Chapter 4

1016 Kata
Menerima pesan dari Adit setelah sekian lama tidak berkomunikasi membuat Theresa sungguh terkejut. Pesan itu entah kenapa terasa begitu mengusiknya. Padahal ia sudah berjanji untuk melupakan Adit bagaimana pun caranya. Nyatanya, usaha Theresa untuk melupakan Adit selama lima bulan ini seketika lenyap begitu saja hanya karena dua pesan yang dikirim oleh Adit tadi sore. Pesan itu masih Theresa abaikan. Ia sengaja tidak membuka pesannya agar Adit tidak tahu bahwa Theresa sudah membaca pesan itu. Theresa sudah membacanya melalui notifikasi. Sayangnya ia belum tahu harus bagaimana merespon mantannya. Jadi ia lebih memilih untuk mengabaikannya untuk saat ini. Pikirannya sungguh kacau dan rasanya tidak dapat berpikir dengan jernih. Meski ia tengah berada di pesta, ditemani oleh suara musik dan kerumunan orang-orang yang asik berjoget di dance floor. Ia tetap saja tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Adit. Rasanya ia sungguh penasaran kenapa akhirnya lelaki itu memutuskan mengirimi pesan setelah lima bulan berlalu. Mereka memang putus secara baik-baik tapi sungguh Adit tidak pernah mengiriminya pesan selama lima bulan terakhir. Mereka sempat berkomunikasi hanya via direct message i********:. Hanya beberapa kali pesan singkat. Akan tetapi tidak pernah sampai berkirim pesan via w******p. Itu sebabnya ketika Adit menghubungi melalui pesan w******p rasanya sungguh aneh. Mereka seperti orang asing setelah lama tidak bertukar pesan. Namun pesan Adit tadi sore sungguh seolah mereka akrab dan telah bertukar pesan sebelumnya. Apakah dengan tindakan Adit yang seperti itu, Theresa boleh berharap bahwa keduanya sebenarnya masih saling memendam perasaan? Regina sedang asik dengan target terbarunya sehingga Theresa memilih duduk disini. Menatap bartender melakukan tugasnya dengan baik. Pikirannya kosong hingga seorang pria duduk di sebelahnya kemudian memesan sampanye. Theresa tidak sedikit pun memiliki minat untuk menoleh meski ketika mendengar suara seksi pria itu, Theresa bisa menebak dia pria yang menarik. “Sendiri saja?” Pria itu bertanya. Sepertinya pertanyaan yang diajukan kepada Theresa. Mengingat hanya dirinya yang duduk disini hingga pria itu datang. Merasa tidak ada orang lain yang mungkin ditujukan pertanyaan itu, Theresa. “Iya,” sahutnya sambil menoleh ke kanan. Ia seketika tersenyum kikuk ketika pria yang ada di sebelahnya adalah Juan Christopher. Bosnya sendiri. Pria itu terlihat begitu menawan dengan jarak sedekat ini. Sungguh, Theresa tidak berkedip menatapnya. “Terima kasih,” ujar lelaki itu ketika bartender memberikan pesanannya. “Tidak pesan?” Theresa seketika gelagapan ketika ditanya seperti itu. Bartender saja sejak tadi tidak menginterupsi lamunan Theresa dengan pertanyaan seperti itu padahal Theresa sudah cukup lama duduk disana. Theresa hanya duduk melamun dan tempat ini cocok karena sepi. Beberapa orang akan datang untuk memesan kemudian pergi dengan cepat. Itu sebabnya ia berada disini. Sungguh, bukan karena berniat memesan minuman. Dan seharusnya Theresa cukup tahu diri untuk tidak berdiam diri lebih lama disini. “Sampanye, please.” Alih-alih pergi meninggalkan tempat itu, Theresa justru ikut memesan minuman. Karena ia tidak tahu minuman jenis apa yang dipesan akhirnya Theresa memesan minuman yang sama dengan Juan. Juan menenggak sampanye seraya menatap Theresa. “Kita belum berkenalan.” Ia lantas meletakkan kembali gelasnya dan mengubah posisi duduk menghadap Theresa. Theresa menoleh kemudian tercekat oleh tatapan mempesona dari bosnya itu. Pandangan mata Juan sungguh membuat Theresa tidak bisa berpaling. “Juan Christopher.” Juan mengangkat tangannya ke udara. Mengharap Theresa membalas jabatan tangannya sebagai tanda perkenalan mereka. Theresa tentu saja sudah mengetahui lelaki itu. Tepatnya semenjak tadi siang. Ia jadi bingung harus bersikap bagaimana. Mengingat Juan adalah CEOnya. “Saya Theresa Olivia, Pak.” Ia menjabat tangan Juan. Ah, rasanya tangan lelaki itu begitu kokoh. Theresa merasa tangan Juan meremas tangannya sebentar, bersamaan dengan tatapan dalam lelaki itu pada Theresa. Kemudian Theresa menarik tangannya lebih dahulu setelah dirasa cukup lama mereka bersalaman.   “Tidak usah bicara formal, dan panggil Juan saja.” Theresa kemudian segera menganggukkan kepalanya. Minuman pesananya tiba dan ia menggumamkan terima kasih. Pesta ini sudah dipersiapkan untuk ulang tahun perusahaan. Termasuk segala pelayanan di dalamnya. Itu sebabnya cukup banyak yang datang memesan minuman dalam jumlah banyak, karena gratis. Theresa sendiri belum pernah minum alkohol. Ia menatap gelasnya ragu. “Belum pernah minum?” tebak Juan setelah memperhatikan raut wajah Theresa. Theresa menoleh untuk memperhatikan raut wajah Juan. Tidak ada nada meremehkan sedikit pun dalam pertanyaan itu. Akan tetapi entah mengapa, Theresa jadi merasa tertantang. “Pernah.” Kemudian Theresa langsung meminum habis minuman di gelasnya dengan sekali tenggak. Hal itu membuat Juan mengangkat satu alisnya. “Buru-buru sekali,” ucapnya kemudian menyesap sampanye. Ketika minumannya telah habis, Juan kembali memberikan gelasnya sebagai pertanda minta diisi ulang. Berbeda dengan Juan yang terlihat santai, Theresa mengernyitkan kening ketika rasa aneh itu melewati tenggorokannya. “Keliatannya kamu nggak menikmati pesta ini. Ada yang salah?” Baiklah, penggunan aku-kamu sepertinya adalah pilihan yang tepat saat ini. Itu tidak terkesan terlalu formal namun tetap sopan. Terkait pertanyaan Juan, tidak ada yang salah dalam pesta ini. Pestanya cukup megah dan semua orang menikmatinya dengan baik. Theresa juga akan begitu menikmatinya jika saja bukan karena pesan sialan yang Adit kirimkan tadi sore. Ia menjadi kepikiran dan merasa begitu terganggu dengan keadaan ini. “Siapa bilang nggak menikmati?” tanya Theresa. Ia mulai memesan minuman lagi. Juan terkekeh sambil menatap gelasnya. “Pesta ini aku adakan agar para pegawai terhibur. Kalau ada yang tidak menikmati pestanya, rasanya sia-sia saja digelar semewah ini.” Theresa menggigit bibir bawahnya ketika mendengar hal itu. Perusahaannya pasti sudah menggelontorkan dana yang cukup banyak untuk acara ini. Termasuk pemberian uang untuk tiket pesawat pulang pergi kepada setiap pegawai. Belum lagi pengeluaran lain-lain termasuk pestanya. “Pestanya sangat seru dan menyenangkan.” Theresa harus memastika CEOnya kemungkina merasa tertarik untuk mengadakan pesta seperti ini lagi. Misalnya satu tahun kemudian atau rutin setiap dua tahun sekali. Mungkin idelanya tiga tahun sekali. “Benarkah?” Juan menoleh ke arah Theresa dan menatapnya dengan penuh selidik. Seolah tengah menuntut Theresa agar berkata jujur. Theresa tersenyum kemudian menganggukkan kepala sabagai jawaban. “Jika benar menyenangkan, kenapa ada yang tidak hadir di pesta tadi sore.” Selain membulatkan matanya, Theresa mempererat genggamannya pada gelas sebagai bentuk keterkejutan atas ucapan Juan. Tadi sore ia tidak hadir dan merasa tersindir akan ucapan itu. Entah Juan memang bermaksud menyindir atau tidak, tapi ucapannya telah berhasil membuat Theresa diam membisu. Tidak memiliki ide untuk menjawab ucapan Juan, Theresa menenggak minumannya. Rasanya masih tetap sama seperti yang pertama namun kali ini memberikan sensasi menyenangkan baginya. “Sudah berapa lama bekerja disini?” tanya Juan kemudian. Ia baru-baru ini menjabat menjadi CEO jadi belum terlalu mengenal banyak pegawainya. Berkunjung ke kantor saja terhitung jarang. Jika pun ke kantor, ia hanya berinteraksi dengan beberapa orang saja. “Empat tahun.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN