Chapter 7

1011 Kata
Ada sedikit debaran aneh ketika tujuannya semakin terasa dekat. Pesan Adit hingga kini belum ia balas. Juga tidak ada pesan susulan yang dikirimkan oleh Adit. Hal itu justru membuat Theresa tambah berpikir. Memikirkan kemungkinan mengapa Adit tidak lagi mengirimkannya pesan. Rasanya sungguh penasaran kenapa Adit seolah tidak terganggu karena pesannya belum dibalas. Apa laki-laki itu hanya sekadar iseng saja? Ah, seharusnya Theresa tidak memikirkan dan menebak-nebak apapun terkait Adit. Itu sama saja dengan ia masih berharap. Rupanya istilah 'Hai setitik, rusak move on sebelanga' benar-benar terjadi. Ia sudah merasakannya. Betapa usahanya untuk melupakan Adit selama lima bulan ini, gagal berhamburan begitu saja hanya karena dua pesan. Regina telah pergi kemarin sore dan rasanya tidak ada yang bisa Theresa lakukan selain melaksanakan rencana awalnya. Ia sudah bertekad akan melupakan kejadian itu seumur hidup dan menganggapnya hanya ketidaksengajaan yang tak berdampak apapun. Sekarang ia semakin dekat dengan rumah tante Dewi, tepatnya kediaman Adit. Tiara mengirimnya pesan dan bilang sudah menunggu Theresa dengan tidak sabaran. Hal itu membuatnya tersenyum senang. Setidaknya sikap keluarga Adit masih ramah dan Theresa sungguh tenang akan hal itu. Mobil taksi yang ia tumpangi pertanda dirinya telah tiba di tempat tujuan. Setelah membayar dan menggumamkan terima kasih, Theresa turun dari mobil. Ia menatap gerbang di depannya dengan hati berdebar. Tadinya tante Dewi meminta Theresa untuk menginap namun ia berhasil menolaknya dengan halus. Theresa berdalih bahwa ada pekerjaan yang harus dilakukan malam harinya jadi tidak bisa menginap. Padahal sebenarnya Theresa sungguh merasa canggung dan tidak enak. Bukankah terkesan aneh jika kita menginap di rumah mantan, apalagi itu diminta oleh mantan calon mertua. Sebaik apapun hubungan yang masih terjalin pasca hubungannya dengan Adit berakhir, tetap saja Theresa merasa itu tidak pantas. Ia mengetikkan pesan kepada Tiara bahwa dirinya telah berada di depan gerbang. Ketimbang menghubungi tante Dewi, Tiara pasti akan lebih cepat merespon. Gadis itu pasti selalu memegang ponselnya. Khas anak muda jaman sekarang. Benar saja, sesuai dugaan. Pesan itu langsung tercentang biru. Beberapa menit kemudian gerbang terbuka dan nampaklah Tiara dengan senyum yang sumringah. “Kak Theresa! Omaigat cantik banget.” pekiknya. Theresa tersenyum. Tiara juga kelihatan lebih cantik dari terakhir yang Theresa ingat. Tiara menarik tangannya dengan antusias dan mengajaknya memasuki pekarangan rumah itu. Rumah Adit sebenarnya sederhana. Hanya saja penataannya sungguh membuat takjub. Ada taman cantik yang memanjakan mata ketika baru memasuki pekarangannya, juga kolam ikan. “Tante Dewi di dalem,” sahut Tiara. Theresa menganggukkan kepala sambil terus memandangi pekarangan rumah yang menakjubkan ini. Rasanya semakin indah saja semenjak terakhir kali dirinya berkunjung kemari.     ------   “Makan yang banyak ya, Theresa.” Theresa sungguh tidak enak ketika ia datang justru disambut dengan berbagai makanan yang lezat ini. Tante Dewi telah masak begitu banyak karena antusias menyambut kedatangan dirinya. Tentu akan semakin tidak enak jika Theresa menolak semua persiapan ini. Meski dirinya sudah sarapan dengan menu makanan hotel kemari, ia memaksakan dirinya untuk menikmati masakan tante Dewi. Rasanya sungguh enak. Untuk urusan masakan, ibu Adit ini nomor satu. Dulu tante Dewi begitu bersemangat masak bersama Theresa ketika masih menjalin hubungan dengan Adit. Siapa pun nanti yang menjadi istri Adit tentu beruntung mendapatkan mertua seperti tante Dewi. Ah, membayangkan hal itu membuat Theresa merasa hatinya sedikit tersentil. Theresa jadi penasaran apakah saat ini Adit sudah memiliki pasangan baru atau masih sama seperti dirinya. Sedang dalam tahap berproses melupakan. “Om Dika lagi dinas ke Manado jadinya lagi enggak ada di rumah.” Theresa menganggukkan kepalanya karena kebetulan ia sedang mengunyah. Sedikit merasa lega karena ayah Adit itu tidak ada disini. Ayah Adit sungguh baik hati dan bijak. Jika Theresa bertemu dengannya, om Dika selalu memberikan nasehat-nasehat yang penting dan menyentuh hati. Membuat Theresa jadi merasa bahwa om Dika percis seperti ayahnya. “Makanya Tiara sering diem disini kalo libur kuliah. Biar rumahnya rame.” Theresa merasa sedikit prihatin. Adit adalah anak bungsu dan semua kakaknya telah menikah. Putra pertama dan kedua tante Dewi menikah kemudian tinggal di luar kota. Putri satu-satunya menikah dan tinggal di luar negeri karena suaminya bekerja disana. Mereka akan mengunjungi tante Dewi beberapa tahun dua kali, kadang sekali. Atau jika kebetulan sedang senggang, menantunya akan tinggal di rumah ini selama beberapa minggu. Akan tetapi tetap saja itu tidak bisa berlangsung selamanya. Tante Dewi tentu tetap merasakan kesepian. Belum lagi jika om Dika harus pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan. Tante Dewi biasanya memilih tidak ikut karena tidak terlalu suka bepergian. “Pas banget, Kak. Nanti kita mau panen di kebun gemitir. Seru tuh, ikutan yuk!” ajak Tiara bersemangat. Mereka sudah tidak bertemu dalam waktu yang lama, juga jarang berkomunikasi. Akan tetapi hebatnya tidak ada kecanggungan sedikit pun. “Itu seru banget. Boleh ikut kan, Tante?” tanya Theresa. Keluarga Adit memiliki kebun gemitir di belakang rumahnya. Cukup luas. Kegiatan memelihara gemitir ini lah yang mengisi hari-hari tante Dewi sehingga beliau tetap sibuk.   -------   “Jadi dia masih disini?” Tanya Juan kepada asistennya seraya menatap foto yang berhasil diambil oleh mata-matanya ketika mengikuti Theresa. “Ya, Tuan. Sepertinya ia berkunjung ke rumah kerabatnya karena berdasarkan info dari mata-mata menyebutkan bahwa nona Theresa menyebut nama ‘tante Dewi’.” “Kapan dia kembali ke Jakarta?” tanya Juan kemudian. “Besok sore, Tuan.” Juan kini mengusap dagunya. Memperhatikan wajah cantik Theresa yang tengah tertawa. Foto itu diambil kemarin, ketika ia pergi ke pusat oleh-oleh bersama rekannya yang bernama Regina. Sejak kepergian Theresa dari kamar itu tanpa menunggu Juan atau mengucapkan sepatah kata pun. Juan mulai meminta asistennya untuk menyewa mata-mata guna mengawasi setiap gerak-gerik Theresa. Ia sungguh merasa tertarik dengan perempuan itu sehingga perlu mengetahui segalanya mengenai Theresa.Informasi yang ia dapatkan adalah Theresa tengah lajang dan tidak terikat hubungan dengan pria manapun. Itu sebuah kesempatan emas bagi Juan. Ia hanya perlu mengetahui apa yang membuat perempuan itu tertarik sehingga bisa merebut hatinya. “Apa tidak bisa mengawasi yang mereka lakukan di dalam rumah?” Andi, asistennya menggeleng lemah kemudian menggumamkan permintaan maaf. “Tidak bisa untuk hal itu, Tuan. Tapi mata-mata sedang mencari informasi mengenai pemilik rumah itu dari warga sekitar.” Juan menganggukkan kepalanya kemudian mengucapkan terima kasih atas usaha Andi dan tim mata-mata yang begitu memuaskan. “Sekarang kau boleh pergi.” “Baik, Tuan. Terima kasih..” Juan lanjut memandangi paras cantik Theresa dalam iPadnya. Ia tersenyum ketika menyadari bahwa tengah jatuh cinta. Tingkahnya ini bahkan terlalu berlebihan untuk ukuran pria berusia tiga puluh tahun. Rasanya posesif sekali. Bisa-bisanya Juan mengawasi Theresa hingga seperti ini.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN