Bab 7 Insiden di Bioskop

1391 Kata
“Kau serius? Tidak ada yang membahasku satu pun?” Risa mengangguk cepat. “Kebanyakan nonton drama Korea, tuh, pastinya!” ledek Vera kesal, nadi di pelipisnya berdenyut nyaris meledak. Harga dirinya seolah diremehkan. Padahal tadi sudah sangat heboh sampai bikin beberapa orang jadi iri, ternyata semua hanya menjilat kepadanya! Mentang-mentang dirinya ini adalah bagian keuangan! Wanita berambut sebahu ini terlihat kecewa mendengar pengakuan Risa, dia juga sudah membuat dirinya jadi malu begitu, tapi usahanya sia-sia. “Bos baru itu seperti apa, sih? Sial! Aku sibuk urus laporan, jadinya belum bisa ikut gosip di grup mana pun! Awas saja kalau dia tak seheboh yang mereka bicarakan!” “Hahaha. Sepertinya harapan mereka terlalu tinggi gara-gara bos-bos di sini sudah tua-tua. Kalau pun masih muda, tapi sudah ada pasangan. Daging segar memang selalu menarik, kan? Jangan salahkan mereka. Kau juga, sih, pake heboh pamer kado begitu di saat semua orang sibuk dengan hal lain. Mana sempat bahas hal kecil begitu.” “Risa! Kau tidak ikut-ikutan, kan? Kau sudah punya daging segar sendiri!” “Bicara apa?! Aku cuma baca skip-skip, kok, gibahan mereka!” “Bagus! Jaga pria itu baik-baik! Meski aku tidak begitu suka kau tiba-tiba menikah dengan pria yang baru kau temui, tapi ini kesempatanmu untuk bisa naik pelaminan!” Apaan, sih? Dia sendiri dan Hadi, kan, juga baru ketemu langsung mau menikah! Dia ini nggak ngaca apa? batin Risa menahan kesal. Tidak paham apa bedanya dirinya dan kisah percintaan Vera. “Eh, kenapa, ya, taktik tadi tidak berhasil? Apa karena aku kurang menarik jadi bahan gosip? Bagaimana kalau kita mengaku saja itu adalah hadiah untukmu? Bukankah bakal jadi heboh? Jomblo sejati tiba-tiba dapat hadiah misterius di kantor! Terus, kita tambahin lagi kalau kau bakal segera menikah! Wuah! Pasti semua jadi merasa seru, kan?!” Mata Vera melengkung licik dengan agenda jahatnya. Risa hanya bisa menganga tak percaya. “Hentikan saja! Aku tidak mau seperti itu! Kalau ada skandal, kan, gawat! Susah payah aku kerja di sini! Kalau dipecat, bagaimana?” Vera menyikutnya pelan, “kau ini penakut sekali. Kalau mereka semua tahu calon suamimu itu sangat tampan dan keren, mereka pasti akan memihakmu! Kau belum cerita dia bagaimana, kan?” “Berisik! Sebaiknya kau kembali kerja saja sana!” koar Risa kesal, mendorong sang lawan bicara kembali ke meja. “Kau cepat-cepat begini memang mau kencan?” “Ssshh!! Jangan keras-keras!” peringat Risa panik. “Kenapa, sih, harus main sembunyi-sembunyi segala? Bukannya bagus kalau semua orang tahu kau akan segera menikah?” Risa memasang wajah memohon, mata berkaca-kaca. “Kau tahu, kan, kalau aku tidak ingin hubunganku ini terekspos dulu? Kalau ada apa-apa di tengah jalan, kan, malu? Apalagi sudah mau menikah! Nanti saja saat sudah mau tunangan, aku kasih pengumuman, deh!” Wajah wanita yang berpakaian burgundy sebatas siku dan rok bunga-bunga selutut ini memerah hebat. Pikirannya yang selalu gagal dalam percintaan membuatnya mulai memupuk trauma akhir-akhir ini di hatinya. “Um... baiklah. Tapi, kasihan, kan, pria yang kasih kamu hadiah mahal itu. Tidak kusangka kau bakal jadi femme fetale tahun ini, Risa Abdullah!” puji Vera dengan mata tersenyum, menepuk-nepuk sebelah pundak Risa dengan bangga. “Apaan, sih!” “Sudah! Ayo, sana pergi kencan! Jangan bikin pangeranmu menunggu!” usir Vera dengan wajah sok galak ala-ala ibu Cinderella. “Bye!” balas Risa dengan wajah memerah indah, melambaikan tangan begitu senang. “Dasar wanita dimabuk cinta!” keluhnya pelan. ***   Di sebuah mall ibukota. “Kau tidak pakai gelangnya? Kenapa?” Wajah ala-ala eksekutif itu membuat hati Risa deg-degan parah, sangat tampan dan menawan. Begitu intelek. Mereka berdua sekarang sedang antrian untuk membeli tiket. “I-itu, kan, gelang mahal, Adnan. Kalau hilang atau ada apa-apa, bagaimana?” elak Risa dengan mata melirik ke arah lain, sangat gugup. Adnan terbahak pelan dan elegan. “Itu tidak masalah. Bisa beli yang baru, kan? Kalau kau tidak pakai, untuk apa aku membelikannya untukmu?” “Ta-tapi, kan...” Risa memajukan mulutnya, tidak tahu harus berkata apa. Sebelah pundak Risa ditepuk pelan, wajah sang pria melunak dan memasang senyum indah menenangkan. “Risa. Aku punya uang banyak, kalau hanya gelang 10 juta hilang, itu tidak masalah buatku. Kalau aku belikan kalung mahal yang harganya ratusan juta, kamu juga tidak mau pakai? Lalu, bagaimana aku bisa memanjakan wanitaku jika semua pemberianku kau tolak?” Risa menelan ludah gugup, menatap cemas kepada wajah tampan berkacamata itu. Benar, sih. Keluarhg Adnan adalah keluarga kaya raya di kota ini. Tidak salah ayahnya melakukan pernikahan bisnis untuk mereka demi memperbaiki keuangan perusahaan. Tapi, tetap saja, rasanya aneh jika dibanjiri barang-barang mewah begini oleh seorang pria. Dia, kan, bukan perempuan gila harta? “Lain kali dipakai, ya!” “Ba-baiklah...” patuh Risa, tak kuasa melawan senyum manis pria itu. Kedua pipinya lagi-lagi merona untuk kesekian kalinya hari ini. Selama menonton di bioskop, di dalam keremangan itu, Adnan bersikap sangat sopan. Benar-benar tipikal pria yang gila kerja dan hanya memikirkan perusahaan. Risa sempat berpikir bahwa di dalam keremangan dan duduk paling atas di bagian sudut, mereka akan melakukan hal-hal yang tidak pantas. Ternyata itu jauh dari bayangannya. Otak kotor! Risa! Kau mikir apa, sih? Adnan mana mungkin begitu! batin Risa dengan perasaan malu. Baru saja berpikir begini, tangannya yang hendak meraih pop corn bersentuhan dengan tangan Adnan di dalam kotak plastik besar itu. Risa terkejut karena Adnan meliriknya dengan senyuman tak biasa, lalu tangannya di dalam kotak disentuhnya dengan begitu intim dan sensual. Jantung wanita ini langsung berpacu cepat, dan menarik tangannya bagaikan kecepatan cahaya. “Ma-maaf!” bisik Risa pelan. “Tidak usah malu, kita akan segera menikah, bukan?” Risa entah kenapa mulai tidak nyaman dengan gerakan intim sang pria, lengan kirinya sudah berada di pundaknya, tapi untunglah hanya seperti itu dan tidak ada gerakan lainnya. Sepanjang film bermain, Risa tanpa sadar tertidur dengan lelapnya dalam rangkulan Adnan. Pria ini melirik Risa dalam keremangan dengan tatapan jahat dan licik, lalu saat melihat wajah tenang dan polos sang wanita, tiba-tiba hatinya merasa aneh. Adnan seketika saja dibanjiri perasaan bingung. Lama mata pria itu mengamati wajah sang wanita yang tengah tertidur, dan selama itu pula perlahan sorot mata Adnan berubah  sedikit demi sedikit. “Dia imut juga ternyata,” gumamnya pelan, kedua pipi Adnan merona kecil. “Mungkin tidak buruk juga bersama wanita ini,” lanjutnya dengan senyum di sudut bibirnya, nakal dan seksi. Ketika kepala sang pria perlahan diturunkan di wajah sang wanita, hendak mendaratkan ciuman di bibir Risa, tiba-tiba saja suasana syahdu dan romantis itu terganggu oleh ulah seseorang. BRUK! “Aduh! Maaf! Maafkan! Saya salah tempat ternyata!” ujar seorang pria bersuara berat dalam keremangan itu. “Hei! Kami jadi basah, kan! Apa tidak bisa lebih hati-hati jalannya?!” protes Adnan, menarik tubuh Risa yang terbangun dalam keadaan linglung. Satu bioskop itu pun menjadi heboh. Adnan mulai mengomel dengan keras dan penuh emosi. Risa sama sekali tidak tahu apa yang sudah membuat pria itu marah, hanya berpikir sederhana gara-gara kecerobohan seorang pria asing yang canggung. “Sudah! Tidak apa-apa, Adnan! maafkan saja!” pinta Risa yang tidak enak hati karena Adnan sudah marah-marah kepada pria berjaket krem yang dipikirnya sudah tua itu. Hanya mengira-ngira saja dari suara dan gerakannya, karena tempat itu tidak begitu terang untuk melihat jelas wajah pria yang sudah menumpahkan cola dan pop corn ke pangkuan mereka berdua. “Tapi pakaianmu jadi basah dan kotor, Risa! Bagaimana bisa ada orang tidak tahu kursinya sebelum masuk? Buta, ya? Atau kampungan?” “A-Adnan...?” gumam Risa pelan dengan perasaan tak percaya, bingung tidak tahu harus berkata apa. Segala kelembutan pria itu tiba-tiba saja seolah raib entah ke mana. Tidak bisa lihat raut wajahnya karena gelap, dan ini membuat hati Risa jadi sedikit takut dengan perasaan aneh menggantung di hatinya. Saat keduanya memutuskan keluar dari bioskop usai mendapat permintaan maaf dari sang pria canggung dan pengurus bioskopnya, keduanya pun berbelanja pakaian di sebuah toko mahal dan mewah. Tak jauh dari sana, pria berjaket krem tadi yang menumpahkan makanan dan minuman kepada Risa dan Adnan berdiri di balik tembok sambil menundukkan kepalanya yang menggunakan sebuah topi baseball hitam, tampak sedang menghubungi seseorang. “Benar. Dia hampir berbuat hal yang tidak pantas kepada nona Risa. Tidak usah cemas. Saya datang tepat waktu. Baiklah. Akan saya awasi lebih baik lagi ke depannya.” Pria ini pun menutup sambungan telepon, lalu kembali mengamati dari jauh melalui kaca tembus pandang yang ada di toko seberang. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN