CHAPTER 1

1053 Kata
Play list : Don't Watch Me Cry - Jorja Smith (Cover by Alexandra Porat) ... Musim Gugur Daun-daun yang berjatuhan di bulan itu seperti menandakan ribuan kesedihan yang tidak bisa terungkapkan melalui kata-kata. Burung-burung yang terbang mengelilingi tempat luas, seakan mempertontonkan keelokannya di tengah daun yang berguguran itu. Namun, kicauan burung di atas sana sangatlah berbeda dengan apa yang terjadi di sebuah tempat yang dipenuhi oleh gundukan tanah itu. Orang-orang menyebutnya sebagai tempat pemakaman. "Hiks... Hiks..." Seorang gadis tampak mengusap matanya berulangkali sambil menahan desakan tangis yang hendak meledak di hatinya. Ia menyaksikan ketika peti jenazah ibu kandungnya kini telah berada di dalam liang lahat. Petugas mulai mengubur ibunya yang meninggal hari ini sambil sesekali menyebutkan beberapa bunyi dari kitab sebagai pengantar. Tepukan di bahunya membuat gadis itu tersadar dari kesedihannya. Dia menoleh ke kiri dan menatap seorang pria yang jauh lebih tinggi darinya— tengah menatapnya penuh kelembutan. Bibir itu bergerak seolah membisikkan kata jangan takut, gadis manis. Matanya yang berkaca-kaca seperti menorehkan luka kepada pria yang kini tengah menatapnya itu. Dia ingin memeluknya, memberikan ketenangan seolah akan ada hal lain yang akan membuatnya tersenyum. Tepukan lainnya di bahu kanan gadis itu membuatnya menoleh ke kanan. Seorang pria lain kini juga tengah menatapnya lembut, tapi pria itu mengucapkan sesuatu. "Jangan khawatir, Elea. Kak Ethan ada di sini untukmu." Elea terdiam menatapnya lalu tanpa sadar dia memeluk tubuh pria yang mengaku sebagai Ethan itu. Dia menangis kencang dan membiarkan Ethan mengusap rambut panjangnya. Namun, Elea tidak menyadari kalau tindakannya membuat lelaki lain terbakar rasa cemburu. Pria dengan setelan seragam sekolah itu tampak geram begitu dia melihat Elea berpelukan dengan pria lain daripada dirinya. Dia mengepalkan tangannya guna menahan gejolak emosi masa muda yang menguasai habis perasaannya. Dia menyimpan kedua tangannya ke dalam saku celana sambil berjalan mendekati Mamanya yang sedang mengusap air mata kesedihan,"Ma, aku pulang duluan, ya?" Alaina melirik putranya dan dahinya mengerut,"Kenapa, nak? Kita masih dalam suasana duka." Maxime sedikit berdecih, meski dia memang sedih karena kini Kak Sophia—ibunya Elea— meninggal, tapi kenyataan yang dia dapatkan sekarang malah membuat Maxime marah. Dia merasa kalau Elea tidak menganggapnya ada padahal selama ini Maxime adalah pria yang menjadi pelindung baginya. Lihat sekarang, Elea lebih senang berada di pelukan Ethan. Setelah pemakaman itu, akhirnya Stefan kembali membawa keluarganya pulang. Eleanor masih menangis meski suaranya teredam. Dia sangat diam seperti orang bisu bahkan ketika Alaina menyemangatinya, Eleanor tidak mengatakan apapun. ... Pagi itu—tiga hari setelah kematian Sophia— Eleanor kembali bersekolah. Hatinya masih merasa kesepian karena tidak ada lagi sosok seorang ibu yang akan menemani hari-harinya. Eleanor akan terbangun sendirian di dalam kamar, tidak ada seseorang yang akan menunggunya pulang ataupun menyanyikannya lagu selamat malam. Sekarang dia sendirian. Gadis berusia 17 tahun itu meraih seragam sekolahnya dan memakainya cepat. Elea menyisir rambutnya lalu dia mengambil tas. Ketika dia melangkah keluar, dia tidak sengaja melihat Maxime yang baru saja keluar dari kamar. Pria itu sudah rapi dengan seragam sekolah, tapi Eleanor yakin kalau nanti sore pakaian sekolah Maxime tidak akan rapi seperti pagi ini. Tipikal laki-laki. Eleanor hendak menyapa, tapi Maxime mengabaikannya. Pria itu lekas turun ke lantai bawah sambil menenteng tasnya di bahu kanan. Elea tidak tahu mengapa Maxime mendiamkannya akhir-akhir ini, tapi Elea tidak akan bertanya. Dia takut merusak suasana hati sahabat masa kecilnya. Gadis itu melangkah ke lantai bawah di mana dia mendapati keluarga Anderson tengah sibuk di ruang makan. Hari ini Queenie pindah ke sekolah yang sama dengannya karena gadis berusia 15 tahun itu tidak mau sekolah terpisah. Oleh sebab itulah, mengapa seragam sekolah mereka sama. "Se-Selamat pagi..." Sapanya dengan wajah malu. Dia masih belum terbiasa untuk sendirian, tapi Eleanor akan membiasakan diri. "Hai, Elea. Ayo duduk," Alaina tersenyum kepadanya lalu menunjuk kursi di sebelah Maxime yang kosong. Eleanor tak sempat untuk berpikir lagi, dia lantas mendudukkan dirinya tepat di samping Maxime yang sedang menyantap sarapannya dengan tenang. Gadis itu meliriknya sekilas sebelum perhatiannya tertuju kepada Ethan yang menyodorkannya roti isi,"Kau harus makan yang banyak, Elea. Tubuhmu kurus sekali, jangan kalah dari Maxime yang banyak makan." Elea tersenyum malu dan mengangguk. Sekali lagi dia melirik ke arah pria di sampingnya ini, tapi Maxime tidak mengatakan apapun. Biasanya setiap sarapan, Ethan dan Maxime akan bertengkar karena Ethan selalu menjahili adiknya itu. Namun, pagi ini terlihat sangat berbeda dari biasanya. Dia bertanya-tanya mengapa? Setelah selesai sarapan, mereka pun berangkat menuju tempat masing-masing. Ethan dan Elliot masih berkuliah, jadi mereka pergi bersama-sama menaiki mobil. Maxime pun mengendarai mobil milik Papanya. Karena Queenie masuk ke sekolah barunya hari ini, mereka pun pergi bertiga. Eleanor duduk di kursi depan, sedangkan Queenie di kursi belakang. Tidak ada percakapan selama mereka di perjalanan dan entah kenapa hal itu membuat Eleanor merasa sangat canggung. "Elea, apa menurutmu sekolah baru itu akan menyukai ku? Aku takut tidak punya teman," Tanya Queenie, sedikit memecahkan keheningan. "Kau pasti punya banyak teman, Queen. Percayalah," Jawabnya. Queenie mengangguk lalu dia kembali diam seperti tadi. Eleanor memegang ujung roknya dengan kencang karena dirinya pun selalu merasa ketakutan. Dia tidak punya teman di sekolah dan semua gadis di kelasnya mengejeknya karena tidak punya ayah. Eleanor takut kalau hari ini para gadis itu akan menyakitinya lagi. Beberapa saat kemudian, mereka pun sampai di sekolah. Queenie melambaikan tangannya setelah ia berhasil menemukan seorang guru yang akan mengawalnya ke dalam kelas baru, sedangkan Eleanor tampak mengejar Maxime yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Ia memberanikan untuk menyentuh bahu lelaki itu karena ingin memastikan apakah Maxime sedang marah padanya atau tidak? "Kau baik-baik saja?" "Hmm." "Ehm... Kau sudah buat pr? Hari ini dikumpul loh," Tanyanya. "Sudah," Jawabnya singkat. Tidak, Elea tidak nyaman dengan situasi ini. Kenapa Maxime menjawab singkat sekali? Di mana senyum pria itu? Kenapa beruang pelindungnya sangat diam hari ini? Eleanor memutuskan untuk tidak mengatakan apapun lagi. Dia masuk ke dalam kelas dan duduk di kursinya sendiri. Maxime sekelas dengannya, tapi pria itu duduk di paling pinggir— dekat dengan jendela. Eleanor menatapnya terus tanpa henti dan bibirnya tertekuk begitu melihat Stacy tiba-tiba mendekati meja Maxime dan tanpa tahu malu duduk di atas pangkuan pria itu. Ah, bukannya memang wajar? Baru dua hari ini Stacy dan Maxime berpacaran. Eleanor tidak sengaja mendengar perbincangan dari teman sekelasnya kalau Maxime dan Stacy berpacaran sejak dua hari yang lalu. Apa itu sebabnya dia menjauh dariku? Gadis itu menyampirkan rambut ke telinga. Dia menggeleng kecil lalu membuka buku pelajaran demi menghilangkan rasa nyeri yang mendera hatinya. Seharusnya Elea tidak boleh menyimpan perasaan ini. Dia tidak bisa mencintai sahabatnya sendiri. TBC A/N : Halo Sekali lagi, selamat datang di sini :). Akhirnya saya selesai liburnya hehe dan kita bisa ketemu lagi. Semoga kalian tetap suka
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN