WARNING!
Genks, cerita Attar ini mungkin bakalan membosankan, karena konfliknya cuma konflik ringan dan cenderung ke pencarian jati diri.
***
"Apa akhir minggu ini kamu bisa ke rumah? Orang tuaku minta bertemu."
Attar berdecak gusar sebelum menyimpan kembali ponselnya di bawah bantal tanpa berniat membalas pesan itu. Seloyang pizza yang isinya tinggal separuh di atas bed kamar jaga lebih menggoda imannya. Perutnya lapar tak terkira.
"Raya menggugat cerai."
"Ha?" Kunyahan Attar sontak terhenti. "Lo serius?"
"Apa gue kelihatan sedang bercanda?" Ronald meneruskan makannya seolah-olah kata cerai yang baru saja terlontar dari mulutnya tidak mempengaruhinya. Namun, ada ketegangan dalam nada suaranya. "Gue nggak nyangka akhirnya akan seperti ini."
"Kok, bisa? Raya berselingkuh?"
"Perselingkuhan bukan satu-satunya penyebab perceraian, Tar, dan menurut gue itu bukanlah yang terburuk."
"Jadi?"
"Gue pikir kami baik-baik saja. Tapi kayaknya gue salah. Tanpa sadar, kami seperti memelihara badai."
Mendadak saja sisa pizza dingin yang mereka pesan beberapa menit sebelum operasi terakhir itu jadi tak membangkitkan selera. Nafsu makan Attar perlahan lenyap. Perutnya yang tadi bergemuruh selama berada di ruang operasi—sempat diledek oleh konsulennya—tiba-tiba hening. "Gue nggak tahu harus bilang apa," timpalnya sungkan.
"Nggak usah dipikirin." Ronald tertawa sumbang. "Gue sudah punya firasat ini akan terjadi."
"Lo baru nikah tiga tahun dan sekarang bercerai?"
"Bill Gates menikah selama dua puluh tujuh tahun dan tetap bercerai."
"Alasannya apa, sih?"
"Kami bertengkar hebat. Raya akhirnya sadar, menikah dengan seorang dokter bukan hal yang menyenangkan." Ronald mendesah, "Dia mengakui menikah dengan gue adalah prestasi besar, prestisenya tinggi di mata teman-temannya. Padahal sedari dulu dia tahu resikonya kalau gue nggak akan punya banyak waktu untuknya."
"Nggak mungkin!" seru Attar sangsi.
"Begitulah pengakuan Raya." Kepedihan membias samar di bola mata Ronald. Pengakuan istrinya bahwa pernikahan mereka karena prestise membuat hatinya berdenyut nyeri. Sungguh alasan yang kekanak-kanakan sekali!
"Mungkin itu hanya emosi sesaat. Kalian sama-sama masih muda," kata Attar menenangkan.
"Tadi pagi gue menerima panggilan sidang."
"Damn!" Attar mengumpat. Ronald dan Raya menikah tidak lama setelah Ronald mendapatkan STR–nya dan mengabdi di sebuah rumah sakit. Mereka dulunya berpacaran sejak kuliah dan sempat cekcok beberapa kali. Attar tidak menyangka, pernikahan tak kunjung mendewasakan mereka. Hubungan yang dijalin bertahun-tahun pun terancam bubar di ruang sidang pengadilan agama.
"Lo tahu sendiri, jadwal residen itu biadab sekali. Raya nggak terima itu. Di dalam bayangannya, gue selalu ada saat dia butuh. Gue sering tertidur kala dia menceritakan lucunya tingkah anak kami. Gue bahkan sudah lupa kapan terakhir kali kami melakukan itu. Lo pasti ngerti, kan, maksud gue?"
Attar mengangguk.
"Raya jenuh dan kesepian. Klise, huh?"
"Gimana dengan anak kalian?"
"Sudah pasti ikut Raya. Saat anak gue demam dan dirawat, gue sama sekali nggak ada buat dia. s**t!" umpat Ronald pahit.
Attar terdiam. Ya, ia tahu, mengatur ritme keseharian sebagai residen bedah bukan perkara mudah. Butuh mental sekuat baja untuk saling mengerti dan memahami.
"Apa kalian nggak bisa membicarakannya dengan kepala dingin? Kalau perlu, libatkan keluarga lo atau keluarga Raya."
"Udah. Raya tetap keras kepala."
"Kasihan anak kalian masih kecil."
"Lo pikir gue nggak mikir sampai ke sana?"
"Kenapa kedengarannya alasan Raya berlebihan banget, ya?"
"Lo tahu sendiri, sejak dulu dia cenderung manja."
"Perempuan memang aneh," tukas Attar berterus terang.
"Entahlah, gue bingung. Gue pun nggak bisa nyalahin dia sepenuhnya. Manusia berubah, perasaan bisa berubah."
Seorang dokter yang mengambil pendidikan spesialis membutuhkan dukungan tak henti-henti, bukan hanya dari pasangan, tetapi juga dari keluarga terdekat. Raya bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dan menuntut pengertian dari pasangan yang bukan seorang dokter, adalah tantangan yang jauh lebih berat.
Ada banyak waktu yang hilang saat seseorang menjalani residensi. Ada banyak momen berharga yang terlewatkan begitu saja bersama keluarga dan orang-orang terdekat. Ada banyak kepercayaan yang terampas dan terhempas bila hatimu tidak kuat.
Di usia dua puluh delapan tahun, Attar belum memikirkan pernikahan sama sekali. Menurutnya, pernikahan itu rumit, meskipun hal itu terpatahkan dengan pernikahan adiknya yang adem ayem dan nyaris tanpa masalah. Namun, adik dan iparnya tidak berasal dari kalangan medis. Jadi, teori tersebut runtuh dengan sendirinya.
Ponselnya kembali bergetar. Attar lagi-lagi mengabaikannya.
Ronald bertanya, "Siapa?"
"Ringga."
"Minta dilamar lagi?"
"Kayaknya."
"Pikir-pikirlah dulu. Jangan sampai kayak gue. Belum tiga puluh tahun udah jadi calon duda," Ronald menertawakan dirinya sendiri.
Attar mendengus. Ia menyesap jus mangga dari dalam plastik sampai tandas.
"Setidaknya jangan nikah sampai gelar spesialis berhasil lo dapatkan. Marriage isn't that easy for us, man!"
"Tapi kayaknya dia nggak akan betah menunggu," bantah Attar. Ringga, pacarnya, sudah sering minta dilamar. Attar pun mengerti, perempuan butuh kepastian. "Kami seumuran."
"Makanya cari pacar daun muda."
Attar mendelik sebal. "Mereka manja!"
Ronald tertawa. Seringkali bernasib apes bila berpacaran dengan para mahasisiwi membuat Attar kapok. Berpacaran dengan yang setara pun, nasibnya tidak lebih baik.
***
Attar turun ke parkiran dan menemukan mobil satu milyar pemberian iparnya telah menunggu. Kalau dipikir-pikir, memiliki ipar tajir melintir seperti Costa bak mendapat durian runtuh!
"Hey, Bung. Ayo kita pulang," sapanya lelah. Bayangan kasur empuk di kamarnya menari-nari di depan mata. Setidaknya selama 36 jam ke depan ia bisa beristirahat sepuasnya.
Hampir setengah jam ia habiskan berkendara. Jalanan lumayan macet. Untuk menghalau kantuk, ia memutar lagu-lagu Linkin' Park di audio mobilnya.
Setibanya di depan pintu, Attar memencet bel. Ia menghitung dalam hati sampai di angka sepuluh. Biasanya pintu tersebut terbuka di hitungan keenam atau ketujuh. Kali itu sedikit berbeda. Attar berdecak gusar saat daun pintu baru terbuka di hitungan ke tiga belas. "Kok lama amat, sih, Bi—"
Gerutuan Attar langsung terhenti. Keningnya berkerut mendapati sosok asing yang membukakan pintu. Tampak seorang gadis yang ia perkirakan berusia awal dua puluhan mengenakan daster selutut yang kebesaran di tubuhnya. Seingatnya, itu adalah daster kesayangan Bi Ati. Sangat mengherankan Bi Ati sukarela meminjamkan daster lusuh tersebut kepada orang lain.
Rambut gadis itu dikuncir asal-asalan. Keringat berlelehan di dahi dan ujung hidungnya. Matanya menatap Attar tak berkedip. Ekspresinya seperti seseorang yang bertemu teman lama tetapi masih ragu dengan ingatannya sendiri.
"Hai," sapa Attar sambil terus memperhatikan. Dua minggu tidak pulang, rupanya sudah ada penghuni baru di rumahnya. "Pembantu baru, ya?"
"Eh?" Gadis itu tergagap, "A–aku—"
"Siapa namamu?"
"Umm ... Ari."
"Kok, kayak nama laki-laki?" tukas Attar heran.
"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet."
"Oh, cool!" Attar terperangah. Jarang-jarang seorang pembantu tahu frasa terkenal dari William Shakespeare itu serta melafalkannya dengan artikulasi yang jelas dan suara yang ... merdu!
Kau berhalusinasi! rutuknya dalam hati.
Gadis itu hanya memutar bola matanya sebelum menutup pintu. Attar terheran-heran. Kurang ajar sekali! Kenapa sikap pembantu baru itu seakan-akan tak punya sopan santun pada majikannya sendiri?
"Bikinin saya s**u panas," tukasnya sebelum menaiki anak tangga. "Satu gelas besar!"