Tujuh Belas

2003 Kata
"Dayu? Apa yang kau lakukan di sini?"  "Aku perlu bicara." Martha mencengkeram pulpen di tangannya erat-erat. Ia tak bisa menghindar ke mana-mana. "Aku hanya punya waktu lima menit sebelum kelas berikutnya," katanya datar. "Lima menit sudah cukup. Aku hanya ingin tahu, di mana kau sembunyikan anakku," tegas Dayu langsung pada inti permasalahan. "Apa?" Martha terbelalak.  "Jangan pura-pura bodoh, Martha. Aku tahu dia pasti menemuimu. Dia tidak punya siapa pun lagi selain kau dan Leo. Ah, aku lupa masih ada ayahmu, tentu saja," sambung Dayu sinis. Martha membalas dengan ekspresi tenang. Ia bersyukur telah mengungsikan Aretha ke tempat yang lebih aman. "Setelah kau menjauhkannya dari keluarga besar ayahnya, kau berpikir dia masih punya nyali menemui kami?"  Setelah Leo dan Dayu bercerai, Aretha hanya diizinkan menemui Leo, itu pun dengan frekuensi yang tidak menentu. Dayu juga menutup akses rapat-rapat bagi Aretha untuk bertemu dengan dirinya, begitu juga dengan ayahnya. Keluarga mereka hanya mendengar kabar tentang Aretha melalui beberapa orang suruhan, memastikan bahwa keponakannya itu baik-baik saja. Ketenangan Martha membuat Dayu merasa terintimidasi. Ia diam seribu bahasa, menunggu Martha bicara. "Ada apa lagi kali ini? Kau mengkhianatinya sama halnya kau mengkhianati ayahnya?" Martha menegakkan punggungnya. "Ya, Leo meneleponku. Aretha kabur dari rumah karena kau memaksanya menikah dengan seorang bandot tua. Ibu macam apa kau, Dayu? Kau menjual anak gadismu sendiri?" "Jangan sembarangan, Martha!" maki Dayu tidak terima. "Aku sangat menyayangi anakku. Aku tidak menjualnya!" "Kalau kau tidak berniat menjual anakmu, kau takkan menikahkannya tanpa sepengetahuan ayah kandungnya. Siapa yang akan kau jadikan wali nikahnya? Wali hakim? Kau pikir pernikahan itu sah? Kau akan menjadikan anakmu berzina seumur hidup?" Martha mengakui dirinya bukan orang religius. Namun, membayangkan Aretha menikah tanpa sepengetahuan ayah kandungnya sebagai wali, gagasan itu sungguh menjijikkan. Untung saja Aretha pintar melarikan diri. "Oh!" Kemudian Martha tertawa nyaring. "Tidak ada satu pun yang kau pedulikan di dunia ini, kecuali dirimu sendiri, Dayu. Kau hanya mencintai egomu. Kau lupa, bukan hanya Aretha yang kau jauhkan dari kami, tetapi juga Leo, semata-mata untuk melindungi egomu. Kau sakit jiwa, Dayu!" Selepas kepergian Dayu, Martha lekas-lekas mengusap ponselnya. Ia minta bicara dengan Aretha kala seorang asisten rumah tangga Bima mengangkat teleponnya. "Sayang, Dayu mencarimu. Berhati-hatilah." *** Aretha berdehem mengusir kering di tenggorokannya kala pintu kamarnya diketuk dari luar. Buru-buru ia menguak daun pintu. Tampak olehnya Attaruna berdiri di sana dengan kedua tangan berada di saku celananya. Raut wajahnya lelah dan kuyu. "Ada apa, Mas?" "Kamu mau ikut?" "Ke mana?" "Keluarga Mas Costa mengundang makan malam. Siap-siap, gih," ujarnya sebelum membalikkan badan. Aretha mengembuskan napas. Pertanyaan Attar lebih terdengar seperti perintah. Sebetulnya ia sedang malas keluar rumah. Mood-nya memburuk setelah menerima telepon dari tantenya bahwa ibunya nekat mencarinya ke Surabaya.  Sejujurnya lagi, penolakan Attar masih menyisakan perih. Katakan saja ia bucin tingkat akut. Ia tidak tahu apa yang disukainya dari Attaruna, selain kenangan masa kecilnya, tentu saja. Laki-laki itu sengak dan menyebalkan, tetapi anehnya ia masih memujanya. Debaran jantungnya tetap menggelora kala mereka bertatapan mata.  Apa bagusnya dia selain otak encer dan wajah rupawan? Entahlah. Membingungkan memang! Dengan malas ia berganti pakaian, lalu menyapukan make up tipis agar mukanya tidak kelihatan pucat. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Begitu keluar dari kamar, ia mendapati Attar sedang memainkan ponselnya di ruang tamu. "Sudah, Mas," tegurnya. Laki-laki itu mengangkat kepala. Tatapan matanya berhenti sejenak, lalu mengerjap lambat, satu detik ... dua detik.  Oke, dia memang cantik. Attar buru-buru menggelengkan kepala. Dahsyat sekali efek kurang tidur, ia sampai berhalusinasi. Ia menyerahkan kunci mobilnya kepada Aretha. "Kamu udah bisa nyetir, kan?"  "Ta–tapi aku nggak punya SIM, Mas," tolak Aretha keberatan. "Ah, gampanglah itu. Sesekali melanggar aturan nggak apa-apa," tuturnya mempersilakan Aretha berjalan lebih dulu menuju mobilnya yang sudah terparkir di halaman. Pertama kali menaiki mobil tersebut, Aretha tahu harganya tidaklah murah. Interiornya mewah dan elegan. Nyalinya perlahan ciut. Sebelumnya ia hanya diajari oleh Pak Imin menyetir sedan kecil yang ringan, bukan SUV yang jelas-jelas punya kapasitas lebih besar. Ia takut, salah-salah nanti menabrak sesuatu atau cat mobil itu tergores. Biaya perbaikannya tentu saja mahal. Ia memasang seat belt, lalu memasukkan kunci ke lubangnya dan memutarnya perlahan. Terdengar deruman lembut kala mesin mobil itu menyala. Attar sudah duduk di sebelahnya. Aretha meliriknya sejenak. Lagi-lagi tangannya gatal ingin membelai rahang Attar yang belum dicukur. Sepertinya laki-laki itu benar, fase pertama masih menguasainya. Geliat estrogennya meronta-ronta. Aretha mendorong parsneling, lalu mulai menyesuaikan ritmenya kala mobil tersebut berhasil ia bawa keluar dari halaman.  "Aku nggak tahu jalan, Mas," kata Aretha berusaha keras mengalihkan pikirannya ke jalan yang benar. Tidak lucu bila nanti ia menabrak pohon atau tiang gara-gara mabuk kepayang. "Nanti aku yang pandu. Belok kiri." "Oke." Aretha menuruti perintah Attar.  Attar mengamati gadis itu berkendara dari lirikan matanya. Bagi seseorang yang baru belajar menyetir beberapa hari, kemajuan Aretha sungguh di luar dugaan. Awalnya gadis itu menyetir dengan ragu-ragu, kemudian berangsur mulus dan tenang, seperti seorang sopir yang sudah bertahun-tahun berkendara di jalanan. Bahkan sesekali Aretha menaikkan kecepatannya di atas rata-rata. Keren juga, batinnya. Attar menyalakan audio mobilnya untuk menghilangkan atmosfir canggung di antara mereka. "Kemarin kamu ngapain aja?" celetuknya mencairkan suasana. Sesekali ia menunjukkan arah jalan kepada Aretha. "Eh?" Aretha menoleh kaget. "Anu ... belajar coding aja, Mas." Perkembangan dunia IT luar biasa cepat. Aretha harus pandai menyesuaikan diri. Baru beberapa bulan wisuda, ia sudah ketinggalan banyak hal. Rasanya baru kemarin ia mengutak-atik PHP 5, sekarang sudah harus pindah ke PHP 8. Bahasa Javascript dan Python pun sudah banyak framework baru. Ia memilih mempertajam skill programming–nya dibandingkan cyber security ataupun networking karena bidang tersebut terdengar menjanjikan. "Baguslah." Attar tidak tahu harus berkomentar apa lagi. "Belok kanan, Re," katanya begitu memasuki komplek perumahan hunian orang tua Costa, hampir lima belas menit kemudian. Jarinya menunjuk ke sebuah rumah mewah. "Yang itu." Seorang satpam membuka pintu gerbang dan mempersilakan mereka masuk. Aretha memarkir mobil di tempat yang tersedia. "Keren, Re," puji Attar setibanya di kediaman keluarga Costa. "Thanks ya, udah gantiin aku nyetir." "Anytime." Aretha mengembalikan kunci Attar. "Aku seksi kan, Mas?" "Ha?" Attar melongo lalu menjawab dengan terbata-bata, "Oh, ya itu ... seksi."  Aretha tersenyum puas. Tidak lama setelah Attar menekan bel, seorang perempuan muncul di hadapannya. "Selamat malam, Tante," sapa Attar pada Niken. "Selamat malam. Wah, Tante patah hati, nih," Niken memasang wajah cemberut sembari melirik pada Aretha. "Pacarmu?" bisiknya lagi. Bukan rahasia lagi, setiap kali bertemu dengan Niken, perempuan itu tak ubahnya seperti biro jodoh kekurangan klien. Niken getol menjodohkannya dengan anak sepupunya, anak kakaknya, anak saudaranya, dan lain sebagainya. Attar sampai berpikir seberapa besar keluarga Costa sebenarnya. Seperti ia tidak laku saja! "Eh, bukan, Tante." Attar buru-buru mengibaskan tangannya, lalu memperkenalkan Aretha. "Kenalin, Tan, ini Aretha, keponakan Tante Martha. Re, ini Tante Niken." "Malam Tante," Aretha ikut menyalami Niken dengan sopan. "Oh?" Mata Niken langsung membola. "Yang kemarin bikin bosnya diopname?"  "Lho, kok Tante tahu?" kata Attar. "Ya tahulah, Andre yang cerita." Niken mempersilakan keduanya masuk. Ia menggamit lengan Aretha. Rengutan di wajahnya sirna, berganti dengan pujian. "Kamu keren, lho, Sayang. Kalau Tante jadi kamu, ih, Tante bikin remuk sekalian tulangnya. Kamu sih, mukulnya nanggung begitu." Aretha hanya bisa meringis, sedangkan Niken terus menyerocos seperti kereta. "Andre?" potong Attar mengerutkan dahi. "Pengacaranya Mas Costa?" "Iya. Kan, Andre yang ngurus." "Ngurus apanya?" "Ish, kamu ini gimana sih?" Niken menceritakan, dirinya ada bersama Thalia saat Aretha menelepon dari kantor polisi. Thalia langsung mengabari Costa dan meminta Costa mengurusnya dengan mengirimkan Andre. Attar tercengang. "Kamu sempat ditahan polisi, Re? Kenapa nggak bilang?"  Aretha menjawab singkat, "Mas juga nggak nanya." "Ck!" Attar berdecak jengkel. Sepertinya ia ketinggalan banyak informasi. "Ayo, sini." Niken memutus persiteruan itu dan membawa mereka berdua ke ruang keluarga di mana suara tawa sesekali berasal. Tampaknya semua orang tengah berkumpul di sana. Begitu melihat kedatangan mereka berdua, Costa langsung berdiri dan menyalami Aretha. "Hai, Ri," sapanya ramah. Costa juga memperkenalkan Aretha pada ayahnya, juga seorang tamu lain bernama Yanuar, teman sekaligus mitra bisnisnya. "Hallo, Om, selamat malam." Aretha menyalami Hamdan dan Yanuar, kemudian duduk di sebuah sofa kosong. Dari seberangnya, Thalia hanya melambaikan tangan dengan ekspresi meminta maaf, tak bisa bergerak karena Attar sudah berbaring meletakkan kepala di pahanya minta dipijat. Kedua anak kembarnya asik bermain di lantai. "Wah, calon mantu baru, nih," celetuk Hamdan mengedipkan mata memberi kode pada Attar. Aretha menunduk. Andaikan saja itu terjadi, ia adalah orang yang paling berbahagia di dunia. "Om ngawur, nih!" Attar mendelik. Kala Thalia memijat-mijat kepalanya, Attar memejamkan mata. "Enak banget, Tha." "Bayar ya," sahut Thalia iseng. "Nomor rekeningku masih ada, kan?" "Tante kok punya firasat kalian itu berjodoh, ya," kata Niken seraya bertopang dagu, melirik Attar dan Aretha bergantian. "Ya ampun!" sambar Attar jengkel. "Aku nggak mau, Tante!" "Nggak mau? Cantik begini kok, ditolak, sih? Kamu itu buta atau bagaimana?" "Umm ... Mas Attar itu maunya sama perempuan yang IPK–nya magna cumlaude, Tante," sindir Aretha setengah meledek. Terus terang, ia jengkel ditolak di depan orang-orang. Dasar tak berperasaan! Niken terbelalak. "Sejak kapan IPK jadi patokan hubungan asmara?"  "Duh!" Attar menutup muka dengan lengannya. Apa-apaan sih, Re?  Nasibnya di hadapan Niken selalu sama, menjadi bulan-bulanan karena belum menikah. Apakah jomlo itu sebuah aib atau bencana? Entahlah. Di mata Niken mungkin begitu. "Ya sudah kalau nggak mau," Niken pun melengos, lalu menoleh menatap Aretha. "Ngomong-ngomong, kamu belum punya pacar kan?"  Oh Tuhan, tolong jangan omong kosong soal perjodohan lagi, batin Attar dalam hati.  "Be–belum, Tante." "Nah, kebetulan nih. Gimana kalau kamu Tante jodohin sama keponakan Tante? Namanya Damar. Orangnya gagah, tinggi, udah mapan, punya toko emas—" "Jangan mau, Re!" sambar Attar tiba-tiba bangun dari tidurnya. "Apaan tuh, masa sama penjual emas? Nggak elit banget!" "Hey, siapa bilang jualan emas nggak elit? Banyak itu duitnya!" sambar Niken tak mau kalah. "Halah! Masih lebih elit dokter spesialis, Tante. Apalagi kalau praktik di dua atau tiga RS," sambung Attar meremehkan. "Kenapa malah kamu yang sewot, sih?" Niken memelotot. "Kalau kamu mau sama dia, bilang terus terang! Jangan sewot nggak jelas begitu!" "Enggak, siapa juga yang mau?" Attar kembali berbaring di paha adiknya. "Palingan juga keponakan jadi-jadian," sambungnya menggerutu masam. "Eh, jangan sembarangan, ya. Ini valid. Datanya bisa dipertanggungjawabkan," cerocos Niken gusar.  Attar memutar bola matanya, sedangkan Costa dan Thalia asik menertawakannya. Sesekali terdengar suara Gala dan Lista menjerit atau mengoceh dalam bahasa bayi. "Ngomong-ngomong, Papamu mana, Tar? Kenapa nggak ikut sekalian?"  "Ehem!" Hamdan berdehem nyaring sembari menengadah menatap langit-langit. "Papa kenapa?" Costa terheran-heran melihat respons mendadak ayahnya. "Sakit tenggorokan?" "Ah, enggak," kilah Hamdan melirik istrinya, sedangkan istrinya hanya merengut membuang muka. "Papa ada seminar di Manila, Tante, baru tadi pagi berangkat," sahut Attar menjelaskan. Setelah itu, ia diam-diam berbisik pada adiknya. "Kamu yakin, nggak makan hati punya mertua kayak Tante Niken?" tanyanya ragu-ragu. "Enggak, kok, Mama Niken baik banget pokoknya," balas Thalia berbisik. "Kalau aku berantem sama anaknya, Mama pasti belain aku." "Cocoklah kalau begitu," dengus Attar. "Sama-sama drama queen. Aduh!" Ia meringis kala Thalia menarik rambutnya kuat-kuat. Lirikan matanya mampir pada saudara iparnya. Malangnya nasibmu, Mas. Beberapa menit berlalu, Gala menghampiri Aretha, lalu menarik tangannya mengajak bermain bersama di lantai beralaskan karpet. Batita yang mirip dengan ibunya itu memamerkan tumpukan mainannya.  Untuk alasan tersebut, Aretha sangat berterima kasih pada Gala. Gala adalah penyelamatnya. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap di sana. Maksudnya, semua orang bersikap ramah dan hangat, membuat perasaannya ikut hangat. Rasanya seperti mereka mengisi energinya yang terkuras habis. Tetapi sebagai orang baru, ia tetap butuh waktu menyesuaikan diri. Sementara itu, Attar mencuri-curi pandang pada Aretha yang sibuk bermain boneka. Gadis itu seolah tenggelam dalam dunia kanak-kanaknya. Gala dan Lista pun tampak nyaman bermain bersamanya.  Sesekali ia tertawa renyah, menampakkan lesung pipi samar yang memikat. Dan Attar berani bertaruh, kecantikannya naik berkali-kali lipat. Untuk alasan yang tak terjelaskan, hatinya tiba-tiba menghangat. Kedua sudut bibirnya terangkat tanpa sadar. Aretha memiliki aura keibuan. Sepasang bola mata yang tenang itu bagaikan sihir. Si kembar yang biasanya sangat picky bila berinteraksi dengan orang asing, menjadi sangat akrab dengannya. Lista tak segan-segan minta dipeluk oleh Aretha. Sementara Gala mencium pipinya.  She will make an amazing mother.  Dasar i***t! Sepertinya ia harus cepat-cepat pulang dan meringkuk di kamarnya. Derajat halusinasinya semakin parah!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN