CSD 3. Pulanglah, Wahai Pengelana°

1336 Kata
Rajputana mengetahui kabar kehamilan Chandni ketika Imdad membagikan manisan pada para prajurit. Rajputana termenung menatap ladoo di tangannya. Imdad bisa mengetahui makna ekspresi itu antara gembira dan keheranan. Rajputana pasti akan bertanya-tanya bagaimana keadaan Chandni dengan kehamilan keduanya. Imdad tidak ingin membahas hal itu sehingga ia menyibukkan diri dengan urusan kerajaan dan Rajputana jadi urung menanyakan keadaan Chandni. Perhatian dan rasa rindu pada Chandni mendorong Rajputana berkunjung ke rumah Imdad. Ia datang di pagi hari dan bersemangat melihat Chandni ada di halaman. Wanita itu tersenyum semringah saat menaikkan Thoriq dan Manse ke kabin kereta kuda. Da.da Rajputana terasa hangat bisa melihat senyum itu lagi. Imdad muncul dengan menunggang kuda putihnya dan mendekati kereta. Mereka akan pergi ke luar bersama-sama. Rajputana datang sendirian. Ia berpakaian seperti petugas istana biasa. Imdad, Chandni, serta para pelayan dan kusir memberi hormat menyambutnya. Rajputana sedang kesengsem karena seperti setiap kali melihatnya, mata Chandni berbinar-binar. Imdad menjalankan kudanya mendekati Rajputana. "Ada apa kemari, Raj?" tanyanya. Jika ia mengatakan bahwa ia datang untuk melihat Chandni, hal itu akan sangat memalukan. Untungnya, Manse dan Toru melongok ke luar kabin dan berteriak memanggilnya. "Paman Raj! Paman Raj!" Rajputana semringah. "Menemui anak-anak itu," katanya riang. "Aku rindu bermain bersama mereka." Ia meluncur dari punggung kuda dan mendatangi anak-anak yang berlarian keluar dari kereta. Rajputana menggendong kedua anak itu. "Raj- chacha! Raj- chacha! Paman Raj, tunjukkan permainan serulingmu, Paman!" sorak Toru dan Manse. "Aah, sayang sekali aku tidak membawa serulingku. Bagaimana jika kalian main ke istanaku? Akan kumainkan lagu khusus untuk kalian." "Mau! Mau!" "Tetapi kalian harus jawab pertanyaanku dulu. Siapa paman yang paling hebat di dunia ini?" "Raj- chacha!" jawab kedua anak itu dan mereka memeluk Rajputana, dibalas dengan kecupan gemas oleh Rajputana. Sentuhan raja itu mengalirkan cakra ke tubuh anak-anak tersebut. Chandni bisa melihatnya dan itu membuatnya tersenyum. Toru dan Manse merengek kesal karena Rajputana menurunkan mereka. "Kita main ke istananya nanti dulu ya. Paman ingin bicara dengan Baba kalian dulu," ujar Rajputana. Panggilan Baba bagi Mansoor Ali membuat Imdad merajuk. Rajputana benar-benar sedang mengejeknya. "Ayo, Toru, Manse, masuk." Chandni menuntun anak-anak itu kembali ke dalam kereta. Rajputana berjalan mengiringi Imdad. "Kalian mau bepergian?" tanyanya. "Hanya ke Sanggar Mohabbatein," jawab pria itu. "Chandni hendak melatih anak-anak di sana. Itu membantunya mendapat suplai cakra. Aku akan mengantar mereka ke sana, kemudian berpatroli keliling kota." "Ooh ...," seloroh Rajputana. Sekarang ia tersadar bahwa ia tidak dibutuhkan lagi. Rajputana berusaha tegar. "Kalau begitu aku akan mengiringi," katanya lalu menaiki kuda hitamnya. Chandni dan anak-anak berada di kereta, sementara Imdad dan Rajputana mengiringi di atas kuda mereka sambil berbincang-bincang. Tiba di sanggar, Chandni berpamitan dengan Imdad. "Terima kasih sudah mengantarkan, suamiku." Imdad mengangguk kecil. "Pastikan kalian kembali ke rumah setelah tengah hari supaya ibuku di rumah tidak cemas," ujarnya. "Iya, baiklah, suamiku." Imdad dan Rajputana lalu memacu kuda mereka. Bersama petugas lainnya, mereka berpatroli, mendatangi pos-pos jaga di penjuru Kota Rajpur. Chandni mengajak anak masuk ke balairung sanggar. Ibu Kepala, Sarasvati, dan Akash menyambut mereka dengan riang gembira. Balairung dipenuhi penyanyi dan penari muda, sangat sedikit wajah lama, tetapi semua antusias melihat kehadirannya. "Kau datang di saat yang tepat, Chandni," kata bibinya. "Lagu pujian kali ini kau saja yang membawakan agar anak-anak belajar banyak darimu." "Saya? Ah, Bibi terlalu berlebihan. Bukankah Chandni juga belajar dari Bibi?" sahut Chandni merendah. "Aku sudah tua, Chandni, suaraku tidak seprima dahulu. Di samping itu, bagaimana kalau setelah ini Tuan Imdad mengizinkanmu jadi pelatih di sini. Tempat ini butuh guru muda yang berpengalaman." Chandni tertawa saja menanggapi bibinya. Toru dan Manse kemudian diasuh oleh Sarasvati. Mereka duduk menonton Chandni yang mulai menari sambil menembang di di tengah balairung. Musik gemuruh mengiringinya. Sementara itu, di depan sanggar lewat pasukan pengawal dan kereta kuda milik Sohail. Pemuda bertelinga palsu sebelah itu meringis saat mendengar gema nyanyian pemujaan yang berkumandang dari sanggar. Ia mengenali suara gadis penari bertopeng yang sekarang adalah istri Imdad. Ia jadi teringat penyebab kehilangan telinga, ia kehilangan emas, dan adiknya menjadi wanita nelangsa dan diabaikan Rajputana. Wanita itu penyebab kesialan dalam hidupnya. Sohail sangat kesal sehingga ia meneriaki kusirnya. "Woi, tambah kecepatan kereta ini! Aku tidak mau suara itu terdengar." Cambuk melecut sehingga kuda-kuda berlari lebih kencang. Sohail mengempas duduk ke kursi dan menggerutu sendiri. "Dasar jalang! Perempuan licik !" Pasukan Sohail itu pergi ke hutan sebelah utara Rajpur. Mereka ingin menangkap gerombolan perampok Sundhar Bhediyon. Penyidiknya menyatakan bahwa pada hari kehilangan emas itu, kelompok pimpinan Soumya Kapoor muncul di kota, bahkan berperan dalam pertunjukan gadis penari bertopeng. Sohail yakin para perampok itu adalah pelaku pencurian misterius. Tiba di pinggiran hutan, Sohail turun dari kereta. Ia dan prajuritnya mempersiapkan persenjataan. Sohail memegang sebilah pedang, dengan percaya diri mengomando pasukannya memasuki hutan. Namun seruan keras menghentikannya. "Tarik pasukanmu dan pergi dari sini sekarang juga!" bentak Rajputana. Rajputana dan Imdad sudah lama mengawasi tindak tanduk Sohail. Sohail mendecih, berhadapan dengan mereka. Jumlah pasukan mereka sebanding dengan pengikutnya, sekitar 15 orang. "Kenapa kau menghentikanku, adik Ipar? Aku ingin menangkap penjahat, bukannya membuat onar," kilah Sohail. "Untuk menangkap penjahat kau pun butuh bukti kuat dan tidak boleh asal tuduh, Sohail - bhai." "Sudah jelas-jelas mereka orang buangan. Mereka tidak punya status apa-apa. Buat apa membiarkan mereka hidup bebas? Lebih baik dijadikan pekerja tambang biar lebih berguna." "Sohail- bhai, mereka punya wilayah sendiri dan mereka tidak mengganggu Rajpur, jadi biarkan saja. Tidak perlu mengusik mereka." Tatapan Sohail mencemooh Rajputana. "Kau membela mereka atau kau sebenarnya melindungi gadis penari bertopengmu? Chandni tampil menari bersama mereka. Bisa jadi Chandni digilir gerombolan itu sehingga mereka mau bekerja sama dengannya. Dia sudah menggilir kalian berdua, tentu tidak masalah meladeni puluhan orang lagi." Ucapan itu sontak membuat Rajputana dan Imdad meradang. Imdad bergegas turun dari kuda, menarik keluar pedangnya, dan menyabet Sohail berkali-kali. Sohail terbata-bata melangkah mundur, tangannya gemetaran karena getaran pedang menangkis tumpasan Imdad. "Heh, apa kau bilang tadi? Kau mau lidahmu yang kupotong, Sohail?" cecar Imdad. "Mau kupotong seperti telingamu itu dan kuumpankan ke anjing?" Sohail sampai berlutut, tapi Imdad tetap mengayunkan pedangnya. Sohail hanya bisa menahan hingga tangan dan pundaknya pegal. Suara pedang berbenturan bertubi-tubi bagai menempa besi. "Kau mau mati sekarang juga? Ayo, coba bicara lagi soal istriku? Biar tidak kepalang tanggung kubuat kau mampus!" bentak Imdad. Sohail adalah gabungan ketololan dan keserakahan. Ia malah membalas ucapan Imdad. "Memang begitu 'kan kenyataannya? Apa yang kau coba pungkiri? Dia tidur dengan Rajputana lalu tidur denganmu. Anakmu itu belum tentu anakmu. Bisa saja hasil dari perbuatannya dengan laki-laki lain. Entah pria mana saja yang sudah ditidurinya jadi bisa hidup leluasa." "Bang.sat!" Imdad menumpaskan pedangnya sekuat tenaga hingga pedang Sohail patah lalu pria itu terjungkal, berguling ke bebatuan. Ia mengerang kesakitan. Prajurit Sohail ingin membantu, tetapi mereka tidak berani bergerak karena anak buah Imdad sudah menahan mereka tetap di tempat. Rajputana menonton penuh semangat. Jikalau Imdad membasmi Sohail saat itu juga, ia tidak akan menghentikannya karena ia akan melakukan hal yang sama. Sohail merangkak berusaha bangkit. Ia tahu oa tidak bisa melawan serangan Imdad, akan tetapi tidak menghentikannya mengeluarkan hinaan. "Tidak kusangka Imdad Hussain, Panglima perang yang gagah berani, tidak berkutik istrinya main serong. Istrimu perempuan rendahan, pela.cur!" Buaakkk! Imdad hantam wajah Sohail dengan lutut. Darah muncrat dari mulut dan hidung pria itu. Sohail kembali berlutut dan tubuh sempoyongan serta matanya terbalik. Mulut sedikit terbuka dan lidah terjulur, bengkak bekas terhantam gigi. "Dasar bergajul!" Imdad mengangkat pedangnya siap menebas kepala Sohail. Namun tangannya terdiam di udara. Imdad ingat Chandni sedang hamil muda, sebagai suami ia harus berbuat kebaikan sebanyak mungkin. Imdad urung membunuh baji.ngan itu. Ia menurunkan pedangnya lalu mundur menjauhi Sohail. "Kau sangat hina, Sohail. Darahmu hanya akan menodai pedangku," gumamnya sambil menyimpan pedangnya. Seharusnya, insiden tersebut berakhir sampai di situ. Namun, Sohail merupakan manusia paling hina di muka bumi. Ia cecar Imdad. "Lalu kau angap dirimu manusia paling agung?" geram Sohail. Ia memungut patahan pedangnya dan berlari menyeruduk ke arah Imdad. Imdad memutar tubuh menghadap Sohail dan tanpa bisa dielak, gagang pedang sudah menancap tepat di tengah dadanya. Mata Imdad terbuka lebar, wajah membeku tersapu embusan napas keras Sohail. "Mati kau, Hussain!" desis pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN