Bagian 1

2171 Kata
Tatapan Rara mengelilingi ruangan apartnya, rasa lelahnya terbayarkan. Seluruh ruangan apartnya sudah terlihat bersih, tidak seperti tadi. Wajar saja, dirinya kini memiliki anak yang berumur 2 tahun. Dia ingat sekali, mamahnya pernah bilang, harus banyak-banyak sabar menghadapi balita seumuran anaknya. "Huft, capek juga ya bebenah begini. Tau gitu, gue ikutin sarannya mas Aryo aja buat sewa pembantu." gumam Rara dengan penyesalannya. Pasalnya Aryo sering sekali menawari dirinha untuk menyewa pembantu, seperti biasa Aryo tidak pernah membebankan biaya perihal tersebut. Tapi dasarnya Rara saja yang keras kepala, selalu menolak saran dari masnya yang berujung penyesalan. "Assalamu'alaikum." Kedua bola mata Rara langsung terbuka ketika mendengar suara yang sangat dia rindukan. Tanpa menunggu waktu lama, Rara segera bangkit dari duduknya guna menghampiri tamu yang baru saja datang. "Masssss..." teriak Rara berlari memeluk Aryo. Dengan senang hati, Aryo merentangkan kedua tangannya dan membawa Rara ke dalam pelukannya. "Gimana kabar? Sehatkan?" Rara melepaskan pelukannya dan menatap masnya itu, "Alhamdulillah sehat. Kabar keluarga di Jakarta gimana?" "Alhamdulillah semua sehat. Mamah sama bunda titip salam buat kamu. Katanya maaf belum bisa jengukin kamu, secepatnya mereka berdua bakalan ke sini kok." "Iya Mas gak papa. Kabat ayah gimana?" "Nah itu, kemarin ayah bilang beliau mau—" Belum sempat Aryo meneruskan perkataannya, salan seseorang dari pintu membuat Rara melepaskan pelukan Aryo. "Assalamu'alaikum putri cantik Ayah." Rara langsung berlari menuju ayahnya, "Ayah, Rara kangennn." guman Rara di pelukan Zein. Berkali-kali Zein menciumi pucuk kepala putrinya. Dia juga merasakan hal yang sama, rindu dengan putrinya. "Yuk, kita duduk dulu." ajak Zein. "Kamu abis beres-beres rumah Ra?" tanga Aryo ketika melihat alat bersih-bersih masih berserakan di ruang tamu. "Hehe, iya Mas. Ya biasa, mainan Nalen di mana-mana. Risih aku liat berantakan." "Ck, Mas kan udah berkali-kali bilang, sewa aja pembantu." Aryo duduk di sofa single. Rara dan Zein duduk di sofa tepat di hadapan Aryo. "Yah, anaknya tuh batu banget." lapor Aryo yang mendapatkan dengusan dari Rara. Zein mengelus surai hitam putrinya, "Saran yang mas mu kasih, itu juga demi kebaikan kamu Ra. Gak papa ya, sewa pembantu?" Jika kemarin-kemarin Rara selalu menolak, tapi sekarang dia langsung menganggukkan kepalanya. "Nah gitu dong. Coba dari kemarin, pasti kamu ngga akan capek." Aryo bangkit dari duduknya, "Keponakan Mas masih tidur?" "Masih Mas." Aryo langsung melangkahkan kakinya menuju kamar Rara. Percuma juga jika Rara melarang masnya itu, tidak akan mempan. "Gimana kabar putri Ayah?" tanya Zein dengan Rara yang masih berada nyaman di pelukan ayahnya. "Alhamdulillah baik Yah. Ayah sendiri gimana?" "Alhamdulillah baik juga. Dapet salam dari bunda Inggit, dia bilang minggu depan baru bisa ke sini." "Iya Yah gak papa." "Dani masih sering ke sini Ra?" Zein memang mengenal Dani. Pernah Zein datang ke apart anaknya itu, dia melihat keberadaan Dani. Awalnya Zein tidak tahu siapa Dani, Aryo lah yang menjelaskan siapa itu Dani. Zein sendiri suka dengan sikap Dani. Attitudenya ada, jadi dia tidak keberatan jika Dani lah yang akan menjadi ayah sambung untuk cucunya. Tapi balik lagi, Zein tidak mau memaksakan kehendak. Sepertinya putrinya itu tidak mau menikah dalam waktu dekat. "Kemarin baru aja dari sini Yah." "Kabar cucu Ayah gimana? Makin embul ngga?" Rara terkekeh, "Makin-makin Yah." "Keponakan Oncle baru bangun yaa." Aryo datang dari kamar Rara dengan Nalen yang ada di gendongannya. Sangat terlihat anak balita itu masih dalam keadaan setenga mengantuk. Tapi Aryo seakan tidak perduli, dan terus menciumi pipi Nalen. "Mas ih, itu Nalen masih ngantuk. Pasti deh Mas gangguin." sungut Rara tapi tetap membiarkan anaknya di gendongan Aryo. "Mas kangen banget Ra sama Nalen. Udah sebulan Mas ngga ke sini." Rara hanya menanggapi dengan memutar kedua bola matanya. Baru sebulan padahal, tapi serasa setahun masnya tidak bertemu dengan putranya. "Mangkannya sempetin ke sini Yo." ujar Zein. Jika dirinya baru seminggu yang lalu berkunjung, itu juga karena adanya pekerjaan di perusahaannya yang di Singapura. "Ayah sama Mas ke sini ada urusan atau mau main aja?" "Ada urusan sekalian mau jengukin kamu Ra." sahut Aryo yang masih asik memandangi wajah keponakannya. Lama Aryo memandangi wajah Nalen. Memang benar, wajah anak adiknya inj sangat mirip dengan pria b******n itu. Istilah kata, bagai pinang di belah dua. Adiknya hanya mewarisi hidung dan mulut saja. Seluruh wajah mirip dengan pria itu. Benar-benar anak yang mau di akui oleh ayahnya. Aryo sendiri tidak yakin, apakah pria itu mau mengakui keponakannya. Sudah lama, Aryo tidak mengetahui bagaimana kabar pria itu. Seperti hilang lenyap di telan bumi. Sudah ke mana-mana Aryo mencari, tapi dia tidak mendapatkan kabar apapun. Maksud Aryo mencari, bukan untuk mempertemukan pria itu dengan adiknya. Dia hanya memantau, apakah pria itu berada di sekitar adiknga atau tidak. "Oh iya, Ayah sama Mas udah makan belum?" "Belum Ra." bukan Zein yang menjawab, melainkan Aryo. "Ya udah, Rara masakin dulu ya. Kebetulan kulkas Rara penuh, kemarin bang Dani yang anterin Rara belanja." "Oh, Dani ke sini Ra?" tanya Aryo seraya menatap adiknya. "Iya Mas." "Kok dia ngga ngomong ya ama gue? Biasanya kalo mau ke sini, pasti lapor." Rara bangkit dari duduknya, sebelum dia berjalan ke dapur, Rara menatap Aryo seraya memicingkan kedua matanya, "Hey anda, suka-suka bang Dani lah ya." dan berlalu meninggalkan ruang tamu. Zein menggeleng-gelengkan kepalanya, "Yo Yo, udah lah. Adik kamu itu udah bisa jaga diri sendiri, jadi kamu cukup merhatiin aja dari jauh. Yang ada nanti kamu ngga boleh ke sini, baru tahu rasa kamu." kekeh Zein diakhir kalimat. "Ya Aryo takut Yah. Takut itu orang dateng ke sini." "Kamu udah periksa kan? Yaudah, cukup aja mantau dari jauh." Diam-diam Rara memasang kedua telinganya dari balik tembok. Otaknya berfikir keras, apa orang yang di omongin ayah dan masnya adalah orang yang sama dengan yang ada di fikirannya saat ini? Pria yang sulit sekali dia lupakan. Melihat wajah anaknya, seketika bayangan pria itu singgah di fikirannya. Tanpa terasa, Rara mengeluarkan air matanya. Dadanya tiba-tiba saja menjadi sesak. Sesak menahan rindu yang tidak bisa dia luapkan. Apakah suatu saat nanti dia bisa menumpahkan rindu ini kepada pria itu? Tidak mau terlihat menangis, Rara buru-buru mengelap sisa air matanya. Dia tidak mau ayah atau masnya melihat dirinya menangis. Cukuo dirinya saja yang tahu akan rindu yang membuat dadanya sesak. Rara segera melakukan aksinya di dapur. Berharap dengan dia melakukan hobinya, bisa melupakan rindu yang bersarang di dadanya. Seperti itu lah Rara jika ingin mencari kesibukan. Menyibukkan diri dengan memasak atau berkunjung ke kafenya. "Masak apa Ra?" tanya Aryo yang sudah duduk di kursi pantry. "Nalen ama ayah Mas?" "Iya." "Masak apa?" tanya Aryo yang belum mendapatkan jawaban dari adiknya itu. "Masak ayam saus tiram sama cumi basah." "Wah, emang adik teladan ya. Tahu aja kesukaan Masnya cumi." "Gimana ngga tahu coba, orang setiap ke sini pasti minta di bikinin cumi." Aryo tertawa, "Haha, iya ya." "Mas," "Hm?" "Masih berusaha deketin Chika?" tanya Rara yang memang mengetahui perihal kedekatan sahabatnya dengan Aryo. Aryo menuangkan air terlebih dahulu ke dalam gelasnya, "Kamu tahu kan kalo Mas sengaja deketin Chika?" Rara menganggukkan kepalanya. "Nah yaudah, sampe sekarang Dika kalo ketemu Mas, pasti natap Mas tuh kek orang mau ngebunuh." Rara tertawa. Dia membayangkan wajah sahabatnya seperti apa yang masnya bilang. "Dika kebanyakan gengsi Mas." "Emang. Chika juga sebenernya suka sama Dika, Mas tahu tanpa harus si Chika bilang." "Tapi yang aku takutin tuh ya Mas, Chika baper sama Mas." "Ngga, tenang aja kamu. Tunggu saatnya, Mas bakalan kenalin kamu sama seseorang." Rara yang tadinya sedang menumis bumbu, seketika dia membalikkan badannya. Menatap Aryo dengan tatapan menyelidiknya. "Mas?" "Tanya aja bunda Inggit. Orangnya udah pernah Mas bawa ke rumah." Mood Rara seketika turun. Dia merasa seperti tidak dianggap adik oleh Aryo. Padahal, Rara selalu menceritakan apapun kepada masnya itu. Tapi ternyata, masnya tidak mempercayai dirinya. Dengan wajah yang bertekuk, Rara melanjutkan masaknya. Dia ingat, masih ada ayahnya. Jika hanya ada Aryo, dia tidak mau meneruskan acara masaknya. "Hey? Marah sama Mas?" tanya Aryo yang sudah berdiri disamping adiknya. Tanpa menjawab, Rara terus mengaduk bumbu tanpa menghiraukan pria yang berdiri disampingnya. Jangan lupakan wajah masamnya yang tidak berkurang sedikitpun. "Ra?" Aryo menghela nafasnya sejenak. Ketika Rara mau menuangkan sayuran yang sudah dia potong ke dalam masakan, piring itu sudah berpindah tangan. "Biar Mas aja." Rara membiarkan masnya itu mau berbuat apa saja. Toh, dirinya juga tidak pernah dianggap. Aryo pasrah, nyatanya apa yang dia perbuat adiknya masih mendiamkan dirinya. "Mas ajak keluar Nalen sebentar ya Ra." Lagi-lagi tidak ada jawaban yang Rara berikan. Aryo menghela nafas sejenak. Dia akui, dirinya memang bersalah. Tapi mau bagaimana lagi, ada sesuatu yang Rara tidak boleh tahu sampai ujung masalah ini selesai. **** "Yah, makan yuk. Rara udah selesai masak." ajak Rara. Zein yang sedang menonton televisi, menolehkan kepalanya, "Masak apa sayang?" "Masak ayam saus tiram sama cumi basah Yah." "Cuminya di apain?" Zein bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja makan. "Di tumis bumbu hitam Yah." Zein melihat sudah ada masakan yang anaknya masak berjejer di atas meja makan. Dari baunya saja, Zein sudah tebak pasti lezat. Tidak di ragukan lagi jika putrinya itu pandai memasak. "Nalen jadi keluar sama Mas Yah?" "Jadi. Ngambek kenapa kamu, hm?" Rara mendengus sejenak, dia yakin masnya itu pasti mengadu. "Lagian masa aku ngga tahu apa-apa tentang pacar barunya mas Aryo. Aku kan adiknya Yah, sedangkan segala tentang aku, mas Aryo tahu." kesal Rara. Zein tersenyum, dia tahu apa yang sedang Aryo rahasiakan dengan Rara. "Udah, mending kita makan. Ayah kangen sama masakan putri Ayah yang cantik ini." Rara langsung mengambil piring yang ada di tangan ayahnya, "Biar Rara aja." Zein kembali duduk. Dia mendengar nada panggilan yang tidak asing di telinganya. "Ayah ambil hp bentar ya Ra. Kayaknya ada yang nelfon." "Iya Yah." Zein bangkit dari duduknya dan berjalan ke ruang keluarga. Tadi dirinya menaruh ponsel di atas nakas yang ada di ruang keluarga. Melihat siapa yang menelfon, senyum Zein langsung melebar. "Halo assalamu'alaikum istriku." sapa Zein dengan senyum yang mengembang. Tapi tetap saja, Inggit tidak membalas dengan senyuman serupa. [Mana Raranya.] Zein lupa, tadi istrinya berpesan untuk langsung menghubungi dirinya jika sampai di apart Rara. "Ra, bunda kamu nih." Zein menyodorkan ponselnya ke hadapan Rara yang sudah duduk manis di meja makan. "Halo, assalamu'alaikum bunda sayang." sapa Rara dengan senyum yang merekah. [Anak Bundaaa, Bunda kangenn banget sama kamu sayang.] "Rara juga kangen bangetttt sama bunda. Kangen masak bareng Bunda." [Pokoknya minggu depan Bunda ke sana, kita harus masak-masak yaa. Nanti Bunda ajak mamah Dita juga.] "Iya Bun, Bunda atur aja gimana enaknya." [Gimana kabar kamu sayang?] "Alhamdulillah baik, Bunda sendiri gimana?" [Bunda kemarin abis di rawat.] Kedua mata Rara langsung terbuka lebar, dia tidak mengetahui tentang hal ini. Dan juga tidak ada yang memberi tahu dirinya mengenai kabar keluarga di Indonesia. Zein merasa di tatap oleh Rara, pura-pura tidak merasa jika dirinya tengah di tatap. Dia sangat yakin, pasti istrinya itu sudah mengatakan mengenai dirinya yang di opname. "Tapi sekarang gimana keadaan Bunda? Rara perlu terbang ke Indo ngga?" [Ngga usah sayang. Bunda udah di rumah, niatnya mau minggu ini Bunda flight ke sana. Tapi Aryo bilang minggu depan aja, nunggu Bunda bener-bener enak.] "Nah, bener apa yang Mas bilang." [Tunggu kedatangan Bunda sama mamah kamu ya sayang.] "Siap Bunda sayang. Mau di saji apa nih?" [Ngga usah, cukup liat kamu sama cucu Bunda sehat, udah lebih dari cukup. Oh iya, mana cucu Bunda?] "Nalen lagi keluar sama mas Aryo Bun." [Ck, pasti deh. Ahh, Bunda jadi iri kan.] Rara melihat kedua mata bundanya sudah berkaca-kaca, "Bunda jangan nangis dong. Apa nanti pas ayah sama mas Aryo mau ke Indo, Rara ikut aja ya? Nalen udah boleh flight kok. Kemarin Rara udah nanya sama dokter." [Gak papa sayang?] "Iya Bun, gak papa." [Oke, nanti Bunda bilang sama Ayah suruh pesen tiket yang kelas bisnis pokoknya. Jangan yang ereg-eregan.] "Ayah denger Bun, tanpa kamu suruh pun ya Ayah bakalan pesen kelas bisnis. Atau kalo perlu, nanti Aryo pinjem jet pribadi aja ke rekannya dia." [Mangkanya, beli dong jet pribadi sendiri. Ngaku orang kaya, tapi dari kemarin aku suruh beli jet pribadi selalu aja ada alasan.] Rara menggeser sedikit ponselnya, agar dua pasang sejoli bisa saling tatap ketika bertengkar. "Masalahnya kemarin ngga ada tipe yang Ayah mau Bunda sayang " [Halah, alesan aja.] Zein ingin sekali mengumpat terang-terangan, tapi sayangnya dia sangat amat menyayangi istrinya itu. Jadi seakan kalimat u*****n tidak bisa keluar dari mulutnya. "Assalamu'alaikum." Mendengar suara putranya, Inggit langsung teriak. "Mana cucu Eyanggg." Rara bangkit dari duduknya, walaupun dia masih kesak dengan masnya itu, tapi dirinya tidak mungkin menghalangi bundanya mau berbicara dengan cucunya. "Bunda mau ngomong sama Nalen." Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Aryo dan langsung di tanggapi pria itu. "Assalamu'alaikum Bun." Aryo menjauh dari Rara dengan Nalen yang berada di gendongannya. Tidak jauh-jauh, Aryo membawa keponakannya ke kamar Rara. Tepatnya ke balkon kamar tersebut. Sekembalinya Rara ke dapur, dia melihat ayahnya sudah memakan nasi beserta lauk yang sudah dia sajikan. "Gimana Yah, enak ngga?" Tanpa menjawab, Zein menunjukkan kedua jempolnya. Mulutnya sudah penuh dengan makanan. "Nambah Yah, kalo enak." Rara ikut menyantap makanan miliknya. Bukannya dia tidak mempedulikan Nalen anaknya, tadi sebelum anaknya itu tidur, Nalen sudah makan bubur tim dan tertidur dalam keadaan perut kenyang. Jadi biar saja masnya yang mengasuh. Toh, sama saja. Dia percaya dengan Aryo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN