4

778 Kata
Kupandangi suamiku bagaimana mimik bibirnya, desahan nafasnya dan bagaimana cara dia menelan ludah. Jelas sekali dari ekspresi wajahnya bahwa dia sangat ketakutan akan kehilangan kekasihnya. Juga juga dilema pada pernyataan yang baru saja kuucapkan yakni tentang bercerai atau masih ingin melanjutkan hubungan dengan kekasihnya. "Yunita ...." "Aku sudah cukup bersabar Mas, mengetahui bahwa Suamiku berselingkuh dan sebentar lagi akan merencanakan pernikahan, itu benar-benar memukul mentalku dan menghancurkan hatiku. Aku ingin marah menangis dengan emosi yang meledak-ledak tapi aku berusaha tenang, karena tidak ingin mengganggu mental anak-anak dan tidak ingin terlihat oleh mereka bahwa aku sedang rapuh, jadi tolong bekerja sama lah denganku." "Yunita ... begini..." "Akhirnya ... Aku tahu inisial Siapa yang ada di cincin yang selalu kau pakai itu. Cincin itu bukanlah barang temuan yang Kau dapatkan secara tidak sengaja tapi memang mungkin dibelikan oleh kekasihmu intan." "Astaga bukan begitu ...." "Berapa persentase kemungkinan bahwa seseorang mengalami kebutuhan yang luar biasa di dalam hidupnya? Kau kebetulan menemukan cincin dan semua urusanmu menjadi lancar lalu kau juga mendapatkan kekasih yang sesuai dengan inisial nama yang ada di cincin itu apakah itu benar-benar kebetulan? Kau yakin?" "Pertanyaanmu terlalu mengintimidasiku!" "Kenyataannya, kau memang sudah bersikap curang, menutupi kebusukanmu dengan sikap romantis yang kau lakukan setiap hari padaku. Bisa-bisanya kau berpura-pura bahagia sementara di sisi lain kau membohongiku dan b******a dengan wanita lain sungguh kau pria yang munafik Mas." Suamiku membungkam mendengar Aku mengatakan bahwa dia munafik. Memang benar, ketika seorang laki-laki bermain belakang maka mereka akan berusaha untuk menutupi semua kesalahannya dengan kebohongan-kebohongan dan sikap pura-pura manis. Mereka bersikap lebih mesra untuk menutupi dosa dan kecanduan hatinya karena telah bermesraan dengan wanita yang lain. Mereka berusaha terlihat bahagia untuk menutupi rasa happy yang sebenarnya setelah asik masyuk dengan wanita yang bukan mahramnya. "Kupikir aku bisa tenang menghadapimu. Tapi rupa-rupanya, aku jijik ya...." "Maafkan aku Yunita." "Sudahlah hari sudah semakin siang aku harus mengantarkan anak-anak ke sekolah," ujarku sambil beranjak ke kamar anak anak. "Tatapan dan kata-katamu menyakitiku. Bisa kita bicara baik baik?" "Aku dan anak-anak sudah terlambat lagi pula bukankah kau harus ke kantor kan? Jadi pergilah, urusan perselingkuhan dan kekasihmu kita bahas nanti," ujarku tertawa sinis. "Yunita Please..." "Cukup Mas, Jangan membuat suaraku meninggi melebihi kemampuanku. Aku ingin menjadi wanita sholehah yang memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya juga menjadi penyejuk di hati suaminya jadi tolong jangan merusak reputasiku di hadapan Tuhan!" "Aku sungguh menyesal." "Kalau menyesal... Maka tinggalkan saja kekasihmu mudah kan?" Aku yang tadinya merasa sedikit tenang mulai emosi dan merasa gerah dengan percakapan kami yang panjang. Aku ingin menghajarnya tapi aku Tentu saja tidak bisa melakukan itu pada lelaki sekaligus imam keluarga kami ddan anak orang lain. Aku tidak bisa mengulurkan tangan untuk melampiaskan kegemasanku. Aku hanya bisa ambil napas sambil istighfar dan menjauh. "Tapi bisa kan kita bicara nanti?" "Tergantung moodku ... jika aku bersedia maka kita akan bicara tapi jika aku sedang emosi, maka sebaiknya tidak usah." "Tapi ...." "Kau pikir mudah menerima kenyataan bahwa pasangan yang kau cintai berselingkuh dan membagi perasaannya kepada orang lain? bukan cuma perasaan tapi juga tubuh dan uangnya! Kau pikir mudah." "Iya baik." "Bersyukurlah padaku karena aku tidak menyiarkan perbuatanmu pada keluarga atau membicarakannya kepada orang tuaku. Berterima kasihlah karena aku tidak memposting foto wanita itu ke sosial media dan memberi caption bahwa dia adalah perebut suamiku yang berbangga diri atas sikapnya yang jalang." "Aku mohon jangan ....." "Kalau begitu, tahu dirilah kau!" Aku melempar remote TV ke arah meja makan ke tempat dia berdiri, lelaki itu terhenyak dan melompat karena kakinya hampir terkena remote yang kulempar. "Astaghfirullah, Yunita ...." "Astagfirullah juga atas sikap dan dosa-dosamu yang kau perbuat di belakangku." Ya, benar, sulit sekali untuk berdamai dengan perasaan ikhlas dan harus menerima kenyataan bahwa lelakiku bukan untuk diriku sendiri. Dia telah menghianatiku dan fakta bahwa dia telah berkencan dengan wanita itu benar-benar membuatku tidak terima. Aku merasa dipermalukan, diremehkan dan tidak dihargai oleh suami sendiri. Aku kecewa dan seakan-akan semua usahaku untuk menjadi ibu dan istri yang baik sia-sia. Aku kecewa padanya kecewa luar biasa.... Andai ada acara untuk mengobati luka hati cara pintas untuk melupakan semuanya maka aku akan mereset settingan pikiranku agar tidak perlu teringat dengan luka-luka yang itu, tapi sayang, pikiran manusia tidak seperti memori komputer yang bisa dihapus dan dihilangkan. Semua fakta dan kenangan buruk akan tetap terngiang dan butuh waktu untuk menyembuhkannya, sembari melupakan dan berpura-pura damai dengan kenyataan. "Lalu kenapa aku tidak melaporkannya ke polisi atas tuduhan perzinahan?" Aku membatin sambil terdiam, berdiri beberapa saat di depan pintu kamar anak-anak sambil menimbang perasaanku yang tidak karuan karena perdebatan yang barusan tadi. Kurasa apa yang terlintas di pikiranku saat ini mungkin suatu hari akan menjadi kenyataan jika aku sudah tidak tahan lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN