Costa tengsin berat tatkala beberapa pasang mata mengarah bulat-bulat kepadanya. Wajahnya merah padam menahan malu. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Kemudian, dokter dan perawat serempak membuang muka untuk menyembunyikan tawa mereka. Rasanya ia ingin menghilangkan diri saja.
Ia menyesal tidak menyerahkan segala urusan pada teman merangkap pengacaranya yang tengah tertawa terpingkal-pingkal di luar sana. Harga dirinya seketika anjlok gara-gara seorang gadis yang kebanyakan menonton televisi atau membaca gosip recehan di media massa.
Bila dipikir-pikir, apa korelasinya antara kegagalan pernikahannya dengan kecelakaan yang menimpa gadis itu? Bukan hanya teman-temannya yang menjadikannya bahan olok-olok, kerap mengejeknya yang ketiban s**l gagal menikah dua kali, orang yang baru ditemuinya pun mengatakan hal yang sama. Ia berharap semoga tidak ada yang kurang ajar merekam aksi si gadis dan menyebarkannya di media sosial.
Sementara gadis yang lebay-nya tak ketulungan itu berteriak dan meraung macam orang kesurupan. Para perawat kepayahan menenangkannya. Air matanya bercucuran seperti banjir bandang. Alih-alih iba dan kasihan, Costa malah ingin menyumpahinya. Kepalanya mendadak pusing.
Setelah agak tenang, gadis itu meracau, “Saya masih mau kuliah, Dokter. Saya juga masih mau bekerja. Karier saya jernih di depan mata. Saya juga belum menikah, Dok. Kenapa kaki saya harus dipotong? Dokter mau saya nggak laku, jadi perawan tua lalu depresi dan mati bunuh diri? Nanti kalau ada yang membongkar makam saya tengah malam demi ilmu hitam, bagaimana? Nambah lagi dosa saya, Dok. Amit-amit, saya nggak mau jadi arwah gentayangan!” Thalia sesenggukan. Kenyataan bahwa kaki kirinya dipotong dari lutut ke bawah dan menyandang status difabel membuatnya nyaris gila.
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rasa suka citanya yang mendapatkan izin kuliah plus keringanan biaya, terenggut dalam sekejap mata. Seluruh impian akan masa depannya runtuh tak bersisa.
Para perawat dan dokter saling berpandangan. Mereka tidak tahu entah harus tertawa atau kasihan. Di penghujung jam kerja malam itu, mereka malah dihadapkan pada pasien yang sepertinya terlalu banyak menonton sinetron di saluran televisi swasta.
“Tenang, Bu, Anda tidak apa-apa,” kata salah seorang perawat menenangkan.
“Bagaimana saya bisa tenang, kalau kaki saya tinggal separuh, hah?!” balas Thalia membentak.
Costa memijit kepalanya.
“Barangkali Anda salah lihat, Bu. Kaki Anda hanya keseleo.”
“Tetap saja, sa–eh, keseleo?” Thalia melongo. Tangisnya seketika berhenti. Ekspresinya berubah cengo. “Beneran, Dok?” Ia menoleh pada dokter di sampingnya dan kembali meratap saat dokter tersebut menganggukkan kepala. “Kok, nggak bilang dari tadi sih, Dok?!”
Dokter tersebut menghela napas panjang. Ia membantu Thalia bangkit pelan-pelan agar Thalia bisa melihat bahwa kakinya baik-baik saja, bukan tinggal separuh seperti asumsinya.
Lagi pula, tidak mungkin dokter melakukan amputasi tanpa berdiskusi dengan pasien atau keluarganya. Di dalam tas Thalia tidak ditemukan identitas apa pun. Mungkin dompetnya digondol maling jalanan dengan modus ingin membantu. Ponselnya rusak, tidak bisa dihidupkan sama sekali.
Thalia menunduk malu. Kakinya masih utuh. Rupanya, ia salah lihat. Celana panjangnya dipotong sampai lutut. Balutan perban di lututnya hanya untuk menutupi luka lecet dan menyisakan bercak darah di atasnya. Sedangkan pergelangan kakinya juga dibalut dengan perban sampai ke telapak kaki.
Ia menyumpahi matanya yang tidak bisa melihat dengan baik. Ingatkan dirinya untuk memeriksakan diri pada ahlinya nanti.
Dokter tersebut kembali bertanya, “Apakah Anda punya riwayat cedera engkel sebelumnya?”
Thalia mengangguk. Sewaktu di SMA, ia pernah mengalami keseleo di engkel karena sok-sokan ingin terkenal dengan memasuki club basket putri, padahal fisiknya tidak mendukung untuk itu. Di saat latihan, engkelnya tertekuk dan sukses membuatnya tidak bisa berjalan normal selama seminggu.
Dokter itu memakluminya. Bagi seseorang yang punya riwayat keseleo sebelumnya, biasanya lebih rentan mengalami cedera di titik yang sama.
Ia menjelaskan bahwa dari hasil pemeriksaan, kaki Thalia mengalami keseleo level sedang. Mungkin saat terlempar dari motornya, Thalia terjatuh atau mendarat dengan posisi kaki tidak sesuai. Ada robekan pada ligamen dan membutuhkan waktu pemulihan lebih lama dibandingkan keseleo ringan, sekitar enam sampai delapan minggu ke depan.
“Saya boleh pulang, Dok?” tanya Thalia berharap.
“Tentu saja. Kondisi Anda tidak mengharuskan Anda menginap di rumah sakit.” Pria itu juga menjelaskan secara singkat tentang carapenanganan pada kakinya setelah sampai di rumah nanti. Di antaranya adalah menaikkan posisi kaki lebih tinggi dari jantung untuk membantu meredakan bengkak.
“Terima kasih, Dok.”
Setelah Thalia tenang, dokter dan perawat undur diri. Tinggallah Costa dan Thalia berduaan di kamar tersebut.
“Ehem!” Costa berdehem kasar. Mau tidak mau, ia harus bicara dengan korbannya yang usianya jauh di bawahnya itu. Ia menggunakan bahasa santai agar tidak terlalu kaku. “Saya minta maaf.”
Thalia mendelik kesal. “Memangnya permintaan maaf Anda bisa mengembalikan kaki saya?”
“Kakimu baik-baik saja, Nona.”
“Sejak kapan kaki keseleo bisa dibilang baik-baik saja?”
“Setidaknya kakimu tidak diamputasi.”
“Tetap saja saya nggak bisa jalan!”
“Apa ada keluargamu yang bisa dihubungi?” Costa mengalihkan pembicaraan. Telinganya berdenging mendengar ocehan gadis itu.
“Saya belum mati!”
“Apa menghubungi keluarga harus menunggu mati dulu? Setidaknya mereka tahu, kalau kamu kecelakaan.”
“Anda budeg, ya? Nggak usah pakai keluarga segala, kecuali saya sudah jadi mayat!”
Costa mengambil kesimpulan sepihak, gadis itu sedikit tidak waras dan bermasalah dengan keluarganya. Sabar, Costa!
“Dokter sudah membolehkanmu pulang. Mau saya antar?”
“Memangnya, menurut Anda saya bisa pulang sendiri?” gerutu Thalia dengan mata setengah menyipit. Tentu saja pria itu harus mengantarnya, atau ia terpaksa menghubungi Attar yang mana itu tidak mungkin. Attar pastinya tengah bersiap-siap untuk keberangkatannya besok pagi. Ia tidak mau merepotkan.
Costa mengangkat kedua tangannya, lalu keluar sebentar untuk menyuruh pengacaranya membereskan masalah administrasi. Kemudian, ia masuk lagi sambil menunggu kedatangan perawat.
Dari sudut matanya, Thalia mengamati penampilan Costa. Kedua tangan pria itu masuk ke saku celana. Wajahnya terlihat lebih tampan dibandingkan saat muncul di televisi. Tubuhnya tinggi menjulang, paling tidak tingginya seratus delapan puluh lima sentimeter atau lebih. Kulitnya bersih, meski terlihat lebih gelap dibandingkan saat skandal menimpanya. Dagunya sedikit gelap karena bekas cukuran. Matanya sipit. Hidungnya mancung. Rambutnya berwarna coklat gelap berombak. Lengan kemejanya berwarna navy dan digulung hingga siku, menampakkan jam tangan mewah di pergelangan tangannya.
Tak lama kemudian, datanglah seorang perawat membawa kursi roda untuk Thalia. Perawat itu membantunya menaiki kursi roda dan mendorongnya sampai di parkiran. Bukan hanya itu, Thalia juga dibantu menaiki sebuah mobil mewah yang ketika bokongnya mendarat di kursinya, ia merasa sangat nyaman, empuk dan elegan.
Hmm, enak juga jadi orang kaya, batinnya.
Bau parfum mahal menguar saat pria itu menaiki kursi kemudi. Thalia memperkirakan harganya jutaan rupiah per botolnya. Berbeda dengan dirinya yang cukup puas dengan semprotan pewangi pakaian setiap pagi. Mendadak ia jadi tidak percaya diri.
Rasa bersalah membuat Costa tidak mau lari dari tanggung jawab. Padahal ia bisa saja meminta pengacaranya atau menelepon supirnya untuk mengantarkan gadis tukang drama tersebut pulang ke rumahnya. Namun, itu terlihat tidak sopan.
Keheningan mencekam setelah Thalia menyebutkan alamat indekosnya. Costa menatap lurus ke depan. Ia mengabaikan ponselnya yang bergetar dalam saku celana. Mood-nya untuk bertemu calon istri pemberian ibunya sudah lama buyar.
Thalia memeriksa isi tasnya dan tidak menemukan dompetnya. Di dalam tasnya, hanya terdapat sisa-sisa kosmetik dan kunci rumahkos. Bedaknya pecah, padahal ia baru membelinya, diskon dua puluh persen bulan lalu.
Matanya terbelalak melihat ponselnya sudah retak di sana-sini dan tidak bisa dihidupkan lagi. Ia menggumam bibir. Rasanya ingin menangis saja.
Costa yang melihat hal tersebut dari sudut matanya, kembali berdehem. “Ehem! Saya—”
“Minum obat kalau batuk, jangan ehem-ehem melulu! Situ, kan, orang kaya, masa nggak bisa beli obat sih?” Thalia yang kadung kesal kembali merepet. Bayangan akan hari esok mengganggunya. Bagaimana ia bisa ke kantor dengan kondisi seperti itu. Padahal ia sedang meng-handle sebuah proyek besar. Bisa-bisa ia gagal mendapatkan bonus bulanan bulan depan.
“Saya akan mengganti motormu.”
“Banyak yang harus Bapak ganti. Motor, ponsel, KTP, ATM, termasuk ini,“ Thalia mengangkat sebuah bedak compact yang isinya pecah berderaian. Panggilan Anda telah berubah menjadi Bapak.
“Baiklah, saya akan mengganti semuanya.”
“Nggak terima uang cash. Saya nggak kuat beli sendiri. Jalan aja nggak bisa!”
“Siapa namamu?”
“Nggak usah modus, sok nanyain nama segala! Jangan-jangan bentar lagi situ nanyain nomor ponsel saya?”
Costa melongo. Buset! Pede amat ini cewek, pikirnya.
Ia terpaksa diam saja. Jika terus dilayani, gadis itu akan terus merepet dan sulit dihentikan. Tampaknya gadis tersebut juga tidak bisa dirayu seperti gadis lain. Tatapan matanya tak pernah bersahabat.
“Saya akan mengganti semuanya, termasuk mengobati kakimu sampai sembuh. Saya punya kenalan fisioterapis paling bagus—”
“Dasar orang kaya!” Thalia menggumam ketus, tetapi tetap dapat ditangkap oleh telinga Costa.
Costa merapatkan gerahamnya. “Asalkan jangan ada yang tahu. Kamu tidak boleh lapor polisi.”
Thalia mendengus malas. “Ya-ya-ya!”
Sebenarnya, gampang saja bagi Costa. Walaupun gadis itu melapor kepada polisi, posisi dan harta yang ia miliki mampu menyelamatkannya. Namun, itu tidak baik untuk reputasinya, nama baik ayahnya, serta perusahaannya.
Mereka sampai di sebuah kompleks indekos berlantai tiga. Beberapa kamar terlihat terang benderang tanda penghuninya masih terjaga.
Costa memarkir mobilnya di halaman yang cukup luas tersebut, lalu bergegas mengambil sebuah kruk dari kursi penumpang. Ia membantu gadis itu turun dan memapahnya.
Dalam kondisi normal, Thalia sudah berdebar-debar ketika dipapah dalam jarak yang begitu dekat oleh seorang lelaki tampan dan kaya raya seperti Costa. Namun saat itu, rasa kesalnya lebih mendominasi.
Saat tangan pria itu menyentuh lengannya yang terbuka, Thalia merasa ada yang janggal. Telapak tangan pria itu kasar sekali, sangat kontradiktif dengan uang tak berseri yang dimilikinya.
Untung saja kamarnya berada di lantai satu. Thalia mengambil kunci dari dalam tas dan memasukkannya ke lobangnya.
Ia tertatih-tatih mencari saklar yang berada di dinding belakang pintu. Kos-kosan tersebut bukan hanya terdiri dari kamar saja, melainkan sudah mirip dengan rumah kontrakan. Setiap orang memiliki ruang tamu sederhana, kamar, kamar mandi dan dapur sendiri. Harga yang harus dibayar perbulannya pun sepadan. Kalau bukan karena Attar yang ngotot membayarkan, Thalia tidak sudi menghabiskan gajinya demi tempat kos semahal itu.
Begitu lampu tersebut menyala, Costa seketika ternganga. Astaga! Ini rumah atau kandang kambing?