk mempercayai ucapan gadis berusia 12 tahun itu.
“.....Sa... Sa... Harsa...”
Harsa merasa ada tepukan halus di bahunya. Ternyata ia sempat tertidur sembari menunggu Meena. Angin semilir yang sejuk membuatnya terbuai dan tertidur sejenak.
“Aku tahu kamu tidak akan...” ucap Harsa dengan semangat. Saat matanya terbuka dengan sempurna, justru dia malah terkejut.
“Loh?! Kenapa Pak Agus kesini? Meena yang minta tolong Pak Agus bangunin saya? Mana Meena?”
“Maaf Tuan. Saya tahu Tuan menanti Nona Meena, tapi kata orang yang bersih-bersih villa itu..”
“Apa Pak Agus? Jangan berhenti begitu bicaranya dong. Kenapa?”
“Keluarga Nona Meena sudah pergi semalam. Perginya tergesa-gesa. Pak Farraz menelpon penjaga villa tengah malam. Katanya mendesak harus segera pulang. Sepertinya ada keluarga yang sakit.”
Mendengar hal itu Harsa terdiam sejenak. “Terus Meena tidak titip pesan apa-apa? Kan ayahnya sempat bicara sama penjaga villa?”
“Penjaga nya tidak berbicara apa-apa selain itu Tuan. Maaf saya tidak ada informasi lain lagi. Sebaiknya Tuan kembali ke villa Paramananda saja. Hari sudah hampir sore ddan Tuan belum makan apa-apa lagi.”
Harsa hanya mengangguk pelan. Terlihat dari wajahnya yang saat ini campur aduk. Kekecewaan kepada Meena yang pergi tanpa mengucapkan perpisahan. Kebodohannya yang tidak pernah menanyakan bagaimana jika nanti dirinya mau menghubungi Meena. Ditambah kedua orang tuanya yang lagi dan lagi tidak menepati janjinya.
*****
Tanpa dirasa waktu berlalu dengan cepat. 6 tahun telah berlalu semenjadk liburan villa itu. Yang ternyata menorehkan luka yang cukup dalam dihati Harsa, sang pebisnis muda yang jenius. Dirinya menjadi terkenal semenjak dia lulus kuliah di usia 19 tahun. Menjadi lulusan terbaik di program akselerasi saat SMA. Tidak hanya itu, dia pun lulus dengan IPK sempurna, dalam waktu 3 tahun di Universitas nomor 1 di Negara AS.
Kepulangan dirinya ke Negara I ini membuat para wartawan heboh. Pasalnya dia adalah satu-satunya penerus Kerajaan bisnis Paramananda. Telah beredar rumor kepulangannya untuk disahkan sebagai penerus tunggal. Ada juga rumor yang mengatakan Tuan Paramananda sedang sakit makanya menyuruh Harsa untuk pulang.
Sedangkan alasan sebenarnya adalah keduanya. Harsa dipaksa pulang oleh ibunya. Ayahnya yang workaholic itu sedang sakit. Selama ini dia menutupinya karena banyak pesaing bisnis yang menunggu Penguasa bisnis itu jatuh terpuruk.
“How’s Dad, Mom?”
“Entahlah Sa, sebelumnya tidak pernah sampai seburuk ini. Mama takut sa.... Mama-“ ibunya menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya
“It’s okay Mom, we can get through this. He is a tough old man.” Sambil memeluk ibunya Harsa mencoba menenangkan dirinya.
Walaupun masa kecilnya jarang menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya. Harsa tetap sangat menyayangi Ibunya. Air mata ibunya yang mengalir deras membuat hatinya terasa sakit. Bagaimana mungkin Ia sang anak tidak tahu bahwa ayahnya sudah menderita penyakit jantung bertahun-tahun.
“.........” Akhirnya Ibunya pun bercerita tentang apa yang mereka tutupi selama beberapa tahun ini.
“Papa kamu tidak mau menunjukkan sisi lemahnya di hadapan kamu Sa. Dia mau kamu menjadi anak yang tangguh. Papamu tahu, dalam dunia bisnis semua kejam. Seperti serigala yang siap menerkam saat kamu membalikan badan atau mengalihkan fokusmu.”
“Terus kenapa baru sekarang ma?” balas Harsa dengan suara lemah
“Papa masih ingin menutupinya. Tapi akhirnya tupai lincah itu jatuh juga Sa. Papa collapse saat RUPS. Berita tersebut sedikit bocor. Ada mata-mata di perusahaan pusat Negara ini.”
“Kalau tidak ada kejadian itu, papa dan mama masih menutupinya dari saya? Apakah saya masih dianggap sebagai anggota keluarga ini? Saya bukan anak kecil lagi ma!” Harsa menahan emosinya. Perasaannya seperti diputar balikkan.
Sadar bahwa mereka ada di rumah sakit, Harsa menahan amarahnya dan tidak melanjutkan kata-katanya. Dia hanya memeluk bahu ibunya yang masih menangis diam tanpa sepatah kata apapun.
*****
“BRENGS*K?! SI*LLLLLLL??!!!” ‘Brak’ Harsa melampiaskan kekesalannya pada samsak yang berada di ruang fitness pribadinya di rumah.
“JADI YANG SELAMA INI GUE RASAIN DARI KECIL APA?! Keegoisan gue sebagai anak kecil? Gue yang ngambek orang tua gue gagal dateng karena mendahulukan check-up papa?! SH*TT!!”
‘Hhhh... Hhhh...’ Nafas Harsa terengah-engah. Dia merasa tiba-tiba ditimpuk sebuah batu besar bernama kenyataan.
“BANGS*TT!!”
‘Brukkk..’ Setelah pukulannya ke samsak yang terakhir dia memilih untuk menjatuhkan badannya ke lantai. Meletakkan tangannya di atas kepalanya. Merasa lelah dengan kehidupan. Lelah juga karena telah melampiaskan amarahnya, memukul samsak beberapa jam.
‘Tok.. Tok.. Tok.. ‘ Terlihat pak Agus di belakang pintu kaca dengan troli makanan dan juga air putih yang segar. Melihat Harsa yang tidak menjawab, Pak Agus tetao masuk ke ruangan.
“Sudah merasa lebih baik Tuan?”
“Apa kabar Pak Agus? Ubannya sudah bertambah banyakk..” ucap Harsa sambil mengatur nafasnya.
“Tidak pernah merasa lebih baik dari ini Tuan. Saya senang akhirnya Tuan kembali lagi.”
“Apa pak Agus sudah tau semuanya dari awal? Makanya pak Agus selalu meminta maaf ke saya?”
Pelayan yang kini kepalanya sudah dipenuhi uban itu hanya tersenyum halus.
“Maafkan saya Tuan. Saya hanya menjalankan perintah Tuan Besar.” Kali ini Pak Agus mengucapkan sambil membungkuk dalam.
“Sudahlah Pak Agus, saya paham. Pak Agus boleh keluar. Terima kasih.” Tanpa disadari oleh dirinya sendiri. Ada setitik cairan bening yang menetes dari pelupuk mata pria tersebut.
Bersambung