Baby Ge

1117 Kata
"Senyum bisa menyamarkan segalanya, termasuk luka yang menganga."—One Last Time [02] LS. *** "Dad, kenapa Opa itu galak?" Abizar yang tengah mengemudi sempat menoleh sekilas sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Gema. "Opa sudah tua, wajar kalau emosinya kurang stabil. Kamu juga tahu, 'kan kalau Opa ada riwayat darah tinggi?" Gema memainkan jarinya merasa kurang puas dengan jawaban sang ayah. Itu mungkin benar, tapi baginya tetap tidak masuk akal. Gema merasa sikap opanya yang kasar belakangan ini tidak ada korelasinya dengan darah tinggi yang diderita, mengingat sikap semacam itu hanya diperlihatkan ketika mereka sedang berdua saja. Namun, Gema tak lagi bersuara. Pemuda itu memilih diam mengamati padatnya jalanan ibu kota. "Ge, Opa enggak apa-apain kamu, 'kan?" "Enggak kok, Dad," jawab Gema, kecuali kalau Daddy enggak ada, lanjutnya dalam hati. Abizar kembali fokus mengemudi. Ada perasaan lega saat mengetahui ayahnya bisa bersikap biasa walaupun tak menyukai Gema. Biasa dalam artian tak pernah berbuat kasar. Jika dari segi ucapan, ia selalu berhasil melempar alibi meyakinkan agar putranya tak sakit hati. Abizar paham betul alasannya, tapi di sini, jelas Gema tak bersalah dan tak tahu apa pun tentang kepahitan yang menimpa ibunya beberapa tahun silam hingga membuat Gema seperti terbuang. Tangan kukuhnya terangkat membenarkan kacamata yang sedikit merosot, kemudian Abizar menghentikan laju kendaraannya tepat di depan gerbang utama SMA Vegas. "Turun," suruhnya. "Daddy ngusir?" "Kamu harus sekolah, Ge." Gema memamerkan deretan gigi putihnya. "Minta uang, Dad." Alis Abizar bertautan. "Uang bulanan kamu udah habis lagi?" "Jadi ceritanya tuh kemarin ada sepatu bola incaran aku di online shop, Dad. Itu juga dikasih tahu sama si Galuh. Nah, karena aku udah lama mau, langsung aku beli deh." "Intinya?" "Iya habis, Dad. Mana sini minta uang. Awal bulan masih lama." "Jangan boros-boros, Ge. Mulai sekarang kamu harus lebih selektif, mana yang memang kamu butuhkan, itu yang harus diprioritaskan. Sepatu bola kamu juga banyak dan masih bagus-bagus. Kalau kamu kayak gini terus, sepatu di rumah Daddy lelang aja terus uangnya disumbangkan biar lebih bermanfaat." Meskipun mengomel, tapi Abizar tetap memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada putranya. "Seandainya uang ini habis sebelum awal bulan nanti, Daddy enggak akan kasih lagi. Terserah kamu mau jajan dari mana," sambungnya setelah uang itu dalam genggaman putranya. "Iya, Dad. Ya udah, aku pergi dulu," pamit Gema sembari mencium punggung tangan sang ayah. "Assalamu'alaikum. Dadah Daddy." *** Septian melangkah menyusuri koridor sekolah. Beberapa siswa tampak berlalu lalang. Ada pula yang berkumpul——entah berdiskusi tentang pelajaran yang akan datang atau bergosip. Namun yang paling mengganggu adalah mereka yang pagi-pagi begini sudah mengumbar kemesraan. What the .... ah, sudahlah percuma mengumpat, toh itu takkan merubah mereka. Jika kalian berpikir Septian seperti itu karena dia jomblo, tentu saja tepat. Pemuda itu memang menikmati kesendiriannya. Masa-masa sekolah ingin ia habiskan untuk fokus merancang masa depan. Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi? Saking asik dengan pemikirannya dan terus berjalan sembari menunduk bak sedang mencari kepingan rupiah yang hilang, laki-laki itu bertabrakan dengan seseorang. "Aw!" ringis orang itu. "Eh, sorry. Gue enggak senga-- lah, Ge, lo baru datang?" "Iya, Yan. Lo mau ke mana?" Gema balik bertanya. Sebenarnya Septian itu kakak kelasnya, hanya saja untuk mengikis jarak dan rasa segan di antara mereka, Septian meminta agar Gema tak memanggilnya kakak. Dan itu berlaku dari SMP sampai sekarang. "Gue baru mau ke kelas lo." "Mau apa? Kangen lo sama gue?" Tak! Dalam satu gerakan Septian berhasil membuat Gema meringis untuk kedua kalinya. Ia menyentil dahi adik kelasnya itu karena kesal. "Mastiin aja kalau lo masih hidup." "Sialan." "Semalam lo ngilang gitu aja pas kita lagi bahas pertandingan di grup chat, pada paniklah anak-anak. Dikira lo tewas." "Doa tuh yang baik-baik. Kalau gue beneran tewas, lo orang pertama yang bakal nangis darah." Septian terkekeh melihat raut kesal Gema, tetapi kalau boleh jujur ia memang mengkhawatirkan anak itu. Kedekatannya dengan Gema sejak SMP tak perlu diragukan. "Serius nih, ada yang cedera enggak?" Gema menggeleng. "Lutut gue lecet, sama badan sakit-sakit aja." "Syukurlah." "Syukurlah pala lo meledak! Kalau Daddy tahu anaknya lecet, bisa-bisa gue disuruh mundur." "Enggak berubah, ya. Mending lo ikut ekskul bola bekel aja biar gak lecet." "Ya, itu tandanya Daddy sayang sama gue. Saking sayangnya, putra tergantengnya ini enggak boleh lecet," sahut Gema sekenanya. "Udah sana-sana pulang! Lo udah lihat gue, 'kan? Dan gue sehat. Hus ... hus," usirnya kemudian. Septian mendengkus sebal. Memang tidak tahu diri, dikhawatirkan malah bersikap seenaknya. Untung sayang. ***  Hidup itu penuh kejutan. Adakalanya sesuatu yang besar terjadi begitu saja tanpa kita kehendaki. Kewajiban kita sebagai manusia hanya harus menjalani dan mensyukurinya. Dua hal itu tengah Abizar coba aplikasikan ke dalam hidupnya. Kiara Sabina Anindya. Perempuan rapuh dengan tangis pilu yang masih terngiang hingga detik ini, entah bagaimana kabarnya. Terkubur semakin dalam oleh puing-puing rasa sakit yang ditinggalkan. Ucapan sang ayah kemarin, sukses besar mengganggu pikirannya. Jika suatu hari Gema tahu yang sebenarnya, apa yang harus ia katakan? Kalimat macam apa yang sanggup dirangkainya untuk menjelaskan tanpa menancapkan luka di hati putranya? Gema bukan lagi anak kecil, yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan. Bisa saja Gema memilih pergi seandainya kebenaran itu terkuak. Dan Abizar yang terbiasa hidup bersama anak itu pasti menjadi orang yang paling hancur. Lamunannya buyar tatkala ponselnya berdering nyaring. Senyumnya tercetak mendapati sebuah pesan dari putranya. Baby Ge, nama yang lucu menurutnya. Sampai detik ini Gema tidak pernah tahu bahwa Abizar menamainya seperti itu. Bisa dipastikan Gema akan protes keras jika mengetahuinya. Baby Ge Daddy, aku pulang agak sore, ya. Mau kerja kelompok dulu. Daddy enggak usah jemput. Me Perlu Daddy antar? Pulang jam berapa? Bukan main bola kan? Jangan lupa makan. Beli makanan yang sehat. Enggak ada makan pedas. Baby Ge Enggak. Pokoknya sebelum magrib udah di rumah. Bukan, Dad. Tanya Galuh aja kalau enggak percaya. Iya-iya. Kecuali kepepet boleh, ya, Dad? Rumahnya Mia itu jauh dari tempat jual makanan, jadi paling yang ada dekat-dekat situ aja. Me Nanti Daddy suruh orang buat kirim makanan ke sana. Minta alamat lengkapnya aja. Teman kamu ada berapa orang? Biar sekalian Daddy belikan. Baby Ge Nanti Mama Mia tersinggung, Dad ? Me Bilang aja lagi ada acara di kantor Daddy, dan makanannya lebih, jadi dikirim ke sana. Baby Ge Ya udah, suka hati Daddy aja. Nanti aku tanyain dulu sama Mia alamatnya. Baby Ge Cuma diread. Dasar Daddy jelek tukang maksa. Me Daddy ganteng Me Sent a photos Baby Ge Pamer aja terus ? Abizar tersenyum puas menatap balasan terakhir dari putra tunggalnya. Sejak dulu ia memang selalu menerapkan gaya hidup sehat. Terutama masalah makanan. Abizar akan selalu memastikan apa yang dimakan Gema adalah makanan sehat. Menu di rumah pun ia yang menentukan. Terkadang jika sempat, lelaki itu bahkan menyiapkan makanan sendiri untuk bekal Gema di sekolah. Abizar bersedia melakukan apa pun demi Gema. Hanya untuk Gema. |Bersambung|
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN