"MAMA HAUS, SAM!"

1081 Kata
Suara batuk memecah keheningan. Lemah namun terus berulang. Bias cahaya menelusup di celah jendela-jendela yang pecah, serta retakan dinding kabin. Cahaya temaram menerangi ruang kabin. “Sam—.” Sosok di samping itu tersentak. Beringsut mendekat. “Iya, Ma?” “Kau dimana?” tanya wanita yang tergolek lemah. “Di samping Mama.” Pria itu meraih tangan orang yang memanggilnya. Menegaskan jika ia ada di dekatnya. Kedua mata wanita itu ditutup balutan kain. Hingga mengelilingi batok kepala. Tubuhnya tergolek kaku di lantai kabin. Tak mampu menoleh atau bergerak. Lehernya diganjal busa kursi pesawat. Wanita malang itu bernama Anna, ibunya Sam. Ia mengalami kebutaan permanen, cedera leher dan tulang punggung. “Sekarang sudah malam?” tanya Anna pelan. “Benar, Ma.” Terdengar tarikan napas berat. “Mama pipis, Sam. Pinggang hingga kaki terasa dingin.” Sam memeriksa di sekitar pinggul mamanya. Benar saja, semuanya basah dan berbau pesing menyengat. Sam mengambil busa bekas kursi. Mengelap cairan itu perlahan. Menekan-nekannya biar cepat menyerap. Kemudian berjalan ke luar kabin dan memerasnya. Tak lama ia kembali. Mengelap lagi, lalu memeras lagi. Dilakukannya berulang, hingga lantai di mana ibunya terbaring cukup kering. Meski tetap berbau menyengat. Sam tak perduli. “Tenggorokan Mama terasa panas—.” “Kenapa, Ma?” “Mama haus. Mama boleh minta minum, Sam?” Sam tak langsung menjawab. Ia melihat jam di tangannya. Angka berwarna fosfor itu belum menunjukkan angka sembilan. Artinya, waktu pembagian makanan belum tiba. Sam tampak gelisah. Harus menemui Dewi atau bagaimana. Itu sudah berapa kali ia lakukan. Meminta jatah sebelum waktunya, saat mamanya memelas kehausan. Lama-lama Sam merasa tak enak sendiri. “Sam? Sedikit saja, boleh?” Suara serak Anna kembali terdengar. Dengan perasaan getir, Sam memandanginya. Untuk minum saja, ibunya harus memohon dan memelas. “Sebentar, Ma. Saya temui Bu Dewi dulu.” Perlahan Sam melepas genggaman tangannya. Melangkah menuju kabin ekor. Menemui Dewi yang mengatur logistik. Perempuan itu tampak duduk bersandar di dinding kabin. Dekat tas dan kotak-kotak makanan. Sedikit kaget melihat kehadiran Sam. Belum sempat bertanya, Sam sudah bicara. “Maaf, Bu. Saya menemui Ibu lagi. Mama saya kehausan.” Sam bicara perlahan. Perempuan itu menatapnya sejenak. Sam gelisah dipandangi begitu. “Tapi ini belum waktunya.” jawab Dewi hati-hati. “Saya terpaksa, Bu. Mama terus merintih kehausan,” terang Sam. Dewi tak segera menjawab. Masih bungkam. Ini dilema baginya. “Bila perlu, jatah saya dihanguskan, Bu. Yang penting Mama bisa minum sekarang.” Serak suara Sam memohon. Dewi tercekat. Nuraninya tersentak. “Tak harus begitu, Sam. Baiklah!” Dewi memberikan air mineral ukuran gelas pada Sam. Seketika wajah Sam cerah. “Terima kasih, Bu. Terima kasih!” ucap Sam tulus. Dewi mengangguk. Tergesa Sam kembali ke kabin mamanya. Melewati orang-orang yang terbaring di kabin tengah. Tergesa Sam melubangi tutup gelas itu dengan sedotan. Perlahan mengangkat kepala mamanya, serta menahannya dengan tangan. Sejenak wanita itu meringis menahan sakit. “Pelan-pelan, Ma.” “Aahhh—.” Anna merintih. Menahan sakit yang mendera lehernya. Perlahan membuka mulutnya. Sam menekan gelas plastik. Air mengaliri pipet, terus masuk ke mulut Anna. Sam berhenti mengucurkan air, saat mamanya terbatuk. Perlahan ia mengelap air yang tumpah membasahi pipi mamanya. “Su—sudah, Sam.” Wanita itu mendesah. Air di gelas plastik tinggal separuh. Sam menaruhnya. Saat memposisikan kepala mamanya ke tempat semula, suara erang kesakitan itu kembali terdengar. Pria itu juga kembali merapikan busa-busa pengganjal leher. Wanita itu menghela napas. “Mama kangen Rosa, Sam. Kangen Jeany,” ucapnya lirih. “Sam juga, Ma,” jawab Sam tak kalah pelan. Mata Sam terasa panas. Saat mamanya menyebut nama anak dan istrinya. Rosa, anak balita cucu pertama, sekaligus cucu tunggal kesayangan mamanya. Jeany, istri Sam, adalah menantu yang penuh perhatian. “Mereka pasti cemas,” bisik Anna. Sam menarik nafas sesak. “Rosa itu cucu Mama yang pintar dan periang. Jeany juga menantu Mama yang tegar dan sabar. Mereka pasti sedang berdoa untuk kita,” ujar Sam berusaha menenangkan. Tapi suara itu tak bisa membohongi. Terdengar serak dan berat. Tiba-tiba wanita mendesah lirih. Hambar dan pilu. Ya, Tuhan. Apa yang mereka rasakan saat ini? Apa yang mereka lakukan? Sudah empat malam mereka tak mendapat kabar dari kami? Apa yang terjadi pada mereka, jika kami semua mati? Rintih Sam dalam hati. “Rosa, Oma rindu. Oma tak akan bisa lagi membacakan dongeng. Oma tak bisa melihat Rosa lagi—.” Anna menceracau sebelum akhirnya menangis sesenggukkan. “Jangan bicara begitu, Ma. Mama akan sembuh. Kita pasti berkumpul lagi. Kita harus kuat, Ma.” Suara Sam makin lirih dan serak. Ia berusaha sekuat tenaga menahannya. Tapi makin ditahan, air mata itu semakin kuat mendobrak kelopak mata. Pipinya basah. Kedua bahunya berguncang. Pria itu pun menangis. “Sam, ada Papa. Papa mengunjungi kita, Sam—.” Sam tersentak mendengar ucapan mamanya. Papanya meninggal saat ia baru lulus kuliah. Itu tujuh tahun yang lalu. Mamanya makin menceracau tak jelas. Lalu diam membisu. Sam pun terdiam. Tak lama tangan wanita itu menggenggam tangan anaknya dengan keras. Sam kaget. “Ma? Mama?!” Panggil Sam tak tahu harus bicara apa lagi. Ia memeluk mamanya. Wanita malang itu tak bereaksi. Hanya helaan napasnya terdengar makin berat. Mulutnya tak lagi menceracau. Sam berharap mamanya merasa capek lalu tertidur. Perlahan Sam menggoyang tangan mamanya. Genggaman itu telah lunglai. Wanita itu tak juga bereaksi. Sam mulai cemas. Ia menggoyang, hingga mengguncang-guncang tubuh mamanya. Berusaha menyadarkannya. “Bu Dewi! Pak Prayit! Tolong! Tolong Mama saya!” jerit Sam panik. Suaranya menggema di lorong kabin. Lalu terdengar langkah terburu-buru memasuki kabin tengah. Mereka mendapati Sam sedang mengguncang-guncang tubuh Anna. Dengan wajah menangis panik. “Tolong, Bu! Tolong Mama saya pingsan, Pak!” Katanya di antara derai air mata. Bergantian ia menatap wajah orang-orang yang mendekat. Sam menangis sambil memeluk erat mamanya. Mengguncang serta memanggilnya. Dewi memeriksa keadaan Anna. Ia tak lagi merasakan detak jantung dan denyut nadi. Ruang kabin makin dipenuhi survivor. Tapi tak ada lagi yang bisa dilakukan. Kecuali diam mematung, tertunduk sedih, atau ikut menangis. Anna meninggal malam itu. Ternyata itu minuman terakhir yang dipintanya. Kini ia sudah melepaskan penderitaannya. Meninggalkan rasa pilu yang mendalam bagi Sam. Juga bagi orang-orang yang bertahan. Pak Prayit menyentuh bahu Sam. Berusaha menenangkannya. Dewi melakukan hal yang sama. “Tabah, Sam. Mari kita doakan mamamu. Agar jalannya dimudahkan,” kata Prayit dengan nada kelu. Sam masih menangisi kepergian mamanya. Wanita itu telah menyusul suaminya. Menyusul para korban yang mendahuluinya. Beberapa orang duduk melingkar di sekeliling jasad Anna. Semua ikut mendoakan, serta memberi dorongan moril pada Sam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN