Sang Pewaris-1

1418 Kata
"Tolong ini kamu fotocopy seratus lembar." "Ini kamu simpan di dalam ruang file." "Dokumen ini kamu berikan ke divisi purchasing." "Oh, iya. Sekalian buatkan kopi untukku." "Makan siang nanti belikan aku nasi padang lauk rendang." "Aku juga nasi campur dengan ayam goreng." Dan masih banyak lagi suara yang saling bersahut-sahutan singgah di telinganya. Belum lagi tumpukan file yang melebihi d**a berada dalam dekapan tubuh kurusnya. Ia menghela napas berat. Diam dan memejamkan mata untuk sesaat. Berpikir akan sampai kapan dia bertahan dalam situasi yang seperti ini. Menjadi pesuruh bagi mereka-mereka yang tidak mempunyai hati nurani. Andaru Dewangga. Pria berusia dua puluh enam tahun itu sebenarnya sudah lelah dengan rutinitas yang ia lakukan selama ini. Namun, dia bisa apa? Melawan akan takdir dan jalan hidupnya pun tak mungkin. Mana berani ia memprotes dengan apa yang rekan kerjanya perintahkan. Hanya menurut dan meng-iyakan sekalipun apa yang dia kerjakan ini bukanlah tugasnya. Bekerja di kantor ini sebagai seorang staff biasa lebih tepatnya di bagian administrasi. Tak seharusnya mereka-mereka menyuruh Andaru ini dan itu. Seperti meminta kopi misalnya. Itu adalah tugas office boy atau office girl. Bukan tugas staff seperti Andaru. Entah kenapa mereka semua tega sekali berbuat hal demikian pada Andaru. Apa karena Andaru adalah pria cupu yang cocok untuk menjadi bahan bully-an? Ya, Andaru sudah kenyang di-bully sejak dirinya masih kecil. Jadi, seolah dia sudah tidak kaget lagi akan semua perlakuan yang diterima. Memilih mengalah saja. Pria itu membenarkan letak kacamata dengan satu tangan, sementara tangan yang lain masih berusaha menopang beban dari barang yang ada di tangan. Melangkahkan kaki meninggalkan ruangan menuju tempat fotocopy. Ada banyak berkas yang harus ia perbanyak jumlahnya sesuai perintah salah satu rekan kerjanya. Tak mengapa. Ia akan melakukan semua ini dengan lapang d**a. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengerjakan apa yang bukan menjadi tugasnya. Sampai-sampai pekerjaannya sendiri harus terbengkalai. Dan hal seperti inilah membuat Andaru harus lembur dan pulang melebihi jam kerjanya. Demi menyelesaikan apa yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Jam delapan malam ketika Andaru selesai mengerjakan semua laporan penjualan. Mematikan komputer lalu membereskan meja kerja dari tumpukan file yang tadi selesai ia kerjakan. Setelahnya Andaru meninggalkan meja kerjanya menuju lobi untuk absen di mesin check lock. Ketika sedang berjalan dengan menunduk itulah tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Seorang perempuan lebih tepatnya. "Kalau jalan pakai mata! Jangan nunduk!" Bentakan disertai dengan kibasan tangan wanita pada bajunya yang baru saja tertabrak tanpa sengaja oleh Andaru. Dengan mulut menganga Andaru mengerjab-ngerjabkan mata demi melihat kecantikan wanita di hadapannya. Ya, Tuhan. Bidadarinya begitu cantik sekali. Dengusan keras juga suara hentakan high heels yang menggema di atas lantai menyadarkan Andaru jika wanita yang ia kagumi telah pergi meninggalkannya. Andaru yang masih terpesona enggan meninggalkan tempat. Bahkan hidung yang sebenarnya mancung milik Andaru mengendus-endus aroma parfum yang masih tertinggal. Meraup sebanyak-banyaknya sampai memenuhi paru-paru. Punggung wanita itu semakin tak terlihat lagi, akan tetapi senyuman di bibir Andaru tak juga sirna. Miranti Sasha Arashi. Manager Publict Relation sekaligus anak pemilik perusahaan tempat Andaru bekerja saat ini. Arashi Building, sebuah perusahaan keluarga yang bergerak di bidang property. Melingkupi penjualan tanah, rumah juga apartemen. Perusahaan besar tempat Andaru mengais rejeki selama tiga tahun ini. Sebenarnya perusahaan ini cukup bagus dan kesejahteraan karyawannya juga terjamin. Hanya satu yang membuat Andaru terkadang merasa tidak betah dan ingin resign saja untuk mencari pekerjaan baru. Yaitu para karyawan khusunya tim satu divisi dengannya. Rekan kerja yang seharusnya bisa bekerjasama dengan baik dalam menyelesaikan tugas. Namun, nyatanya yang ada justru sebaliknya. Hanya menjadikan Andaru kambing hitam juga orang yang selalu mereka bully. Mentang-mentang Andaru adalah pria pendiam sekaligus cupu mereka dengan sesuka hati menginjak-injak harga diri seorang Andaru. Pernah Andaru melawan. Justru yang ia dapat adalah sebuah ancaman. Tak hanya ancaman dari segi karir tapi juga keselamatan. Sungguh, jika sudah mengancam keselamatannya juga keluarga, Andaru akan memilih mengalah. Bukan ia takut atau tidak berani. Lebih pada kasih sayangnya terhadap ibunya. Ya, hanya ibu yang Andaru punya sehingga Andaru harus bertahan demi wanita yang sangat dicintainya itu. Wanita yang telah melahirkannya ke dunia dan wanita yang telah membesarkan dia di tengah kesulitan hidup yang menerpa. Dan Andaru yang pada akhirnya merelakan dirinya tak dihargai juga di-bully oleh rekan-rekan kerjanya. Hanya satu kata yang selalu Andaru ingat. Sabar. Andaru tersadar begitu saja dan kembali pada apa yang baru saja terjadi. Pesona seorang Miranti yang sanggup menjungkir balikkan hatinya. Dengan menggeleng-gelengkan kepala. Merasa lucu dengan sikap dan tingkah lakunya sendiri. Mengagumi seorang wanita sampai separah ini. Dan bukan wanita sembarangan yang ia sukai. Namun, Andaru tak akan mundur atau menghilangkan rasa sukanya. Karena hati telah memilih dan Andaru siap berjuang demi mendapatkan cintanya. Parkiran kantor jam setengah sembilan malam. Andaru memukul motor matic yang selalu menemani pergi ke mana-mana. "Kempes lagi. Sialan!" Pria itu mengumpat sembari menendang ban motor bagian belakang. Hal yang sangat melelahkan dari semua runtutan kejadian yang telah terjadi dalam satu hari ini. Bukan sekali ini saja Andaru mendapati kejadian tidak mengenakkan seperti ini, tapi sudah berkali-lali. Andaru pun juga tidak pernah mau repot mencari siapa pelakunya. Tentu saja ban motornya tak akan bisa kempes begitu saja jika tidak ada orang usil yang dengan sengaja membuka tutup lubang angin ban motornya. Daripada sibuk mencari kesalahan orang lain Andaru memilih menuntun saja motornya keluar dari area parkiran kantor. Mencari bengkel terdekat yang masih buka. Namun, kesialan lebih suka mengikutinya karena setelah berkilo-kilo jauhnya dia berjalan barulah Andaru menemukan sebuah bengkel yang masih buka. Bahkan keringat kini sudah membasahi kemeja yang ia kenakan. Tetap bersyukur setidaknya ia masih bisa mendapat pertolongan dan motor yang tadi hanya bisa dia dorong, sekarang sudah dapat dinaiki lagi. Jam sepuluh malam, motor yang sudah bisa kembali berjalan normal berhenti tepat di depan rumahnya. Tanpa Andaru mengetuk pintunya pun Arimbi sudah langsung membukanya. "Kenapa malam sekali pulangnya, Ndaru?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan raut wajah kelegaan. Merasa cemas menanti sang putra yang tak kunjung pulang. Arimbi mengambil alih tas ransel yang biasa Andaru bawa ketika pergi bekerja. Mengusap pelan bahu sang putra lalu menggandeng lengan Andaru masuk ke dalam rumah. "Tadi Ndaru lembur, Bu. Dan ketika pulang ternyata ban motornya kempes. Ya, sudah. Ndaru ke tukang tambal ban dulu tadi." "Ya, Tuhan, Nak. Kamu pasti capek sekali. Sekarang pergi mandi. Ibu hangatkan makanan untukmu." Andaru mengangguk. Meninggalkan sang ibu masuk ke dalam kamarnya. *** Hari Prasetya, pria berusia enam puluh tahun itu baru saja pulang dari rumah sakit. Menemui dokter pribadinya. Ya, kesehatan Hari memang semakin memburuk setiap harinya. Penyakit komplikasi yang diderita selama ini bukannya sembuh tapi justru semakin parah. Bukan Hari tidak pernah berobat. Pria paruh baya itu bahkan sampai berobat ke luar negeri demi kesembuhanya. Usaha yang Hari lakukan adalah agar dia mampu bertahan hidup lebih lama lagi. Sungguh Hari tak akan tenang sebelum semua keinginannya terwujud. Amanat yang sudah dua puluh lima tahun ia dapat dari seorang sahabat belum juga kunjung terlaksana. Entahlah, kenapa begitu sulit sekali dia mencari keberadaan seseorang yang hingga kini belum jua ia temukan. Dengan langkah lunglai Hari kembali masuk ke dalam mobilnya dan ingin segera pulang menuju rumahnya. Ia sangat lelah sekali. Beruntung ada sopir pribadi yang siap sedia mengantarkan ke mana pun perginya. "Kita ke mana lagi, Pak Hari?" Tanya sopir pribadinya dengan menatap Hari melalui kaca spion. "Langsung pulang saja." "Baik, Pak." Satu jam perjalanan karena dihadang oleh kemacetan jalanan. Sampai di rumah sudah larut malam. Istri yang telah lima belas tahun ini mendampinginya menyambut kedatangan Hari dengan suka cita. Istri kedua lebih tepatnya karena dulu Hari juga pernah menikah sebelumnya. "Pa ... baru pulang?" "Iya." Perempuan itu membantu melepas jas yang melekat di tubuh Hari Prasetya. Seharusnya di usia kepala enam seperti ini sudah saatnya Hari mengurangi semua kesibukannya, bukan tetap bekerja keras seperti ini. "Apa papa jadi ke rumah sakit tadi?" "Jadi." "Bagaimana hasilnya?" "Aku mandi dulu. Nanti aku akan ceritakan semua padamu." Perempuan itu tersenyum mengekori Hari masuk ke dalam kamar. Meski usia pernikahan sudah beberapa tahun tak pernah mengurangi kadar keharmonisan mereka berdua. Menikah ketika sama-sama menyandang status duda dan janda. Tak menyurutkan untuk menyatukan cinta keduanya. Meski dari pernikahan tersebut mereka tak dikaruniai seorang anak. Selesai mandi dan makan malam, Hari tengah duduk santai di ruang keluarga. Banyak hal yang harus dia bicarakan bersama sang istri tercinta. "Pa ... mulai sekarang Papa tidak boleh banyak pikiran. Kesehatan Papa adalah yang utama." "Aku tahu. Hanya saja hidupku tidak akan tenang jika amanat dari Satria belum tersampaikan." Hari menerawang jauh di masa lalu. Hidupnya bisa seperti ini juga karena sahabat yang bernama Satriawan. Hidup berkecukupan sampai Hari menemukan kembali wanita yang mau menemaninya hingga saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN