MAU BERGABUNG ATAU TIDAK?!

1124 Kata
“Aku tak mengatakan PuskoSAR tak punya andil. Atau menganggap operasi SAR itu gampang. Bukan itu. Cuma mengkritisi kinerja mereka yang tak maksimal, bahkan sangat tidak maksimal. Jika maksimal, tentunya kita sudah ditemukan, dijemput dan diselamatkan!” Terdengar ucapan Jarot serius. Nada suaranya sejenak meninggi, lalu menurun dengan perlahan. Kiki menatapnya. Lalu menganggukkan kepala. “Aku pernah nonton reality show luar negeri. Untuk menolong seekor anjing yang terjebak banjir saja, mereka mendatangkan helikopter. Menerjunkan tim rescue profesional. Itu untuk menolong anjing, apa lagi kalau ingin menolong orang, tentu lebih serius!” cerita Kiki dengan wajah serius. “Jadi menurut kalian gimana? Apa yang sebaiknya kita lakukan? Tetap menunggu Romo yang belum tentu datang. Atau masih mengharapkan PuskoSAR yang lambat itu?” tanya Jarot tiba-tiba. Wajahnya tampak serius. Namun tak ada yang bisa menjawab. Hanya membungkam saling pandang. “Jika cuma menunggu. Aku yakin, kita akan menyusul korban-korban yang lain. Akan mati satu persatu.” tambahnya dengan suara perlahan. Matanya bergantian memandangi wajah orang-orang di sekelilingnya. “Apa maksudmu?” Endi mulai curiga. Ia tak suka dengan nada bicara, serta tatapan Jarot. “Cukup jelas, Ndi. Kita harus bergerak. Harus cari jalan sendiri. Bukan menunggu dan berharap!” jawabnya dengan sorot mata menghujam. Endi terkesiap. “Aku tak setuju. Terlalu beresiko. Bukankah Romo sedang mencari bantuan. Kita harus tetap bersama. Pikirkan orang-orang yang sakit!” tepis Endi gelisah. “Romo bukan jaminan. Sekaranglah saatnya jika ingin bergerak. Mumpung kita masih kuat, dan makanan masih ada. Nanti orang-orang sakit itu kita tandu,” jawab Jarot serius. “Kau jangan gila! Atau kku—.” Belum sempat Endi meneruskan kalimatnya, Jarot mencengkram lehernya dengan keras. Wajah Endi memerah. Dia mencoba berontak. Tapi Jarot yang bertubuh lebih besar itu, mempererat cekikannya. Endi tak berkutik. Nafasnya tersengal. Kiki terkesiap. Wajahnya terlihat cemas. Rusdi memandang adegan itu dengan senyum menyeringai. “Kalau kau bocorkan rencana ini. Tak segan-segan akan kami bungkam. Jika ingin bergabung, sekaranglah saatnya. Jika ingin tetap bertahan, silahkan. Tapi jangan halangi rencana kami!” ancam Jarot serius. “K-kami? Apa maksudmu?” tanya Endi tersengal. Jarot tak menjawab. Hanya menunjuk dengan ujung bibirnya ke arah Rusdi dan Kiki. Endi memandang ke wajah kedua orang itu bergantian. Rusdi balas menatap. Sebuah tatapan tak bersahabat. Tapi Kiki terlihat kebingungan dan cemas. “K-kau gila! Silahkan kalau ing-in pergi. Tapi ja—jangan libatkan yang lain!” Suara Endi tercekik. Napasnya makin tersengal. Sekali lagi dia berusaha berontak. Tapi Jarot menyentaknya. “Ssstt! Sekarang tenangkan dirimu. Dengar! Jangan melakukan tindakan konyol, atau kucekik sampai mati!” Ancam Jarot sambil melotot. Sekali lagi ia mengguncang tubuh Endi. Perlahan Endi mengangguk. Jarot mengendurkan cekikan dan perlahan melepaskannya. Endi terbatuk beberapa kali. Wajahnya masih tampak memerah. Ia mengusap-usap lehernya yang sakit. “Sekarang kutanya, kenapa kau percaya Romo akan kembali? Siapa yang menjamin? Jika berhasil, rasanya sulit dipercaya mereka akan bersusah payah kembali lagi ke sini. Lebih mungkin, usai melaporkan kita, mereka akan pulang ke keluarga masing-masing. Apa itu salah? Tentu tidak. Karena mereka memang mencari jalan sendiri. Itu kalau berhasil, kalau gagal? Makin tak jelas siapa yang kita harap. Lagian kenapa harus kita yang bertahan, dan menjaga orang-orang yang sakit. Pada hal kita sendiri punya keluarga. Kita bukan pahlawan kesiangan, Ndi. Coba renungkan, bagaimana kalau kita mati, gara-gara menunggui mereka? Mereka bukan sanak-saudara kita. Tak ada yang menjamin—jika kita menunggui mereka, kita bisa selamat. Hanya kita yang bisa memutuskan. Ini bukan tindakan konyol. Tapi usaha untuk menyelamatkan diri.” papar Jarot serius. Endi masih bungkam. Tertunduk menatap curai perapian. “Perlu kau ketahui, kami tak memikirkan diri sendiri. Untuk itu, kami mengajakmu. Biar kita bisa kembali ke keluarga kita dengan selamat!” timpal Rusdi. Jarot mengangguk membenarkan. Tapi Endi belum bersuara sepatah kata pun. Bergantian ia menatap Rusdi dan Jarot. Alasan mereka tampak benar dan masuk akal. Saat itu, tak ada yang bisa menjamin keselamatan mereka. Baik bergerak sendiri atau tetap bertahan. Selain takdir Tuhan. Melihat reaksi bungkam Endi, Jarot kembali berkata. “Kalau kau ingin menunggu Romo—silahkan. Ingin bertahan dengan Prayit yang tak tahu apa-apa—juga silahkan. Atau kau ingin menunggu sampai semua mati satu persatu, ya—silahkan. Pilihan ada di tanganmu. Mau bergabung atau tidak. Kami akan segera bergerak. Dekat hutan ini pasti ada dusun atau kampung. Sekali lagi kukatakan, kami sudah mengajakmu. Jika tak mau—jangan menghalangi kami!” tegas Jarot serius. “Tapi—apa kau juga bisa menjamin keselamatan kami? Apa lagi kau tak lebih tahu dibanding Prayit atau Alang. Apa lagi dibanding Romo?” Endi membalikkan perkataan Jarot. Laki-laki itu meradang. Matanya mendadak melotot. “Sebenarnya kau mau bergabung, atau tidak?” potong Rusdi. Endi terkesiap. “Aku ingin memastikan!” jawab Endi tergesa. “Bagaimana juga nasib orang-orang yang terluka parah?” tambahnya lagi. “Kita bawa semua.” jawab Jarot berusaha meyakinkan. “Mereka tak bisa jalan!” sangkal Endi. “Kita buatkan tandu. Jika masih memberatkan, terpaksa—kita tinggal. Biar tetap bersama mereka yang ngotot ingin bertahan!” jawab Jarot serius. Endi menatap Jarot. Ada bara api terpancar di bola matanya. Bara itu setiap saat bisa saja meletup. Mata itu menatapnya. Jarot tak main-main dengan ucapannya. “Kau gila, Jarot! Gila!” Maki Endi. Serentak ia berdiri, dan hendak berbalik. Mungkin berniat berlari menuju kabin. Namun belum masuk ayunan langkah yang ke tiga. Ada bayangan berkelebat. Bletak! Endi tersungkur. Jatuh berdebam ke tanah. Tubuh itu bergetar dan menggeliat sejenak. Lalu diam tak berkutik. Tak jauh dari tubuh Endi yang terkulai. Tampak Rusdi berdiri dengan mata angker. Tangannya memegang sepotong kayu sebesar lengan. Kiki terkesiap dengan wajah ketakutan. Tubuhya gemetar. Tak mampu berkata apa-apa. “Bodoh! Kenapa kau pukul dia? Ini bakal runyam!” Maki Jarot melotot ke arah Rusdi. Ia merebut kayu yang dipegang Rusdi. Lalu melemparnya ke perapian. Ada lelehan darah diujung kayu itu. Cairan merah itu ikut terbakar. “Kupikir—ia membahayakan rencana kita.” Terbata Rusdi menjawab. “Kita bisa meringkusnya, menyumpal mulut, lalu mengikatnya. Bukan mengeksekusinya seperti itu!” kata Jarot kesal. Rusdi menundukkan wajah. Tampak gugup dan bingung. Lalu terdengar langkah-langkah mendekat. Henky dan Suba muncul dari kegelapan. “Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Henky bingung. Melihat sosok Endi terkulai di tanah. Jarot menjelaskannya terburu-buru. Henky menatap ke arah Rusdi dan Suba. Lalu memaki tindakan Rusdi. “Dia ingin melaporkan kita!” jelas Rusdi berusaha membela diri. “Sudah! Jangan bertengkar. Mari kita singkirkan. Makin kacau kalau ada yang terbangun dan melihatnya!” potong Jarot. Menghentikan perdebatan orang-orang itu. Kelima pria itu buru-buru mengangkat tubuh Endi. Membawanya ke arah lembah. Melemparkan tubuh Endi ke rimbunan semak belukar. Terdengar suara gemeresek sebelum tubuh itu berdebam membentur tanah. Dengan langkah tergesa mereka kembali ke perapian. Duduk melingkar dengan mulut terkatup. Mereka tampak gelisah. Semua berdebar menanti datangnya pagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN