"Jadi pacar gue." Itu penyataan bukan pertanyaan, aku sama sekali tidak berpikir panjang, perkataan itu begitu saja meluncur dari mulutku membuat gadis yang berada dihadapaku langsung terdiam, tubuhnya seakan menegang, sama sepertiku yang saat ini merutuki perbuatan diriku sendiri dalam hati.
"Aku gak mau, lagian aku gak tahu kamu siapa." Ucapnya dengan penuh ketegasan setelah ia terdiam cukup lama.
"Ares." balasku.
"Tapi aku tetap gak mau, kita baru ketemu sekali dan aku gak mau pacaran. Aku janji bakalan ganti uang yang kamu keluarkan tadi, tapi tunggu aku gajian dulu." ucapnya.
"Udahlah, aku mau kerja lagi. Tiga hari lagi aku gajian dan kamu bisa kesini buat ambil uangnya, soalnya aku gak tahu rumah kamu dimana. Dah..” Gadis itu berlalu, masuk kembali kedalam cafe meninggalkanku yang masih berdiri di depan cafe ini.
Aku mengangkat bahu acuh kemudian kembali kedalam mobil, tapi kenapa aku merasa kesal atas penolakan dia tadi?
***
Namanya Kianara. Sangat mudah bagiku untuk mencari tahu tentang dia, gadis yang dengan mudahnya mengiyakan saat aku mengatakan bahwa aku merasa risih dengan panggilan "tuan" nya itu sampai akhirnya dia memakai bahasa biasa dengan "aku kamu" nya. Gadis penurut.
Malam itu Ares bilang kalau nama gadis di cafe milik Kemal adalah Kia. Besoknya akupun langsung menyuruh Billy untuk mencari informasi tentang gadis itu dan aku selalu suka cara kerja asistenku, cepat dan tepat.
Kia, ternyata umurnya begitu jauh dibawahku. Bahkan dia masih 19 tahun dan hidup sendirian. Semenjak kecil sampai SMA, dia tinggal di sebuah panti asuhan sampai akhirnya dia lulus sekolah dan mulai mencari kerja lalu ia tinggal di luar panti, disebuah kosan kecil yang tak jauh dari kampusnya. Lagi-lagi aku terkejut dengan fakta yang ada, dia bukanlah gadis biasa, dia begitu mandiri bahkan ia bisa berkuliah sambil bekerja di sebuah cafe dan sebelum ia kerja di cafe itu seperti sekarang, dia sempat menjadi tukang koran, kasir mini market dan kerja di butik. Dia luar biasa, apapun dia kerjakan.
"Menarik." gumamku.
Aku kembali memikirkan apa yang dikatakan Ares, membuka hati? Apa iya, aku bisa?
______
"Hai.." sapaku pada Kia yang berada di balik meja kasir bersama dengan temannya.
"Kamu.." dia tampak terkejut karena kedatanganku.
"Iya, saya. Latte dan jus strawberry, tolong antarkan ke kursi sana." Pesanku sambil menunjuk kursi yang beberapa hari lalu aku duduki bersama Kemal.
"Dan saya mau kamu yang anter." Lanjutku sebelum akhirnya duduk di kursi itu.
Sekarang aku sudah kembali duduk di kursi yang sama, entah kenapa aku bisa kesini lagi dan sendirian. Setelah pertemuan beberapa waktu itu, aku semakin sering memikirkan gadis itu, Kia. Gadis cantik yang ternyata dengan mudahnya bisa menarik perhatianku, garis bawahi hanya Ares. Karena si manusia es belum menunjukkan ketertarikan nya atau mungkin memang tidak tertarik. Entahlah..
Tak berselang lama, Kia datang dengan pesanan yang tadi aku katakan. Aku tersenyum melihat dia yang semakin mendekat. Dia menaruh pesananku di meja dan sebelum dia pergi, aku sudah menarik tangannya dengan pelan, membuat dia menoleh ke arahku.
"Duduk." Ucapku dengan penuh penegasan.
"Hah?" ia terkejut.
"Saya gak suka minum sendiri, dan jus itu buat kamu." Lanjutku. Dia tampak bingung membuatku berdecak sebal, kemudian beranjak dari kursi dan mendorong dia untuk duduk di kursi kosong di hadapanku.
"Ini jam kerja aku, gak enak sama yang lain."
"Siapa yang peduli dan ini cafe milik sahabat saya artinya saya bisa melakukan apapun juga disini. Termasuk menyuruh kamu untuk tetap duduk disini."
"Mau apa? Kalau kamu mau nagih uang itu, maaf kemarin uang gaji ku habis karena harus bayar kuliah." cerocosnya.
"Kamu ngomongin uang terus, emang uang apa?" tanyaku.
"Ck.. Pelupa, kamu kan udah bayarin pakaian wanita yang gak sengaja aku tumpahin minumannya." Aku mengangguk, mungkin itu Arvin. Siapa lagi kan?
"Udah lah, lupain aja. Lagian saya ikhlas, kamu gak perlu ganti."
"Tapi aku gak mau punya hutang."
"Oke, kalau gitu kamu bisa ganti dengan cara lain, makan malam misalnya." Ucapku terkekeh.
Dia seperti sedang berpikir, kemudian tak lama dia mengangguk setuju membuatku tersenyum lebar. Padahal tadi aku hanya berkata asal, tapi ternyata dia menanggapinya dengan serius. Jadi apa salahnya?
______
Malam ini aku tersenyum menatap kearah cermin, melihat penampilanku yang saat ini memakai kemeja berwarna hitam. Setelah tadi siang aku bertemu dengan Kia, akhirnya aku mengajak dia makan malam, hari ini juga karena kalau ada kesempatan sekarang, ya jangan disia-siakan. Aku juga sudah meminta ijin pada papa, malam ini aku akan makan malam diluar.
Aku kembali melihat cermin dan samar-samar melihat Arvin menyeringai di depanku atau aku salah lihat? Dan semuanya gelap.
_______
Aku sudah berada di depan cafe, tapi masih berdiam diri didalam mobil. Tak lama, seseorang keluar dari cafe dan akupun segera menghampirinya.
"Ares..!" dia terkejut dengan keberadaanku yang tiba-tiba.
"Pulang?" tanyaku dibalas dengan anggukan olehnya.
"Gue anter." Ucapku kemudian segera masuk kedalam mobil meninggalkan dia yang masih terdiam.
Dia masih berdiri di tempat semula, sampai aku menurunkan kaca mobil, "Masih mau berdiri, masuk." ucapku.
"Ck.. Gak ada romantis nya jadi cowok." gerutunya membuatku diam-diam tersenyum melihat wajahnya yang sudah ditekuk.
Mobilpun mulai menjauhi cafe, tak ada obrolan diantara kami. Akupun tak biasa untuk memulai obrolan dan keheningan akhirnya menyelimuti kami. Tak berselang lama, mobilku sampai di tempat makan, warung sate langgananku. Kia terlihat bingung menatap keluar jendela.
"Makan." ucapku sambil keluar dari mobil.
Aku sudah berjalan mendekati gerobak sate, begitu juga dengan Kia yang berjalan mengikutiku dari belakang.
"Malam nak Ares." sapa abah, penjual sate ini. Aku cukup sering kesini, jadi jangan salah kalau gue terlihat akrab dengan penjual nya.
"Kaya biasa ya bah, tapi dua porsi."
"Bawa cewek ni, pacar kamu?" tanya abah tersenyum melihat Kia yang sudah berdiri di sebelahku.
"Bukan." jawabku dan Kia bersamaan.
______
"Suka?" tanyaku pada Kia saat dia mulai menyantap satenya.
"Hmm.. Enak, bumbunya beda sama pedagang lain." balasnya tanpa menatapku.
Lagi-lagi aku tersenyum kecil, gadis di depanku memang sangat unik. Dia berbeda meski matanya sama seperti Aruna.
Ah.. Gue selalu berakhir memikirkan Aruna. Batinku.
"Ko cuma diliatin? Gak makan?" tanya Kia membuatku mengalihkan pandangan pada objek lain.
Hampir saja, gue ketahuan sedang memperhatikan dia.
"Iya, makan." balasku kemudian mulai makan.
______
"Licik..!! Lo bisa-bisa nya nikung gue." protesku pada bayangan di depan cermin.
Arvin tertawa mengejek, sialan.
"Siapa cepat, dia dapat." ucap Arvin.
"Tapi gue yang duluan ajak dia, kenapa jadi lo yang pergi bareng." geramku.
"Yaudah besok kan bisa." balasnya santai.
"Kalau lo nikung lagi, gue bunuh lo."
"Lo mau bunuh diri." Arvin terkekeh.
"Ah.. Sialan.!" teriakku berjalan ke arah tempat tidur.
Makan malamku rusak karena manusia es itu. Kenapa harus dia?