Semua tak pernah membayangkan, mengalami peristiwa seperti itu. Makan dan minum harus dijatah begitu ketat. Apa lagi dihantui besok bisa makan atau tidak. Beberapa orang mulai sadar. Betapa berharganya sekotak makanan dan segelas air. Dan, uang yang bergumpal di dompet pun seakan kehilangan arti.
Keheningan itu pecah oleh suara orang bicara. Tim Pencari Air sudah sampai. Meski tersengal, wajah mereka tampak semringah.
“Kami dapat air!” Doni memberitahukan. Para survivor memandang bingung ke arah mereka. Tak banyak yang mereka bawa, selain tiga botol kecil bekas air mineral, serta pelampung-pelampung yang menggembung.
“Cuma segitu?” Seseorang bertanya.
“Pelampung?” Susul yang lain.
“Ini berisi air. Ada delapan kantung!” Endi menunjukkan pelampung yang menjelma jadi pundi-pundi air. Mereka serahkan ke Tim Kabin.
“Syukurlah. Kami juga menemukan makanan dan minuman,” terang Prayit. Kikan memberikan jatah mereka. Ketiga orang itu menyantapnya di dekat pohon tumbang. Kikan duduk di sebelah Alang.
“Ketemu sungai ya, Lang? Jauh?”
“Lumayan. Di arah sana!” Alang menunjuk arah barat dengan ujung mulut yang menggembung berisi makanan
“Bukan sungai, tapi tebing batu!” sela Endi menjelaskan.
“Tebing batu?” Kening Kikan berkerut. Doni mengangguk.
“Kami pun tak yakin, ada air di batu-batu itu,” terang Endi semangat.
“Iya. Itu ide Alang. Kalau tidak—mungkin kami akan terus turun ke lembah,” tambah Doni sambil menunjuk Alang. Kikan tersenyum. Matanya cerah memandang Alang. Pemuda itu cuma meringis tersenyum lalu mereguk air minumnya.
“Oh, ya, ketemu ransel, atau tas kameraku nggak, Kan?” tanya Alang penasaran.
“Sebentar—.” Kikan bergegas menemui Ican. Lalu ke tumpukan barang. Tak lama ia muncul membawa empat tas. Dua ransel warna merah dan biru. Keduanya dengan kondisi nyaris gosong. Tas kamera warna hitam, dan satu ransel sekolah
“Yang mana? Ini bukan?!” tanya Kikan memastikan. Alang terhenyak, lalu tergesa memeriksa ransel warna merah. Tak ada apa-apa di dalamnya. Ransel itu sudah amburadul. Bagian bawahnya hangus terbakar, hanya bagian atas yang utuh. Bisa dipastikan jika separuh isinya juga ikut gosong. Alang dengan cepat mengenali miliknya dari emblem bertuliskan “Aku Cinta Indonesia” yang dijahit di bagian tutup ransel.
“Isinya?”
“Udah dikeluarkan. Nyaris terbakar semua. Aku lihat ada parang, juga panci susun.” jelas Kikan. Misting itu disebutnya panci. Alang diam saja. Ia memeriksa tas kamera yang tampak utuh. Ekspresi wajahnya tak lebih baik saat melihat ransel gunungnya.
“Gimana?” tanya Endi.
“Hancur juga, Bang.”
”Kompasnya?” tambah Endi. Alang menggeleng lesu. Lalu memandangi benda-benda itu dengan mimik sedih. Mounting kamera serta lensanya penyok dan retak. LCD kamera pecah. Mungkin akibat terbentur atau terhimpit. Yang utuh hanya compact flash. Kompasnya entah ke mana. Cuma keberadaan Vicky—pisau lipat kesayangannya—itu utuh tersimpan di kantung bagian dalam. Itu cukup membahagiakannya.
Tim Kabin juga membagikan makanan dan minum untuk korban yang masih tergolek di kabin. Juga untuk Sam dan Ramon yang berjaga.
“Ini—ada makanan dan minuman.” Dewi menyodorkannya pada Dini. Wanita itu tak menggubris. Sejak siuman, pramugari malang itu tak mau bicara. Hanya duduk diam, atau menangis memeluk lutut. Kikan perlahan mendekat. Menyentuh bahunya dengan lembut.
“Mbak, harus makan. Biar cepat pulih,” ucap Kikan pelan. Dini menoleh perlahan. Menatap Kikan dengan kuyu. Lalu menggeleng berulang-ulang. Kikan menoleh ke Dewi. Perempuan itu menghela napas. Lalu menyentuh bahu Dini yang masih menggelengkan kepala.
“Kami taruh di sini. Nanti dimakan, ya,” kata Dewi pelan. Selanjutnya mereka memberikan makanan dan air minum untuk Martha, Darwis, Anna, Bella, dan Rara. Mereka korban dengan luka cukup parah. Sambil membagikan makanan, mereka juga berusaha mengikat dan membalut luka para korban dengan perca-perca kain yang ditemukan.
Martha, mengalami luka lebam, dan luka sobek. Dari pelipis hingga ke pipi kanan. Balutan kain melingkar dari kepala hingga ke dagu. Darwis, mengalami luka di perut. Entah bagaimana bentuk luka yang ada di balik balutan itu. Darah segar masih merembesi celah-celah kain perca. Lututnya juga tampak dibalut. Sesekali mulutnya merintih.
Rara menderita luka lebam di pelipis kanan. Kaki dan tangan kanannya tampak patah dalam. Tubuhnya dipenuhi balutan kain-kain perca seadanya. Anna, ibu kandung Sam, kedua matanya terbalut kain. Wanita ini mengalami kebutaan permanen. Akibat luka yang mendera wajah, selain cidera leher dan punggung.
Bella, isteri Ramon, kehilangan kaki kirinya. Kaki itu pun belum diketemukan. Luka itu dibebat dan dibalut dengan banyak perca. Kain-kain pembebat itu basah oleh darah. Meski tergolek lemah, ia masih sadar. Sementara Resti, Bertha dan Didin—merupakan korban yang masih koma. Ketiganya juga mengalami luka benturan, luka sobek dan patah tulang. Detak jantung yang lemah adalah penanda bahwa mereka masih hidup. Tim Kabin juga membagikan beberapa potong pakaian utuh. Terutama bagi para survivor yang pakaiannya compang-camping.
Mereka mengangkat serta menyusun jenazah para korban ke liang lahat darurat. Kondisi jenazah tampak beragam. Utuh, kehilangan anggota badan, gosong terbakar, bahkan hancur. Ada yang masih bisa disatukan. Ada juga diletakkan dalam kondisi tak lengkap. Paling menyedihkan, ketika ada potongan tubuh tanpa diketahui siapa pemiliknya. Hanya kepala, potongan badan, tangan atau kaki. Apa lagi metode identifikasinya dengan cara darurat. Melihat dari bentuk tubuh dan warna kulit. Bagian-bagian tubuh tanpa pemilik itu dikuburkan dalam satu kelompok. Di sudut lubang sebelah utara. Antara jenazah laki-laki dan perempuan dipisah oleh tanah pembatas. Tak ada yang bicara saat prosesi itu berlangsung. Semua bungkam. Hanya sedu sedan dan isakan tangis yang terdengar.
Tampak jasad yang mengenakan jaket tebal warna hitam. Di sampingnya seorang pria duduk tercenung. Terpekur di hadapan sang jasad. Matanya basah. Bibirnya bergetar melantunkan doa. Tak lama ia menunduk mencium kening jasad itu. Dengan berurai air mata, ia melepas jaket sang jasad. Lalu bangkit mendekati orang yang berdiri tak jauh darinya. Perlahan menyentuh bahunya.
“Ibumu pasti lebih membutuhkan,” ucapnya serak. Sam, laki-laki yang berdiri itu terkejut. Pria yang ternyata Ayi itu menyodorkan jaket di tangannya. Sam menatap tak percaya.
“Ambilah. Aku tahu ibumu dapat pakaian. Tapi aku yakin, ini jauh lebih menghangatkan.” tambah Ayi lagi. Sam terdiam. Matanya mendadak panas karena terharu. Apa lagi yang memberi itu Ayi. Sosok yang keras menentang usul Romo. Sam ingat, bagaimana Ayi memaki-maki Alang. Satu-satunya orang yang mendukung Romo. Tanpa sadar berpasang mata memerhatikan adegan itu.
“Bapak sudah tak butuh jaket itu. Ia senang membantu orang. Aku yakin—ia juga akan senang, kalau jaket yang terakhir dikenakannya ini masih bisa berguna orang lain. Tapi—kalau kau tak mau, akan kuberikan pada yang lain,” jelas Ayi serak. Karena melihat respon keraguan tergambar di wajah Sam.
“Te-terima kasih—,” ucap Sam terbata. Bergegas menerimanya dengan tangan gemetar. Ayi mengangguk, dan kembali mendekati jasad ayahnya. Semua menatap dengan perasaan campur aduk. Ada yang haru, sekaligus malu. Terlebih bagi yang menentang usul Romo. Diam-diam beberapa orang mengikuti jejak Ayi. Romo memerhatikan aksi sosial para survivor itu dengan penuh rasa haru.