MAYAT MAYAT ITU HARUS DIKELUARKAN

1369 Kata
Survivor[2] itu berjumlah 39 orang. Ada 16 wanita dan 23 pria. Sekitar 15 orang relatif luka ringan, 11 luka parah, dan 13 orang dalam kondisi diam tak bergerak. Entah pingsan atau tewas. Jika kuota bangku penuh, total jumlah penumpang 136 orang, ditambah 7 awak pesawat. Artinya masih ada 104 penumpang lagi yang belum jelas keberadaannya. Mereka bergerombol di antara pepohonan. Berusaha berlindung dari terpaan hujan. Berpelukan atau memeluk yang lain. Serbuan nyamuk dan agas ikut meramaikan penderitaan. Mereka basah menggigil kedinginan. Namun masih tampak juga sosok-sosok yang menggeliat di antara tubuh-tubuh yang tergeletak diam. Berserak di antara akar-akar pohon dan tanah becek. Beberapa orang tampak sibuk mengacung-acungkan telepon seluler. Bahkan ada yang berusaha memanjat pohon. Berharap mendapatkan sinyal. Namun sepertinya kawasan itu jauh dari jangkauan. Tak ada satu sinyal provider yang tertangkap. Beberapa orang di antaranya mulai kesal hingga membanting teleponnya hingga hancur berantakan. Di sisi lain, tiga orang mencoba mendekati pesawat. Nyatanya tak semua bagian yang terbakar. Hanya bagian tengah badan pesawat yang terbakar parah. Bagai daging gosong tercabik. Membusai sisa-sisa kabel dan plastik lumer terbakar. Tampaknya hujan lebat tadi berhasil memadamkan api. Hanya gumpalan asap masih menyelimuti badan pesawat. Mengepul ke luar lewat celah patahan, pintu darurat dan jendela yang pecah. Logam-logam itu masih menebarkan hawa panas. Berdesis saat diterpa rintik hujan. Tak ada lagi suara erangan atau desah napas sekalipun. Ketiga orang itu memutari bangkai pesawat. Belum berani memasuki kabin. Dengan hati-hati mendekati retakan fuselage. Mencoba mengintip bagian dalam kabin. Dari celah retakan bagian ekor. Tampak kabin masih remang berasap. Tercium aroma asap, cat, plastik, karet, dan kain yang gosong. Juga aroma daging terbakar. Membaur jadi satu. Tak hanya memerihkan mata, tapi memualkan. Mereka bertiga ragu, lalu mundur beberapa langkah. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya laki-laki berperawakan tinggi besar bernama Doni. Kapten Romo masih diam mematung. “Pak! Sekarang bagaimana?!” tegur laki-laki bernama Endi. Kapten Romo tersentak kaget. “Mungkin mengeluarkan isi kabin!” jawabnya terbata. “Semua? Termasuk mayat-mayat itu?” ulang Endi. Kapten Romo mengangguk. “Kita butuh tempat berlindung.” jelas Kapten Romo. Doni menatapnya. “Tapi kabin masih panas. Banyak asap dan bau menyesakkan!” sela Doni mengingatkan. “Biar hujan yang mendinginkan. Kita harus membuka pintu belakang, atau memperbesar celah patahan ekor!” usul Kapten Romo. “Berarti—menggeser ekor pesawat? Apa kita sanggup?” tanya Doni ragu. “Patut kita coba. Sebab bagian ekor yang tak tersulut api. Kita minta bantuan yang lain!” jawab Kapten Romo serius. Sebelum berlalu, Doni dan Endi mengintip lagi ke dalam. Tapi tak terlihat apa pun. Tampak buram serta asap yang memerihkan mata. Keduanya berlalu mengikuti langkah Kapten Romo. Mereka menuju kerumunan survivor. Meminta bantuan untuk menggeser ekor pesawat. Agar celah patahan itu melebar. Supaya bisa membantu mempercepat proses sirkulasi udara dalam kabin. Namun orang-orang itu menyambut kedatangan mereka dengan wajah kuyu dan bisu. Bahkan mengacuhkan. Mereka masih meratapi kerabat yang telah terbujur kaku. “Kita butuh tempat berteduh. Bagian ekor pesawat bisa kita gunakan. Tapi isinya harus kita keluarkan.” Kapten Romo mulai bicara. Suaranya pelan. Ia tak mau terkesan memerintah. Belum ada yang menyahut. Bahkan untuk memandang ke arahnya pun tidak. Mungkin mereka masih terlalu sedih dan shock dengan kejadian itu. Kapten Romo diam menunggu. Hening. Sampai seseorang pria mendadak berdiri. Menyeruak dari kumpulan. Tergesa menghampiri Kapten Romo. Wajahnya tampak tak bersahabat. “Kau pikir kau siapa?! Dari tadi berteriak memerintah! Kau pilotnya! Kau yang harus membersihkan pesawat celaka ini untuk kami!” Hardiknya keras. Sambil meneriakkan kata-kata itu ia menarik kerah baju Kapten Romo. Sang Kapten terkesiap kaget. Mendadak laki-laki bernama Endi maju ke muka. “Tahan sebentar!” Endi berusaha melepaskan cengkeraman pria kalap. Namun pria kalap itu malah membentak. “Kau tak usah membelanya! Dia penyebabnya! Dia yang harus bertanggung jawab!” pekik laki-laki itu gusar. Matanya tampak liar. Bahkan siap melayangkan tinju ke wajah Kapten Romo. Doni menghambur menghadang. Dengan sigap ia menangkap tinju orang kalap yang siap melayang. “Dasar bodoh!” Plak! Plak! Sambil memaki, Doni menampar pria kalap itu. Lalu mendorongnya hingga jatuh terjengkang. “Kau buta?! Kau tak melihat keadaan kepala pesawat? Apa ada orang yang selamat dari kondisi seperti itu!?” bentak Doni sambil menunjuk kepala pesawat. Semua mata beralih ke kepala pesawat yang melesak ke tanah. “Buktikan sendiri! Potongan badan pilotnya masih di kokpit. Dasar pecundang! Dari tadi bisanya cuma merengek!” tambah Doni berapi-api. Napasnya tampak turun naik. Mereka terkesiap mendengar kata-kata Doni. Semua baru sadar, bahwa orang yang mengaku pilot itu nyatanya bukan awak pesawat. Dia penumpang biasa yang berkemeja putih dan celana hitam. Sekilas memang mirip seragam pilot, tapi bukan! Kemeja putih penuh bercak darah itu juga tak ada lambang-lambang kedirgantaraan laiknya seorang pilot. Pria kalap mendadak pucat. Matanya tak lagi bak harimau lapar. Tapi redup digenangi air mata. Ia menangis dalam keadaan duduk terjerembab. “Maaf, saya terpaksa berbohong,” ucap Romo terus terang. Ia tertunduk. Semua terpaku menatapnya. Masih bingung. Harus memaklumi atau menyalahkannya. Romo mengaku sebagai pilot tak lain agar suaranya didengar saat kepanikan melanda orang-orang. Seseorang mendekat dan menyentuh bahu Romo. “Tak perlu minta maaf, Pak. Berkat Bapak banyak yang selamat,” ucap laki-laki paruh baya bernama Prayit. Romo masih bungkam. Masih merasa serba salah. “Apa yang ingin Bapak sampaikan?” tambah Prayit lagi. “Kita butuh tempat berteduh. Isi kabin harus dikeluarkan. Tapi udara kabin masih panas dan berasap. Jadi retakan itu harus kita perbesar. Biar udara bertukar, dan asapnya ke luar,” terang Romo mengusulkan. “Bagaimana caranya?” tanya sesorang survivor. “Dengan memecah kaca jendela. Membuka pintu-pintu yang tertutup. Atau, jika mampu menggeser ekor pesawat,” kata Romo menerangkan. Mereka kembali bungkam. Mungkin mereka tergolong manusia-manusia praktis yang sebagian besar hidupnya dalam lingkaran bisnis. Berkecimpung dalam tugas-tugas kantoran atau rumahan. Bergaul dengan angka-angka dan huruf, juga teori-teori praktis. Mereka tak bisa dengan cepat memahami situasi yang mencekam. Akibatnya, mereka hanya mematung. Tak bersuara menolak atau mengiyakan. Suasana makin beku. Romo tampak putus asa. Dalam diam ia berbalik. Melangkah gontai menuju ekor pesawat. Berharap ada yang tergerak, jika melihatnya menarik-narik ekor pesawat itu sendirian. Melihat itu Doni mendengus. "Apa yang kalian pikirkan? Hanya duduk-duduk di sini? Meratapi nasib dalam guyuran hujan dan kedinginan? Kami butuh bantuan. Sebentar lagi malam. Pikirkan itu!” seru Doni lantang ke arah para survivor yang lain. Tak lama Doni berbalik menyusul Romo. Lalu Endi dan Prayit. Satu persatu, lebih dari sepuluh orang pria dan beberapa wanita mengikuti mereka. Bahu-membahu mereka menarik ekor pesawat. Ada juga yang berusaha memecah kaca-kaca jendela dengan batu dan kayu. Berharap asap yang terjebak di kabin bisa ke luar, dan udara segar bisa masuk. Tiga pria mencoba mencongkel retakan kabin tengah dengan patahan batang pohon. Menarik lalu mengganjalnya. Retakan itu kian menganga. Bagai gua bermulut vertikal. Pintu di bagian ekor pun telah dibuka. Seseorang menarik tuas escape slide. Beberapa orang terkejut saat tangga darurat itu menyeruak dan mengembang. Andai saja tangga darurat itu dibuka saat proses evakuasi berlangsung, mungkin akan lebih banyak orang yang bisa diselamatkan. Asap yang terjebak di kabin mulai terusir oleh embusan angin. Beberapa orang batuk dan nyaris muntah. Mencium aroma plastik dan daging terbakar. Untuk pertama kalinya pemandangan kabin ditembus cahaya. Tampak tubuh para penumpang yang terjebak. Berserak tumpang-tindih. Terjepit di antara kursi-kursi, barang-barang dan rongsokan material kabin. Semuanya tewas. Entah akibat benturan, luka, terbakar atau tercekik asap. Belum ada seorang pun yang berani masuk. Masih menunggu udara di kabin benar-benar berganti, dan logam-logam di badan pesawat lebih dingin. Sebelas pria bahu membahu mengeluarkan mayat, sisa-sisa kursi dan barang-barang dari dalam kabin. Dikeluarkan lewat celah retakan, pintu darurat, juga escape slide. Ada yang sengaja melepas kursi-kursi dari dudukannya. Lalu melemparnya ke luar. Agar ruang kabin menjadi lapang. Proses itu juga terlihat sangat lambat. Karena mendadak di antara mereka malah menjerit dan menangis. Saat berhasil menemukan mayat kerabat atau sosok yang mereka kenal. Mayat-mayat pria, wanita, remaja dan anak-anak itu disusun berjejer tak jauh dari bangkai pesawat. Puluhan mayat dalam kondisi beragam. Utuh, kehilangan bagian tubuh, bahkan nyaris tak berbentuk. Jadi seonggok daging gosong. Footnote: [1]Escape Slide: Tangga (darurat) seluncuran yang ada di tiap pintu pesawat, namun ada juga yang hanya ada di empat pintu utama. [2]Survivor: Orang yang masih hidup dan berjuang mempertahankan hidupnya setelah terkena musibah, bencana alam atau kecelakaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN