Rules of Relationship

1706 Kata
Pandangan Lula tiba-tiba menyipit, mulutnya lalu sibuk berkomat-kamit, Bimo hanya tersenyum tanpa dosa. Rasanya habis sabar sudah Lula menghadapi kekasihnya ini.   “Sorry,” kata Bimo lalu meraih tangan Lula. Tapi langsung ditepis dengan kasar oleh si pemilik tangan. “Aku bener-bener nyesel,” Bimo melanjutkan. Ekspresinya seolah disetel seperti kata yang diucapkannya di akhir kalimat tadi.  “Berapa lama kamu bikin alasan buat hari ini?” tanya Lula dengan ketus. Pandangannya kini lebih tajam saat menatap pacarnya itu. Kalau sedang tidak tersenyum begitu, gigi gingsul yang menambah manis wajah Lula yang memang sudah sangat sedap dipandang jadi tidak bisa dilihat. Tangan kanannya menggenggam kalung rantai emas berbandul simpul mati. Sampai sekarang Bimo selalu penasaran dengan maksud Lulu memesan khusus kalung tersebut. “Ini bukan alasan, Ulul,” ungkap Bimo mencoba meyakinkan. “Tapi yang sebenarnya terjadi memang begitu. Aku ada tugas.” Bimo menghela napas berat. Saking beratnya, Bimo sempat mengeluarkan batuk fiktif untuk mempertegas kondisinya saat ini.  Biar tambah meyakinkan, cowok itu tak lupa menyetel tampang tak berdaya dengan apa yang sekarang sedang terjadi. Dia sempat mengusap brewok tipis di dagunya dengan telapak tangan kanannya, untuk menandakan bahwa dia juga sedang mempertimbangkan sesuatu. Biasanya gaya sok coolnya satu ini berhasil membuat Lula luluh dan membuatnya bertanya bantuan apa yang bisa dia berikan. Tapi kali ini sepertinya agak sulit membuat gadisnya itu melunak.  “Ini, kan, bukan maunya Bimo, Lul. Memangnya cowok mana, sih, yang nggak pengin ngebahagiain ceweknya? Cowok mana juga yang nggak pengin nganterin ceweknya ke mana-mana? Bimo tuh pengin banget nganterin Ulul, tapi kondisi saat ini tuh lagi nggak memungkinkan banget.” Bimo mulai bercerita. Seperti biasa, Lula langsung cemberut berat mendengar karangan Bimo yang selalu top dan terdengar seperti sungguhan itu. “Jadi, dengan sangat menyesal terpaksa Bimo bilang bahwa Bimo nggak bisa nganterin Ulul ke TIM buat nonton teater. Maaf banget, Lul.” Bila Bimo selalu punya alasan untuk membatalkan, maka Lula selalu punya cara untuk mempertahankan agar keinginannya tetap terjadi. Gadis itu mengeluarkan sebuah gulungan kertas karton berukuran 14 X 8 cm dari dalam tas selempangnya. Tindakan ini tentu saja membuat suasana hati Bimo jadi tidak tenang.  Ketika dibuka, di bagian atasnya tertulis “Jadwal Kencan”. Lula kemudian membacakan satu buah jadwal yang sebelumnya sudah disepakati oleh masing-masing pihak. “Pasal pertama, baik Bimo Sebastian atau Kalula Ariana wajib untuk mentaati peraturan jadwal kencan atau pacaran yang tertera di bawah ini. Pertama, tidak boleh ada perubahan jadwal atau menggeser jadwal seperti yang sudah disetujui dengan seenaknya. Apalagi jika alasannya terdengar mengada-ngada dan tidak ada bukti konkret yang mendukung.” Lula lalu melipat kembali kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. “Bimo paham bahasa Indonesia, kan?!” Cowok itu mengangguk cepat. “Paham lah, sayang.” “Kalau begitu, maka udah jelas dong apa yang seharusnya kita lakukan sekarang?” Lula lalu tersenyum menang. “Bimo nggak bisa seenaknya merubah jadwal semendadak ini. Dan kamu tuh nggak sadar nggak, sih, kalau bulan ini tuh kita baru jalan bareng dua kali?” “Sadar, sayang. Tapi, kan, kita masih bisa ketemu tiap hari. Orang satu fakultas ini.” Bimo masih gigih. Dahi Lula kontan mengerut. “Bagian yang ini juga kayaknya Bimo masih belum sadar juga deh. Kita memang se-kampus, satu fakultas juga, dan kosan kita juga jaraknya nggak kayak Indonesia-Amerika. Tapi, buat ketemu aja tuh susahnya sekarat banget. Khususnya beberapa bulan ini. Bimo tahu nggak sih kenapa bisa begitu?” Bimo menggeleng kuat-kuat. Sebenarnya dia tahu. Cuma dalam situasi horor seperti ini, posisinya sangat tidak menguntungkan untuk membela diri. Jadi, meskipun dirinya punya argumen, mending diam dan jadi pendengar yang baik saja. “Biar aku kasih tahu kalo gitu. Kenapa kamu harus ngerjain tugas sekarang sementara kamu sebetulnya punya waktu kemarin-kemarin?” Mata Bimo tampak berputar ke atas seolah berpikir. Dia kemudian memandang Lula dan meringis. “Itu karena kamu selalu menunda apa yang bisa kamu kerjain saat itu juga. Makanya sekarang keteteran semuanya.” Lulu sungguh menahan diri agar emosinya tidak meledak saat itu. “Bimo ini beneran, deh, ya, me-manage waktu sendiri aja masak nggak sanggup? Waktu itu aku kan udah pernah bikinin kamu jadwal lho. Biar semuanya lebih terstruktur dengan rapi. Biar Bimo juga nggak susah nantinya. Terus kenapa jadwalnya cuma jadi pajangan dinding doang?” Lula jadi gemas sendiri. Bimo menggaruk kepalanya. Semoga Lula tidak pernah tahu, bahwa jadwal kuliah dan juga tugas-tugasnya yang dibuat Lula dengan hiasan-hiasan lucu itu kini sudah tidak tertempel lagi di dinding kamarnya. Dengan tanpa permisi dan sekenanya, Aldo telah mengubah kertas karton itu menjadi potongan-potongan kecil untuk menambah semarak di dalam balon yang ditujukan buat sang pacar. Karena tidak mungkin mengutarakan hal yang sesungguhnya terjadi, makanya Bimo pun mengatakan hal lain. “Ya, sebenarnya wajar aja, sih, sayang. Kan suka ada kejadian diluar dugaan kita. Misalnya, Aldo tiba-tiba nongol di kosan untuk ngajakin Bimo tanding PS. Atau anak-anak ngajakin jalan atau nge-band. Kita kan nggak bisa mengendalikan yang satu itu.” Bimo mencoba menenangkan kekasihnya dengan sejuta alasan yang bisa dia katakan. “Lagian kita manusia cuma bisa berencana. Tetap Tuhan yang berkehendak, sayang.” Lula mengangkat tangannya yang terbuka di depan wajah Bimo. “Bimo nggak perlu ngasih tahu Ulul, karena Ulul nggak pengin tahu kalo yang itu. Pokoknya Ulul nggak mau tahu. Hari ini kita harus tetep berangkat ke TIM untuk nonton teater,” sahut Lula dengan kalimat tandas. Bimo sudah siap membuka mulutnya untuk mencoba merubah pikiran Lulu namun gadis itu lekas memotong. “Ulul bilang sekali lagi, ya. Sekarang udah waktunya kita berangkat ke TIM. Alasan kamu tadi nggak masuk, sayang.” “Okay,” ucap Bimo akhirnya.  Cowok itu langsung menghampiri mobilnya dan membukakan pintu untuk Lula. Dengan senyum penuh kemenangan gadis itu melenggang anggun menuju mobil Bimo. Tak berapa lama, mobil pun melaju pelan menuju tempat tujuan. * Sesampainya di TIM, di depan GBB ternyata sudah dimasuki oleh kerumunan orang yang ingin menonton. Bimo sudah memarkir mobilnya di dekat pohon. Sementara Lula sudah turun duluan. Ketika juga sudah mengikuti antrean tersebut, Bimo menghampirinya dan menyentuh bahunya sampai gadis itu menoleh. “Kenapa?” tanya Lula bingung. “Pee,” jawab Bimo lalu merem melek. Lulu langsung merengut. Bimo malah bergidik. Sebetulnya cewek itu kesal tapi tak bisa bilang. Karenanya dengan terpaksa Lulu mengangguk juga, membiarkan Bimo ke toilet terlebih dahulu. Yah, dari pada nanti di dalam lebih merepotkan. “Ya, udah, Bimo ke toilet dulu. Ulul masuk duluan. Cepet nyusul, ya,” kata Lula. Bimo mengacungkan jempolnya lantas tersenyum. Dia kemudian segera berbalik dan menuju toilet yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari tempat pertunjukannya. Tiga puluh menit kemudian. Bimo belum masih belum kembali. Lula jadi tidak bisa konsentrasi menonton pertunjukan. Berkali-kali dia terus melihat ke arah pintu masuk, tapi sosok Bimo masih belum kelihatan juga. Lula mengambil ponsel dalam saku tas selempangnya. Dia pun mengirimi Bimo SMS, Line, w******p, Telegram sampai menulis di dinding f*******: cowok itu. Semua yang dia tulis bunyinya sama. Lula Kamu ke toilet atau bangun toilet, sih? Beberapa menit berlangsung begitu saja, tapi balasan dari Bimo juga tidak kunjung diterima. Lula jengkel lagi. Apa ke toilet itu hanya alasan agar tidak menemani Lula menonton pertunjukan? Lalu saat Lula larut dalam euforia penonton lainnya, Bimo diam-diam pulang duluan? Awas saja kalau memang sampai begitu kejadiannya. Lula semakin tidak bisa fokus pada pertunjukan di depannya ini. Hape-nya bergetar. Sebuah w******p masuk. Secepat kilat Lula membuka w******p tersebut dan langsung meringis. Papa Jgn lupa, Lu, minggu ini plg ke Crb. Ternyata bukan balasan dari Bimo. Melainkan w******p dari sang papa. Lula pun kemudian membalas pesan tersebut. Lula Ya, papah. Tng aja. Aku gak lupa kok. Semua kan udah ada jadwalnya. WhatsApp balasan untuk sang papa sudah terkirim. Bimo masih belum menampakan dirinya. Lula jadi gemas sendiri kalau cuma duduk manis dan menantikan cowok itu kembali. Sementara keberadaan pasti cowoknya itu saja tidak diketahui. Belum tentu dia memang benar-benar ke toilet. Semakin lama Lula jadi benar-benar kehilangan kesabarannya hingga tak bisa lagi duduk diam. Dia langsung bangun dari kursi dan keluar dari gedung pertunjukan untuk mencari Bimo.  Begitu keluar dari gedung pertunjukan, Lula langsung berjalan dengan langkah besar-besar menuju toilet. Satu-satunya toilet yang terdekat dari gedung adalah disana. Jadi harusnya Bimo ada disana. Semoga saja dia pingsan atau kena diare mendadak agar dirinya tidak perlu buang energi untuk marah-marah. Tapi betapa dongkolnya gadis itu ketika dia melihat Bimo sedang tertawa dan juga mengobrol dengan asyik dengan dua orang cowok di depan toilet. Bisa-bisanya dia mengobrol seseru itu, sedangkan dirinya menunggu hingga nyaris mati bosan di dalam sana. “Bimo!” panggil Lula kesal. Dia merasa ingin menangis saja.  Bimo menoleh lalu langsung tersenyum lebar. Senyum tengil yang biasanya bikin gemas itu malah bikin Lula ingin melemparkan sandal ke mukanya. Dua cowok yang sedang bersama Bimo juga ikut melebarkan senyum tapi tak dipedulikan Lula. Dia melambaikan tangan ke arah Lula dan memintanya untuk mendekat. Dengan lesu Lula kemudian berjalan mendekati Bimo. “Sayang, kenalin ini temen-temenku satu SMA dulu. Yang ini Akbar, yang ini Daryl. Mereka satu ekskul basket juga sama aku lho.” Lula serasa ingin membentak Bimo dengan teriakan. “Nggak nanya!” tapi amarahnya itu hanya bisa tertinggal di tenggorokannya. “Kok malah ngobrol, sih, bukannya masuk?” serungutnya dengan suara rendah.  “Bimo kan tadi udah bilang, ini temen-temen Bimo satu sekolah dulu. Pas kuliah kami misah, mereka lanjut ke IKJ soalnya. Sekarang mereka lagi bikin film dokumenter dan mereka sekarang lagi tanya-tanya aku soal film. Aku, kan, salah satu movie freak yang mereka kenal.” Bukannya merespon apa yang diucapkan Bimo, Lula malah menyemprot cowoknya itu. “Bimo tahu nggak Ulul nunggu udah berapa lama di dalem sana? Tiga puluh menit ditambah lima belas menit dengan Ulul keluar dan nyari Bimo ke sini. Bimo mikir nggak, sih, gimana jengkelnya Ulul?” Bimo melongo. Begitu juga dengan dua temannya Bimo yang sempat diperkenalkannya tadi. Tanpa menunggu reaksi Bimo lagi, Lula lalu menyeret Bimo untuk masuk ke dalam teater lagi. Dengan pasrah Bimo hanya melambaikan tangan pada dua temannya sambil mengatakan dengan buru-buru bahwa nanti dia akan menelepon. Lula merasa bahwa hari ujian sekali menghadapi tingkah Bimo. Segala usahanya untuk membuat hari ini jadi sempurna dan menyenangkan sudah sukses dirusak Bimo dengan total. Lula sebetulnya sangat ingin marah-marah pada Bimo tapi dirinya sudah kehilangan selera duluan.  *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN