Yudhis berhadapan dengan Alea di ruangan kantor manajemen Alea. Alea adalah seorang artis yang sedang menanjak karirnya. Ia juga memiliki perusahaan manajemen artis.
"Aku datang untuk menanyakan jawabanmu, Alea" ujar Yudhis.
"Sudah aku jawabkan, aku belum ingin menikah sekarang. Aku masih terikat kontrak dengan beberap produk Mas"
"Apa dalam kontrak disebutkan kalau kamu tidak boleh menikah?"
"Tentu saja tidak, tapi penting bagiku untuk tidak menikah sekarang."
"Apa maksud ucapanmu?"
"Mas tahukan, aku tidak suka orang lebih menyoroti kehidupan pribadiku dari pada karyaku"
"Jadi apa tujuan hubungan kita?"
"Aku mencintaimu Mas, tapi saat ini karirku adalah prioritas utama"
"Aku sudah diultimatum orang tuaku, Alea. Menikah secepatnya, atau kita akhiri sampai di sini saja"
"Mas mengancamku!?"
"Tidak, aku hanya perlu jawaban tegas darimu. Bundaku sedang sakit, dia sangat berharap melihatku menikah. Aku tidak ingin membuatnya kecewa"
"Memangnya kalau kita putus apa Mas akan bisa langsung menikah? Apa semudah itu memindahkan rasa cinta Mas?"
"Kenapa tidak, jika orang yang kita cintai tidak mau perduli buat apa cinta itu masih di simpan"
"Mas setega itu?"
"Tega? Kita sudah menjalin hubungan 3 tahun, Alea. Aku juga sudah memberimu waktu berpikir selama satu tahun ini, apa itu masih kurang?"
"Keputusanku sudah bulat Mas, aku tidak ingin kita menikah sekarang"
"Jadi artinya kamu memilih untuk mengakhiri hubungan kita. Oke, mulai detik ini, diantara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi Alea. Selamat menikmati popularitasmu, selamat berkarya, semoga kesuksesan selalu menyertaimu. Semoga kamu mendapat jodoh yang lebih baik dariku, aamiin. Aku pergi, terimakasih untuk apa waktumu 3 tahun ini."
Yudhis berdiri dari duduknya. Alea juga ikut berdiri.
"Mas serius ingin mengakhiri hubungan kita?"
"Jika keputusanmu sudah mantap untuk menolak menikah, maka keputusankupun juga sudah mantap untuk mengakhiri semuanya. Selamat siang, Alea" Yudhis melangkah meninggalkan Alea. Alea menatap punggung Yudhis yang melangkah meninggalkannya.
3 tahun bukan waktu sebentar untuk sebuah hubungan. Hibungan yang terpaksa mereka sembunyikan, karena Alea tidak ingin media mengendus hubungan cintanya dengan Yudhis. Alea masih membutuhkan popularitas, ia belum siap kehilangan ketenarannya karena harus menikah. Bagi Alea, menikah bisa nanti, saat ia sudah merasa lelah dengan dunia gemerlap yang saat ini sudah memberinya banyak hal.
Sementara itu, Yudhis pergi dari ruangan Alea dengan wajah tegak, tidak ada penyesalan atas keputusan yang sudah diambilnya. Lebih baik berpisah daripada menjalin hubungan tanpa kejelasan akan dibawa kemana. Yudhis siap untuk menghadapi dan berkata jujur akan kandasnya hubungannya pada orang tuanya.
3 tahun, selama itu mereka tidak bebas seperti pasangan lainnya. Di saat pasangan lain bisa jalan-jalan, nonton, atau makan-makan dengan bebas, maka Alea harus menyamarkan penampilannya, agar tidak ada orang yang bisa mengenalinya. Itu cukup melelahkan bagi Yudhis. Yudhis berharap, dengan mereka menikah, mereka bisa lebih bebas nantinya. Tapi ternyata harapan hanyalah tinggal harapan saja, tidak akan ada pernikahannya dengan Alea.
****
Mitha sedang menjalani ujian akhir di SMU. Bertepatan dengan datangnya kabar duka dari Surabaya, Bik Cici, istri dari Pak Basuki, yang merupakan Paman Hanum, meninggal dunia. Begitu mendapat telpon dari putra Pak Basuki, Hanum langsung menangis dalam pelukan Pram.
"Istighfar Mi, sabar, tabah, kita berdoa agar dosa almarhumah Bik Cicih di ampuni, dan amal ibadahnya di terima Allah, aamiin" Pram mengusap punggung istrinya lembut.
"Besok pagi kita langsung terbang ke Surabaya ya, Pi"
"Iya, Sayang"
"Mitha bagaimana, Pi?"
"Mitha tidak usah ikut, diakan ujian"
"Siapa yang menemani dia belajar nanti, Pi?"
"Nanti Papi telpon Yudhis, minta Yudhis untuk bantu Mitha belajar. Anak itu kalau belajarnya tidak ditemani, nanti dia asik main hp"
"Iyess Pi, telpon Bang Yudhis sekarang, Pi"
"Sebentar, Mi"
Pram mengambil ponselnya, lalu menelpon Yudhis.
"Assalamuallaikum, Bang Yudhis"
"Walaikum salam, Pi. Ada apa?"
"Papi mau minta tolong sama Abang"
"Minta tolong apa, Pi?"
"Begini, kami baru dapat kabar duka dari Surabaya, Bik Cicih, bibiknya mami, meninggal dunia"
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Aku turut berduka cita, Pi. Semoga dosa almarhumah diampuni dan amal ibadahnya di terima Allah, aamiin"
"Aamiin, terimakasih, Bang"
"Jadi Papi mau minta bantuan apa, Pi?"
"Begini, besok pagi Papi dan Mami harus terbang ke Surabaya. Mitha tidak mungkin ikut karena sedang ujian. Papi dan mami ingin minta tolong kamu mengawasi belajarnya Mitha. Kamu tahu sendiri bagaimana dia kalau belajar, tidak serius, tidak fokus. Bisa tidak Bang Yudhis bantu papi?"
"Bisa, Pi. Atau kalau lebih enaknya, Mitha biar menginap di rumah kami saja, jadi kalau aku tidak ada, biar mommy yang mengawasi dia. Kalau Mitha sendirian di rumah takutnya pergi main sama temannya, Pi"
"Benar juga, ya sudah nanti Papi bicara sama mami dan Mitha dulu. Terimakasih ya Bang Yudhis"
"Sama-sama Pi, salam buat Mami"
"Iya, nanti Papi sampaikan, assalamuallaikum"
"Walaikum salam"
Sambungan terputus.
"Bagaimama, Pi?"
"Kata Bang Yudhis, apa tidak sebaiknya Mitha menginap di rumah Mas Yuda saja sementara kita tidak ada. Biar gampang mengawasinya"
"Mami setuju saja, Pi. Papi kasih tahu Mithanya dulu sana"
"Iya Mi, Papi ke kamar Mitha dulu ya"
"Iyes, Pi. Mami mau packing dulu"
Pram menuju kamar putri tunggal kesayangannya. Putrinya yang manja tapi polos, kepolosannya mengingatkan Pram pada Hanum saat awal dinikahinya. Bahkan, Mitha mewarisi sikap Hanum yang kadang membuat naik darah juga.
"Sayang" Pram mengetuk pintu kamar Mitha.
"Ya Pi" Mitha membuka pintu kamarnya.
"Sedang apa?" Pram melongok ke dalam kamar putrinya. Mitha membuka lebar pintu kamarnya.
"Belajar, Papi." Sahutnya dengan nada manja. Pram masuk ke dalam kamar putrinya.
"Benar belajar, tidak sedang nonton drama Korea?" Pram memperhatikan meja belajar Mitha, dan memang ada buku yang terbuka di sana.
"Teu, Papi. Mitha beneran belajar"
"Pinter, ada yang ingin Papi bicarakan sama Mitha" Pram duduk di kursi belajar putrinya, sementara Mitha duduk di tepi ranjang.
"Ada apa, Pi?"
"Mami baru dapat kabar duka"
"Kabar duka what, Papi?"
"Nek Cicih meninggal"
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Kapan meninggalnya, Pi?"
"Baru beberapa jam yang lalu. Jadi Papi dan mami akan pergi ke Surabaya besok pagi. Mitha tidak mungkin ikutkan, karena Mitha harus mengikuti ujian"
"Heum, tapi Mitha ingin ikut Papi" air mata Mitha sudah membasahi pipinya. Pram bangkit dari duduknya, lalu duduk di sebelah putrinya. Ditarik lembut putrinya untuk duduk di atas pangkuannya.
Mitha menumpahkan tangisnya di bahu Pram.
"Jangan menangis sayang. Papi dan Mami cuma 3 hari di sana, sementara Papi dan mami pergi, Mitha menginap di rumah Bang Yudhis ya, biar ada yang membantu Mitha belajar. Kalau nenek Denok kan tidak mungkin bisa membantu Mitha belajar. Mitha maukan menginap di rumah Bang Yudhis?"
"Tapi Papi sama Mami jangan lama-lama perginya"
"Iya, cuma 3 hari sayang"
"Janji iyess, Papi"
"Iyess, sayang"
Pram mengecup kepala putrinya penuh cinta.
BERSAMBUNG