26 September 2005
Pagi ini, sebuah kejadian aneh menimpaku di sebuah gedung yang seharusnya menjadi tempat kerja yang biasa. Aku tersesat, sungguh! Aku mencari jalan keluar yang tak kunjung kutemukan. Setiap lantai yang kusinggahi, pemandangan yang mengerikan menyambutku. Wajah-wajah pucat, tak kukenal, menatapku dengan sinis dan penuh kebencian. Seolah aku adalah gangguan di tengah kesibukan kantor yang mencekam.
Aku mundur, terkejut dan takut, ketika mereka mencoba mendekatiku. Sungguh, aku tak mengerti apa yang terjadi. Dengan cepat, aku berlari menuju lift, berharap bisa menemukan jalan keluar dari tempat terkutuk ini.
Lift membawaku ke sebuah ruangan yang berantakan, seperti belum selesai direnovasi. Debu dan puing-puing berserakan di mana-mana. Aku bingung, ingin kembali ke lift, tetapi sebuah bayangan menghentikanku. Seorang wanita berdiri di pinggir pembatas gedung, menghadap ke bawah. Dari belakang, aku merasa mengenalnya, meskipun aku tak bisa memastikan siapa dia.
Dengan suara gemetar, aku bertanya, "Nori...? Kamukah itu?"
Wanita itu menoleh. Wajahnya di selebungi mendung, ekspresinya sulit dibaca.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Nori?" tanyaku, mencoba mendekat dengan hati-hati.
Nori tidak menjawab, tetapi memandang jauh ke depan, seolah melihat sesuatu yang tak bisa kulihat.
"Nori...?" panggilku lagi, semakin takut. Firasatku mengatakan ini tidak baik.
Nori melangkahkan kaki, mencapai pinggiran pembatas. Apa dia akan bunuh diri? Tidak!
Panik, aku berteriak, "Nori! Jangan lakukan itu!"
Nori menghela napas panjang, lalu menoleh ke arahku. "Yeona, kamu bisa tolong aku?"
Keningku berkerut, minta tolong? Apa dia punya masalah?
Aku menjawab cepat,"Tentu saja, Nori! Ak... aku bisa nolong kamu. Tapi kita tidak bisa bicara kalau kamu berdiri di situ. Kamu mundur dulu...? Okay?" Aku berusaha membujuknya agar dia tidak melakukan hal di luar nalar.
"Tidak... Kamu tidak bisa... " Nori menggeleng lemah, putus asa.
"Kenapa tidak, Nori?" tanyaku khawatir, jantungku berdetak lebih kencang.
"Karena kamulah dalangnya..Yeona." lanjut Nori. tatapannya tak biasa.
Aku terkejut."Apa maksudmu...? Aku tidak mengerti..."
Akulah dalangnya? Kenapa dia bilang begitu? Apa salahku hingga dia mau bunuh diri?
Tiba-tiba, fokusku teralihkan oleh sebuah bayangan gelap yang mendekati Nori dari belakang. Aku tercekat, ingin berteriak memperingatkan Nori, tetapi mulutku tiba-tiba kelu.
Dan belum sempat aku berpikir, bayangan itu mendorong Nori hingga jatuh dari ketinggian gedung.
Aku menjerit histeris,"Nori....!"
***
Aku terbangun dengan napas ngos-ngosan dan keringat bercucuran. Bahkan dering alarm yang terlambat berbunyi pun mengagetkanku. Aku terus berpikir, apa maksud mimpiku itu? Setahuku, teman kantorku, Nori, memang sedang sakit, tetapi tidak parah, hanya flu saja. Tapi bayangan dirinya yang jatuh dari gedung itu terlalu nyata. Aku mencoba menepisnya dan memaksakan diri untuk menjalani rutinitas pagiku. Ada meeting penting, tidak boleh terlambat.
Namun, setibanya di kantor, aku merasakan suasana mencekam yang tak seperti biasanya. Seolah aku kembali kepada suasana dalam mimpi itu. Park Dowon, yang biasanya ceria dan penuh semangat, duduk di sebelahku dengan wajah muram. Dengan suara berbisik, nyaris tak terdengar, dia bertanya, "Yeona, apa kamu sudah dengar kabar?"
"Kabar baik atau buruk nih? Jangan bilang kita tak jadi meeting karena bos..." Aku mencoba bercanda, membuat tanda kutip di udara dengan jari-jari gemetar, berharap bisa mencairkan suasana yang mencekam ini.
Dowon menggelengkan kepala perlahan, matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. "Yeona, bukan Bos... tapi Nori."
"Nori? Ad .... Ada apa?" Jantungku berdebar kencang, seolah hendak meledak dari d**a. Aku seketika ingat dengan mimpiku, bayangan Nori yang jatuh, wajah-wajah pucat di gedung itu. Perasaan gelisah dan takut semakin mencengkeramku.
Dengan suara pelan, seperti bisikan dari alam baka, Dowon berkata, "Nori... ditemukan meninggal di apartemennya tadi pagi."
Aku mengerutkan kening, tak percaya. "Meninggal? Apa maksudmu? Dia kan cuma sakit flu?"
Dowon menghela napas. "Sepertinya bukan cuma flu. Polisi menemukan botol obat flu yang sudah kosong dan berserakan di dekat jenazahnya. Juga... ada catatan dari psikolog. Katanya, Nori memang sedang dalam kondisi yang kurang baik beberapa waktu belakangan ini."
Aku mendadak pusing dan mual. Pandanganku kabur, dunia terasa berputar dengan liar di sekelilingku. Aku ingat mimpiku semalam, bayangan Nori yang jatuh dari ketinggian. Apakah ini semua ada hubungannya? Catatan psikologi? Apa itu artinya Nori minta tolong padaku, dia punya masalah? Apa ini adalah firasatku? Dan sejak kapan Nori punya masalah mental?
Sepanjang hari itu, pikiranku melayang. Pekerjaan di depan mata terasa hampa, tak ada satu pun yang bisa kuproses. Setiap kali mencoba fokus, bayangan Nori, mimpiku, dan ucapan Dowon tentang psikolog terus berputar di kepala. Waktu seolah berjalan sangat lambat, namun tiba-tiba saja jam sudah menunjukkan waktu pulang.
Dowon mendekatiku, wajahnya masih menyiratkan kesedihan.
"Yeona, apa kamu mau ikut bersamaku melayat ke rumah duka?"
Aku mengangguk lemah dan menjawab lirih, "Ya... tentu saja, Dowon." Lalu aku membereskan semua file dan memasukkannya ke dalam map. Nori itu sahabatku sejak kuliah. Dia gadis yang baik dan sangat berempati. Pekerjaanku di perusahaan ini pun atas rekomendasinya. Aku masih belum percaya kalau dia sudah pergi selamanya. Banyak kenangan yang telah kami lewati bersama. Mengingat itu semua membuat hatiku semakin sedih, tak terasa butiran air mata bergulir ke pipiku. Aku mengusapnya pelan. Sungguh, aku tak siap kehilangan sahabat sebaik dia.
Kemudian aku dan Dowon berjalan berdampingan dalam diam ke luar dari ruang kerja menuju tempat parkir. Udara sore terasa dingin menusuk kulit. Aku menggigil, bukan hanya karena suhu, tapi juga karena perasaan aneh yang mencengkeram hatiku. Yang terdengar hanya suara langkah kaki yang menggema di parkiran sepi.
Di perjalanan, dalam mobil, Dowon menyalakan radio, tapi tak ada satu pun lagu yang bisa menenangkan suasana. Yang ada hanya suara penyiar yang berceloteh tentang berita-berita yang tak penting.
Lalu saat penyiar itu menyiarkan berita kematian Nori, aku buru-buru mematikan radio. Berita itu berbunyi, "Hwang Nori, seorang wanita berusia 26 tahun, ditemukan meninggal dunia di apartemennya pada pukul 03.00 dini hari tadi. Dugaan sementara, Hwang Nori meninggal dunia akibat serangan jantung. Di lokasi kejadian ditemukan sejumlah obat-obatan, termasuk obat flu dan penenang, namun belum dapat dipastikan apakah almarhumah sempat mengonsumsinya sebelum meninggal. Saat ini, jenazah Hwang Nori telah disemayamkan di rumah duka dan pihak kepolisian masih menyelidiki lebih lanjut penyebab pasti kematiannya."
"Hmm..." Dowon berdeham pelan, mencoba membuka percakapan tapi terlihat ragu.
Hening. Aku tidak bisa bicara. Setiap kata terasa berat, palsu, dan tidak berguna. Bernapas pun sulit. d**a sesak. Aku hanya bisa diam.
Sesampainya di rumah duka, aroma dupa langsung menyambut kami. Suasana ramai oleh pelayat yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Aku melihat keluarga Nori duduk di dekat peti jenazah, wajah mereka sembab karena menangis. Aku mendekat dan membungkuk memberi hormat, lalu ikut duduk di samping mereka.
Ibu Nori menatapku dengan mata merah. "Yeona, terima kasih sudah datang... Kalian berteman sudah lama. Nori pasti senang kamu ke sini..."
Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman tipis. Wanita paruh baya itu pasti sangat sedih kehilangan anaknya. Apa yang bisa kukatakan? Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Nori.
Dowon menghampiriku dan berbisik pelan, "Yeona, kamu mau minum apa, kuambilkan..."
Melihat Dowon, ayah Nori yang duduk di sebelah istrinya, menimpali, "Terima kasih, Nak Dowon, sudah meluangkan waktu datang."
Dowon mengangguk hormat lalu pamit mengambil minuman.
Sepeninggal Dowon, aku memberanikan diri bertanya pada mamanya Nori apa yang sebenarnya terjadi. "Tante, aku sangat terkejut Nori ... " Aku melipat bibir sedikit ragu melanjutkan, "Apa yang telah.... terjadi?"
Ibu Nori memandangku nanar lalu dia terisak. Wanita itu menjawab dalam sesegukan, "Nori hanya sering mengeluh sakit kepala belakangan ini. Dia.... juga bilang dadanya sering sesak. Aku tidak tahu, apa ini karena sakit flu yang dia derita atau ada sebab lain..."
Adik Nori yang duduk di sebelah, mengelus punggung ibunya, dia ikut menimpali dengan suara bergetar, "Kakak akhir-akhir ini sering murung dan sering menyendiri, dia seperti punya beban berat tapi tidak pernah cerita. Jika ditanya, dia selalu bilang dia baik-baik saja."
Aku terdiam tapi di dalam hati membatin.
Mengapa Nori tidak pernah cerita padaku? Biasanya dia selalu terbuka padaku.
Pikiranku bergejolak. Sakit kepala, murung, menyendiri... Semua itu terlintas begitu saja. Apakah aku buta? Atau terlalu bodoh untuk melihatnya? Nori menderita, dan aku tidak tahu apa-apa. Sekarang, rasa bersalah menghantuiku.
Dowon kembali dengan dua gelas air mineral, menyerahkan satu padaku. Dia bertanya padaku apa aku baik-baik saja. Mungkin gestur wajahku tersirat kebingungan.
Aku mengangguk pelan, meskipun rasanya tidak. Tenggorokanku terasa kering, bukan hanya karena haus, tapi juga karena emosi yang menyesakkan.
Ibu, ayah, dan adik Nori berdiri memberi hormat pada tamu yang datang.
Aku berbisik pada Dowon yang mengambil tempat duduk di sebelahku. "Dowon... Entah kenapa aku merasa bersalah. Sebagai sahabat, aku tidak tahu apa pun tentang Nori padahal hampir setiap hari aku bertemu dengannya."
Dowon menggenggam tanganku erat, mencoba menenangkan. "Yeona, aku paham perasaanmu. Tapi ada kalanya seseorang lebih suka menyimpan masalahnya rapat. Don't feel guilty. Bukan salahmu..."
Kami diam dan menunduk, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Ayah Nori tiba-tiba berkata, "Yeona, Dowon, Nori sering bercerita kalau kalian adalah tim solid di kantor. Dia bilang kalian adalah sahabat yang baik. Dari ceritanya, aku tahu kalian berdua sudah seperti saudara baginya." Pria itu mengusap air mata yang bergenang di sudut mata. Seberapa pun dia berusaha tegar, tetap saja rapuh dihimpit kesedihan.
Ibu Nori mengelus punggung tangan suaminya sambil menatap kami dan berkata, "Terima kasih sudah menjadi teman yang baik buat Nori..."
Air mata jatuh tak terkendali. Aku terisak. Nori, sahabatku. Bagaimana bisa aku sebodoh ini? Seharusnya aku lebih peka! Kenapa aku begitu lalai? Pertanyaan-pertanyaan itu menusukku tanpa ampun. Aku menatap peti itu. Kayu mati. Keheningan yang menusuk. Tidak ada jawaban. Hanya penyesalan yang menggema.