2. Mainan Baru

1264 Kata
"Hidupku sangat sial!" cicit Cinta dengan tatapan menerawang ke arah lautan lepas di hadapannya. Kini mereka berdua tengah bersantai di balkon villa dengan pemandangan laut lepas dengan kilaunya yang indah. Andai Nathan tidak menolongnya tentu saat ini Cinta sedang terombang-ambing di sana meregang nyawa. Tapi memang itulah keinginan cinta saat ini. Mengakhiri segala penderitaan dalam hidupnya. Membebaskan kakek dan neneknya dari segala masalah yang selama ini diciptakannya. Cinta ingin meringankan beban kedua orang tua renta itu yang selama ini merawatnya. Namun dirinya gagal berbakti, justru luka yang selalu ia berikan kepada mereka berdua. "Hidupku justru sebaliknya," sahut Nathan seraya tersenyum menatap wanita di sampingnya. "Sangat sempurna karena aku selalu mensyukuri semua yang telah Tuhan berikan kepadaku," imbuh Nathan dengan santai. Ucapan Nathan berhasil mengundang tawa kecil Cinta. Jawaban pria itu seakan menampar dirinya yang selama ini selalu meratapi nasib. Cinta bahkan merasa jika kehadirannya di dunia ini hanyalah sebuah kesialan dan bencana bagi orang-orang di sekitarnya. "Bahkan disaat aku sedang menikmati masa hukuman saja Tuhan mengirimkan bidadari cantik kepadaku." Kembali Nathan melontarkan kalimat yang membuat Cinta meloloskan tawanya lagi. "Really?" balas Cinta sembari membalas tatapan Nathan. Sepasang netra hazel itu seolah menarik Cinta ke dalam suatu pusaran rasa asing. Lebih tepatnya misterius. Tapi dibalik itu ada kehangatan yang memancar dari sana. "Ya, tentu saja. Bahkan aku sedang berbincang-bincang dengannya sekarang," jawab Nathan dengan seringai nakal. Kali ini tawa Cinta berderai cukup keras. Ternyata selera humor pria di sampingnya lumayan mampu menghibur hatinya yang sedang dilanda rasa sakit karena patah hati. "Pasti sudah tak terhitung lagi wanita yang telah kamu kencani," imbuh Cinta dengan seringai sinis di sisa tawanya. "Ya begitulah. Aku adalah pecinta wanita," jujur Nathan tanpa melepaskan pandangan dari objek di sampingnya. Dari sekian banyak wanita yang pernah dekat dengannya hanya Cinta lah yang berhasil membuat hatinya berdesir. Sebuah rasa asing menyelinap perlahan dalam relung hati yang tentu saja sangat disadarinya. Nathan sendiri tak mampu membohongi diri sendiri jika wanita itu sangat menarik. Seperti sebuah magnet yang begitu kuat menarik seluruh perhatiannya dari seluruh keindahan dunia. Tentu bukan hanya sekadar keelokan parasnya saja karena semua wanita yang pernah dikencaninya pun memiliki kecantikan khas mereka masing-masing. Bukan pula karena tubuhnya yang seksi saja yang membuat Nathan enggan berpaling menatapnya, karena semua wanita yang pernah menjadi penghangat ranjangnya pun sama. Tapi... Ada sesuatu yang begitu menarik pada diri Cinta di mata Nathan. Entahlah, Nathan sendiri tak mampu mendeskripsikan rasa asing yang hadir begitu saja tanpa ia minta tersebut. "Sudah kuduga," sahut Cinta yang kembali menatap ke arah lautan lepas. Mana mampu Cinta membalas tatapan mata pria penuh pesona di sampingnya. Jangan sampai dirinya terjebak asmara dengan pria asing yang baru beberapa jam lalu dikenalnya. "Oya?" kekeh Nathan yang merasa semakin ingin lebih kenal dengan wanita itu. Cinta mengedikkan kedua bahu lalu kembali berujar, "Tapi itu lebih baik daripada menjadi laki-laki munafik yang selalu bersikap baik dan manis di depan orang lain tapi menusuk dari belakang." Nathan tersenyum penuh arti. Kini ia mengerti alasan mengapa wanita itu berada di sini dan ingin mengakhiri hidupnya. Semua hanya karena cinta. Itulah sebabnya Nathan tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita dalam kurun waktu yang cukup lama. Nathan tidak ingin diperbudak oleh cinta hingga membuatnya lupa daratan dan menghalalkan segala cara demi bisa bersama dengan wanita tersebut. Tapi rasa untuk wanita yang saat ini bersamanya terasa sangat berbeda. Nathan justru ingin memiliki waktu lebih panjang untuk berada di sisi Cinta. Baru saja Nathan hendak kembali membuka kata saat ponsel dalam saku kemeja yang dikenakannya berdering. Gegas Nathan memeriksa siapa yang meneleponnya. Melihat nama saudara kembarnya tertera di sana Nathan segera meminta izin kepada Cinta. "Sorry aku harus pergi sekarang," pamit Nathan beranjak dari tempat duduknya. Cinta lantas mengangguk seraya mengulas senyuman. Senyuman tulus yang berhasil membuat Nathan tertegun sesaat. Manis. Sangat manis. "Sampai bertemu nanti malam," sambung Nathan tanpa sedikitpun mengalihkan perhatiannya. Mengabaikan ponselnya yang kembali berdering. "Buruan diangkat!" Sahut Cinta turut beranjak. Nathan terkesiap lalu kembali menatap layar ponselnya yang sedang berdering. "Nanti akan seseorang yang mengantarkan pakaian ganti untuk kamu. Sampai bertemu nanti malam," ucap Nathan lalu segera pergi tanpa menunggu tanggapan dari Cinta. Setelah Nathan pergi wanita itu masuk ke dalam kamar. Lalu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang empuk yang sejak tadi menggoda dirinya. Perasaan nyaman seketika memeluk tubuh Cinta yang terasa lelah. Memanjakan hatinya yang rapuh. Kedua tangan Cinta terbentang, lalu secara perlahan menyapu sisi kosong di sampingnya. Begitu halus dengan aroma wangi yang lembut memenuhi indera penciumannya. Mata Cinta memejam, menikmati segala fasilitas mewah yang untuk pertama kali didapatkannya. Mana mungkin gadis miskin seperti dirinya mampu membayar villa mewah seperti ini. Bahkan gaji sebagai cleaning service di tempat kerjanya setahun saja tidak akan cukup untuk menyewa villa yang saat ini ditempatinya. Dada Cinta bergerak naik. Berhenti sejenak sebelum suara hembusan napas secara perlahan lolos dari sela bibir tipisnya. Dua bola mata cantik bak boneka barbie itu lalu terbuka. Tertuju pada kain putih yang terbentang di atasnya. Ranjang dengan kelambu putih menjuntai yang pada setiap sisinya terikat, vas berisi bunga tulip di atas nakas, dan lampu kristal di tengah kamar memberikan kesan modern dan berkelas. Jauh dan tak sebanding dengan kamar hotel tempatnya berbulan madu bersama Ega. Ya.. Seharusnya dua hari lalu adalah hari paling membahagiakan baginya dan Ega. Pria yang seharusnya kini berstatus sebagai suaminya. Seharusnya hari ini adalah hari paling indah untuk mereka berdua. Menghabiskan malam pertama di kamar hotel romantis yang telah mereka sewa sebulan sebelum acara resepsi pernikahan mereka yang digelar tiga hari lalu. Menikmati sunset di Pantai Kuta sembari bergandengan tangan. Dengan saling mengulas senyuman bahagia yang selalu terukir di bibir pasangan pengantin baru pada umumnya. Tapi, kini semuanya hanya tinggal kenangan yang tak perlu lagi untuk dikenang. Kenangan buruk yang tak layak untuk diingat lagi. Jika perlu Cinta ingin membenturkan kepalanya dengan keras agar mengalami amnesia karena dengan begitu dirinya tak perlu lagi meratapi nasibnya yang selalu dalam kesialan. Kebahagiaan yang seolah tak pernah ingin sekalipun berpihak kepadanya. "Seharusnya aku bisa menikmati fasilitas hotel yang telah aku sewa. Mengapa harus berada di sini?" Monolog Cinta ketika tersadar jika dirinya justru berada di villa mewah yang disewa oleh laki-laki asing yang baru dikenalnya tadi. "Tapi.. Bukankah aku jauh-jauh datang ke sini memang hanya untuk melupakan semua yang telah terjadi?" gumam Cinta lagi. Tiba-tiba senyuman terulas di bibir Cinta seraya berujar, "Ok, aku akan bersenang-senang hari ini. Dan besok pagi aku akan pergi dari sini. Bukankah ini sebuah keberuntungan bagiku bisa bertemu dengan pria tampan dan kaya?" *** "Bos saya harap Anda tidak membuat masalah," peringat Aris asisten Nathan. Nathan yang tengah merapikan rambutnya mengulas senyuman seraya menatap Aris yang terlihat serius dari balik cermin di hadapannya. Bukannya menjawab Nathan kembali melanjutkan kegiatannya dengan santai sehingga membuat Aris mulai merasa kesal. Sikap seenaknya sendiri itulah yang membuat mereka berdua kini terisolasi di kota ini. "Kalau Pak Arfan sampai tahu Anda kembali bersama wanita beliau pasti akan menambah hukuman yang lebih berat lagi," imbuh Aris seraya melangkah mendekati Nathan. Pria egois itu bukan hanya sekadar bos bagi Aris. Tetapi sudah seperti saudara sendiri. Mereka tumbuh dewasa bersama. Ayah Aris adalah tangan kanan Arfan, papi Nathan. Dan sejak satu tahun terakhir dirinya bertugas sebagai asisten pria menyebalkan itu. "Jika kamu nggak lapor Papi nggak bakal tahu," sahut Nathan seraya berbalik badan dengan seringai khasnya. Aris menghela napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri dengan sikap egois Nathan. Bagai menenggak racun mematikan jika dirinya sampai lapor. Karena bukan hanya dirinya yang akan terkena getahnya, melainkan ayahnya juga. "Kali ini aku mendapatkan mainan yang sangat spesial," ucap Nathan yang kini berdiri di samping Aris. "Jadi, kamu jangan ikut campur, Ris!" sambung Nathan lalu pergi begitu saja meninggalkan Aris.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN