Seharusnya Tidak Seperti Itu

3252 Kata
            Theo melongo. Dalam beberapa detik kesabarannya terkikis habis. Sementara itu, matanya menyipit. Mengawasi. Gerombolan mencurigakan itu masih di sana, menunggu di sebuah jalan sempit. Wajah mereka garang dan juga marah. Salah seorang dari mereka yang memiliki embel-embel –sama sedang duduk manis di atas sebuah kursi lipat. Matanya menyipit malas, di antara jari telunjuk dan tengahnya terselip rokok yang sedang mengebulkan asap. Kalau saja ini bukan jalan pulang satu-satunya, mungkin dia sudah kabur sejak tadi. Theo bisa segera pergi sebenarnya, namun ia tidak melakukan itu. Penasaran sudah menguasainya lebih dulu. Satu orang terlempar ke arah Ryu setelah itu. Orang itu babak belur, berdarah, dan merangkak bersujud di kakinya. Theo merinding. Pergi, Theo! Pergi! Ketika hatinya mengatakan itu, otaknya enggan bekerja. Dia tidak bergeming dari sana. Tubuhnya menempel di tembok, sementara matanya mengintip takut. Dia ingin pergi, tetapi kakinya enggan beranjak dari sana. Theo tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, namun rekaman kejadian itu sudah dia simpan di otaknya. Awalnya lelaki babak belur itu berteriak sambil menangis. Lalu Ryu tersenyum geli, terbahak kencang. Dia menendang rusuk lelaki itu lagi. Brutal dan penuh kemarahan. Lamat-lamat Theo mendengar Ryu bicara soal otou-san dan sejenisnya. Ryu tahu itu artinya Ayah. Theo kecil selalu memanggil ayahnya seperti itu. Mata Theo kembali mengawasi, hingga akhirnya Ryu mengeluarkan sesuatu dari balik jaket tebalnya. Sebuah pistol. Theo menegang di tempatnya. Tidak! Tidak! Namun terlambat. Pistol itu terarah pada kepala si lelaki babak belur tadi. Theo melotot, tak bergerak. Suara pistol itu tidak sekencang yang biasa dia lihat di televisi. Entah apa yang mereka lakukan pada pistol itu Theo tidak tahu. Yang jelas, lelaki babak belur itu sudah tergeletak bersimbah darah. "Hmpphh..." Theo ingin berteriak saat itu juga, namun dia sadar apa yang akan terjadi kalau dia melakukannya. Telapak tangannya membekap mulutnya sendiri. Tubuhnya gemetar. Ini pertama kalinya dia melihat pembunuhan di depan matanya langsung. Larilah, Theo! Lari! Sebelum mereka mengejarmu lalu membunuhmu. Kau adalah saksi dari perbuatan mereka, jadi tidak mungkin mereka melepaskanmu semudah itu. Lari! Lari! Theo bergerak gusar, lalu berlari kencang. Suara derap langkah terdengar di belakangnya. Mereka mengejar! Theo mempercepat langkahnya, berlari dan terus berlari. Dia sampai di cafenya lagi. Napasnya habis. Tubuhnya terengah-engah tak berdaya. Dalam beberapa detik, tubuhnya limbung. Theo pingsan. *** Seharusnya tidak sesulit ini. Seharusnya Theo tidak berurusan lagi dengan mereka. Awalnya dia tidak tahu seberapa berbahayanya mereka. Theo kira Yakuza adalah segerombolan preman yang suka menarik iuran keamanan dan sejenisnya. Kegiatannya hanya bertengkar dan juga menguasai wilayah. Polisi akan menangkap mereka saat itu. Tetapi, ternyata tidak semudah dan sesederhana itu. Para Yakuza itu masih berkeliaran, masih tertawa tanpa beban. Juga masih berkunjung ke club malam tempatnya bekerja. Theo masih gemetar tiap kali mengingat kejadian kemarin. Dia ditemukan pingsan di teras club. Managernya membawa ia masuk setelah itu dan bertanya apa yang terjadi. Tetapi Theo bungkam. Dia pulang setelah itu, kembali ke kosnya dan memejamkan mata meski sulit sekali. Akhirnya dia berangkat lebih awal daripada sebelumnya hanya untuk menghindari kejadian serupa. Meskipun dia tidak tahu bagaimana caranya pulang nanti. "Apa kau baik-baik saja?" Managernya masih menghampiri Theo sesekali. "Pulanglah kalau memang sakit. Aku akan beritahu ibumu." Theo menggeleng kencang. "Tidak! Tolong jangan katakan apapun pada ibuku. Aku tidak ingin dia panik." Theo menjawab pelan. Ia diam di dapur, mengelapi gelas dan piring di sana. Nyatanya, dia tidak bergerak. Tidak ingin pergi dari tempat itu barang sekejap pun. Dapur adalah tempat paling aman sekarang. Jelas lebih aman karena dia tidak harus bertemu dengan Ryu dan yang lain. Lalu ingatannya kembali berputar pada tragedi bir waktu itu. Lagi-lagi Theo gemetar panik. Waktu itu dia tidak tahu, jadi dia santai saja berhadapan dengan Ryu. Padahal waktu itu ia sedang menggali kuburnya sendiri. Ia ceroboh dan juga... bodoh. "Hei, Theo! Bisa gantikan aku sebentar?" Ken memanggilnya tiba-tiba. Theo menoleh spontan. Ken adalah salah satu temannya di sini. Meski logatnya aneh ketika menggunakan bahasa Inggris, namun setidaknya Theo mengerti dengan apa yang dia katakan. "Apa?" "Aku ingin ke kamar mandi. Bisa tolong bereskan meja nomor sepuluh?" Theo berdiri, lalu mengintip meja nomor sepuluh. Posisi yang menakutkan. Theo melongo, lalu menggeleng kencang. Membereskan meja nomor sepuluh seperti menyiapkan lubang kuburnya. Theo masih menggeleng tidak mau. "Aku tidak bisa." "Tolonglah, yang lain sedang sibuk! Manager sedang berdiskusi dengan orang-orang Ryu-sama." "Aku tidak bisa!" Theo menjerit tidak terima. Meja nomor sepuluh jaraknya hanya selisih satu meja dari tempat gerombolan Yakuza itu. Ryu juga di sana, duduk bersama wanita-wanita seksi. "Memangnya ada masalah apa?" Ken penasaran juga akhirnya. "Mereka... menakutkan." Hanya itu yang dapat Theo katakan. Alasan yang sebenarnya, namun memiliki alasan tersendiri. Ken mengembuskan napas, lalu mengangguk paham. Dia pergi tanpa protes lagi. Theo masih berdiri di sana, mengintip gerombolan itu lagi. Hingga akhirnya pandangannya bertemu dengan pandangan Ryu. Theo gelagapan, lalu berlari masuk ke dalam dapur. Sampai kapan pun dia tidak akan pernah mau berurusan dengan mereka lagi. Tidak akan pernah! Dia harus bersembunyi dari Ryu sebisa mungkin. Manager tempatnya bekerja adalah orang yang cukup peduli. Peduli akan kendala bahasa yang selalu Theo hadapi ketika bicara dengan pelanggan. Jadi managernya mengharuskan Theo ikut les bahasa Jepang. Pegawai lainnya juga ikut les bahasa Inggris, jadi adil kalau Theo juga diharuskan bisa bahasa Jepang seperti yang lain. Theo menurut saja karena gratis. Lagipula selama ini dia sering sekali mengalami kesulitan kalau ingin bertanya pada orang lain tentang jalan dan sejenisnya. Tiap sore Theo akan duduk manis di kelas bahasa Jepangnya, sementara malam harinya dia langsung bekerja. Terkadang dia harus bicara dengan pelanggan menggunakan bahasa Jepang yang sederhana, seperti menyebutkan harga, angka dan juga salam. "Praktikkan, Theo!" Managernya muncul. Theo adalah pegawai yang rajin, tetapi dia bisa berbalik ke dapur ketika gerombolan Ryu datang. Awalnya tidak ada yang paham, namun akhirnya semua peka. Theo sedang menghindari Ryu dan anak buahnya tiap kali mereka datang. Mereka berkunjung tiga kali seminggu. Theo menghafalkan itu. Tiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu. Jadi dia mengatakan pada managernya kalau dia akan bertugas di dapur tiap hari itu. Suiyoubi, Doyoubi, dan Nichiyoubi. Theo hafal hari-hari itu dalam bahasa Jepang karena ketakutannya bertemu gerombolan Yakuza itu. Theo masih terus belajar bahasa Jepang, menghindari para Yakuza itu, dan sekarang... managernya menyuruhnya praktik. Sebenarnya tidak masalah kalau dia praktik pada pelanggan lain, tetapi kali ini berbeda. Hari ini Sabtu. Managernya tahu ketakutan terbesar yang Theo hadapi ketika bekerja di tempatnya. Kali ini si manager ingin pegawai barunya lebih berani. "Saya..." "Aku tahu kau cepat menghafal ketika kau takut. Bawa catatan kecil ini, lalu tanya pesanan mereka." Theo menelan ludahnya gugup. "Mereka tidak sebanyak sebelumnya, kan? Tidak biasanya mereka datang hanya berlima seperti itu." Hanya? Managernya menyebut berlima itu hanya? Satu kelas saja masih belum ada apa-apanya dibanding lima orang Yakuza, dan juga satu pemimpinnya yang super kejam itu. Theo tidak ingin berurusan lagi dengan mereka. Dia ingin hidup damai di negeri orang. Uang kos mirip sekali dengan sewa apartemen. Kemarin ibunya sudah membayarkan uang itu untuk lima tahun ke depan. Jadi untuk lima tahun itulah Theo harus bertahan di sana. Dia akan didenda kalau sampai pergi sebelum masa sewa habis. Kira-kira seperti itu perjanjiannya. Sekarang, untuk lima tahun ke depan Theo harus lewat jalan itu kalau ingin pulang. Artinya, kalau gerombolan itu menyiksa orang lagi... Theo bisa saja memergoki mereka. Lalu dirinya jadi sasaran. Lalu dia terbunuh. Tidak, tidak! "Kenapa diam saja? Pergilah!" Managernya mendorong tubuh Theo pergi. Theo menoleh cepat ke arah sang manager, ingin protes kalau saja lelaki itu tidak pergi meninggalkannya. Ini sudah terlanjur. Theo melangkah pelan ke arah enam orang itu. Tawa mereka terhenti ketika melihat seseorang dengan wajah asing menghampiri. Theo menelan ludah gugup. Lalu setelah itu salah satu dari mereka bertepuk tangan. "Ah!" Dia bertepuk tangan, lalu menghampiri Theo. Wajahnya mendekat, menatap wajah Theo yang sedang menelan ludahnya gugup. "Nanika osagashi deshouka?" (Ada yang bisa saya bantu?) Bagus, Theo! Lanjutkan! Mereka tidak menjawab, bahkan lelaki yang menatap wajah Theo dalam jarak beberapa centi itu malah terbahak kencang. Napasnya bau bir. Theo benci bau ini sehingga wajahnya berpaling beberapa kali. Tidak sopan bila dia menutup hidung di depan orang lain. Itu tata kramanya. "Sushi desu..." Lelaki lain mengangkat tangannya. "Takoyaki!" Yang lain juga mengangkat tangan. Theo mengerti apa yang mereka katakan. Meskipun mereka bisa saja mengatakan, "Kami ingin pesan sushi, takoyaki, lalu sake..." tetapi mereka tidak melakukannya. Mungkin mereka tahu kalau Theo tidak bisa bahasa Jepang. Ah, waktu itu dia juga sudah melakukan pertunjukan topless dadakan. Theo mencatat pesanan mereka. Sushi satu, Takoyaki satu, lalu... "Kimi!" (Kamu!) Suara itu terdengar juga akhirnya. Theo makin merinding. Sejak tadi lelaki itu bungkam, namun ketika mengatakan kata itu... bulu kuduk Theo meremang hebat. "Hai?" "I'll order... you." Theo ingin pingsan sekarang. Ketika kepalanya mendongak dan matanya menatap Ryu, spontan kepala itu kembali tertunduk. Theo gemetar hebat. Bolpoin di tangannya menulis random. Meliputi coretan dan juga garis tak beraturan. Bahkan dia lupa dengan pesanan dua orang sebelumnya. "Hai, kashikomarimashita. Shoushou omachi kudasai!" (Baik, akan saya laksanakan. Mohon tunggu sebentar!) Kalimat itu muncul juga dari bibir Theo. Lelaki kriwil manis itu gemetar, lalu berbalik terburu. Dia tidak sempat bertanya pesan apa lagi, namun itu sudah membuatnya trauma setengah mati. Ketika kembali pada managernya, lelaki itu sudah terduduk lemas tak bertenaga. Managernya tersenyum, lantas menghampiri Theo yang sedang duduk di lantai dengan tubuh gemetar. "Lihat, kamu bisa melakukannya! Apa yang mereka pesan, Theo-chan?" Managernya sedang ingin bercanda saat ini, mengabaikan kondisi Theo yang mengenaskan dan menyedihkan itu. Theo tidak peduli. "Saya tidak tahu..." Dan lelaki kriwil itu kembali berbisik. Aku pesan... kau. Kalimat itu memiliki makna mencurigakan untuknya. Maknanya seperti 'Serahkan nyawamu!' atau 'Kau harus mati!' dan sejenisnya. Theo menduga kalau mereka memergokinya. Hanya saja mereka tidak langsung membunuhnya. Mereka pasti sedang membuat rencana untuk menyembunyikan mayat Theo nanti. Dia adalah warga negara lain, jadi akan panjang urusannya kalau sampai sang ibu melapor pada duta besar atas pembunuhannya nanti. Theo benar-benar di ambang kematian. "Manager... bisakah saya pulang lebih dulu? Saya merasa sakit." Managernya melongo, lalu mengecek kondisi Theo. Lelaki itu memang gemetar dan pucat, jadi managernya mengangguk setuju. Dalam beberapa detik Theo melangkah cepat ke arah lokernya, melepas name tag dan trainee tag-nya lalu berlari pulang. Gerombolan Yakuza itu masih di sana. Theo menyesal sudah datang ke sini! *** "Kenapa Mama bayar kosanku?" Theo datang ke rumah ibunya dengan wajah kesal. Ibunya tersenyum saja dan terus memasak. Theo tidak suka kalau ibunya memanjakannya seperti ini. "Emangnya kamu sanggup bayar uang sewa? Gajimu berapa?" Ibunya masih terkikik sadis. Theo bungkam. Memang benar kalau dia masih belum sanggup membayar uang sewa, tetapi dia tidak suka kalau ibunya masih mengawasinya seperti ini. Dia ingin mandiri. Kemarin Theo izin tidak masuk kerja. Selain karena masih trauma, ia juga ingin menghindari Ryu untuk sementara waktu. Rabu besok dia harus mencari alasan agar tidak berinteraksi dengan para Yakuza itu. "Mama sendiri yang sewa di sana. Padahal kan aku bisa cari yang lebih murah." "Lebih murah banyak, tapi yang deket dari tempat kerjamu kan cuma itu." "Trus kenapa aku harus kerja di sana?" "Emangnya kamu bisa bahasa Jepang? Mama kan sengaja cari pegawai yang bilingual karena tahu kalau kamu masih belum bisa ngomong Jepang. Lagian di sana bagus, kan? Kamu dapat les bahasa Jepang gratis." Masalahnya bukan itu, Ma! Theo bungkam. Dia harus mencari alasan yang masuk akal agar ibunya mengizinkan dia mencari kerja di tempat baru. Ah, iya! Restoran Indonesia! Theo bisa bekerja di sana. Tetapi jaraknya dari apartemen Theo jauh sekali. Sementara itu dia tidak bisa pindah semudah itu. Ada uang denda kalau dia pindah sebelum masa sewa habis. Sewa bisa diperpanjang, namun tidak bisa diperpendek. Karena hari Senin, Theo semangat untuk masuk kerja. Dia tidak akan bertemu dengan Ryu dan anak buahnya. Senyum menguar dari bibir si kriwil ketika itu. Ia mengepel dengan semangat dan ceria. Sore masih menjelang, matahari baru saja tenggelam. Masih ada selisih waktu beberapa menit untuk membuka cafe. Lalu... "Theo..." Tubuh Theo membeku. Dia kenal suara ini. Hafal sekali. Setelah sekian lama mencoba menghindar dan bersembunyi darinya, lelaki menakutkan itu memanggil namanya. Theo ingat kalau dia pernah memperkenalkan diri ketika tragedi baju waktu itu. Tetapi sekarang Theo tidak ingin membahasnya lagi. "Yes?" Benar. Lelaki itu berdiri di belakangnya. Tidak ada anak buah menakutkannya lagi di sekitarnya. Tidak ada pria-pria bertatoo dan berwajah sangar yang biasa menemaninya. Hanya ada seorang lelaki berwajah ramah dan memakai pakaian wajar. Tidak sobek ataupun bergambar tengkorak seperti biasa. Sejujurnya, Theo terkejut karena Ryu memanggil namanya. "Hari ini kami sewa tempat ini sampai pagi." Theo melongo. Dia sadar kalau Ryu kaya dan memiliki banyak uang. Lantas dia menelan ludah gugup, mengangguk cepat, lalu berlari ke dalam untuk memberitahu managernya. Seperti biasa, Ryu adalah tamu VIP di sini. *** Sudah beberapa jam sejak Ryu dan temannya terbahak kencang seperti itu. Mereka baru tadi pagi bertemu lalu memutuskan untuk datang ke tempat ini. Taiga adalah sahabat lamanya ketika masih SMP dulu. Lalu ketika beranjak SMA, Taiga dan Ryu berpisah. Taiga pindah ke luar negeri, sementara Ryu baru pergi ke sana ketika kuliah. Kalau saja ayahnya tidak terbaring seperti itu, mungkin Ryu masih bersenang-senang dengan wanita di kampusnya. "Kau masih tertarik dengan wanita-wanita itu?" Taiga tergelak geli melihat ekspresi Ryu. Ryu mengangguk cepat, meminum bir dalam gelasnya lagi. Para wanita berbaju mini masih setia dengan lagu dan tarian erotis mereka. "Kau akan segera mengagumi mereka, Bro!" "Kenapa harus?" "Mereka bisa mendesah di bawahmu. Masukkan penismu di lubangnya, lalu bergeraklah. Mereka akan meracau dan menunjukkan sifat mereka yang sebenarnya." "Tetapi yang seperti itu sudah sering dimasuki p***s lain, Bro!" Ryu tersenyum geli setelahnya. Para wanita masih senang melayani dua orang lelaki tersebut. Theo duduk manis di dapur, berpikir bagaimana caranya dia pulang dengan aman. Managernya baru saja keluar untuk membeli sesuatu katanya. "Ada yang kurang, Bro." Taiga tergelak. "Apa?" "Kopi." "Bir dan kopi bukan kombinasi yang sempurna, Bro. Apa kau yakin perutmu akan baik-baik saja?" Taiga tersenyum penuh makna. Mereka berdua sudah biasa bertingkah gila. Dulu keduanya pernah berencana untuk bunuh diri dengan menenggak beberapa bungkus racun tikus, tetapi usaha itu gagal karena anak buah Ryu menangis. Ayahnya juga menangis kencang waktu melihat Ryu masuk rumah sakit. Ryu sengaja melakukannya karena sudah bosan hidup. Dia ingin bebas, ingin melepaskan diri dari garis penerus klan Yakuza ini. Manager cafe itu datang sambil membawa satu bungkusan. Wajahnya pias. Dia melangkah masuk ke dapur, lalu meletakkan bungkusan itu. "Apa itu?" Pegawai yang lain datang dan memperhatikannya. "Kopi." "Untuk?" Sang manager mengacak rambutnya gusar. Dia adalah manager club malam yang menyediakan bir dan wanita, bukan meracik kopi semacam barista. Theo memperhatikan managernya yang sedang frustasi itu. "Ada apa, Takazumi-san?" tanyanya cepat. "Theo-chaaaaaan...." Dan Theo benci dipanggil seperti itu. "Mereka pesan kopi. Apa yang harus kita lakukan?" Si manager mengerjap. Theo mengedikkan bahu. "Buatkan kalau begitu!" "Kami bisa membuat kopi, tetapi hanya sekedar kopi yang diseduh dengan air panas lalu dicampur krim. Hanya kopi sederhana." Mungkin sedikit bantuan darinya bisa mengatasi masalah ini. Theo mengangguk cepat, lalu tersenyum. "Serahkan padaku!" Dan untuk pertama kalinya Theo melangkah penuh percaya diri ke counter pemesanan. Dia mengambil dua buah cangkir dan mempersiapkan segala sesuatu. Kopi yang dibeli managernya bukan kopi baru, jadi aromanya pasti berbeda. Theo pernah belajar membuat kopi dari sang nenek, lalu dia jatuh cinta pada dunia barista. Lelaki kriwil itu berdiri di sana, meracik kopi rempah. Theo mencari bahan-bahan itu di dapur. Dulu temannya pernah curhat padanya, ketika Theo mabuk mereka memberikan minuman rempah dari jahe. Theo ingin mencoba itu. Dia tidak peduli dengan efeknya, yang jelas dia ingin membuatnya sekarang. Lagipula bir dan kopi jelas bukan kombinasi yang cocok kalau dari segi kesehatan. Lelaki kriwil itu mulai bekerja. Semua mata mengawasinya, termasuk kedua tamu penting yang memesan kopi tersebut. Mata mereka tidak bergerak, mengawasi Theo yang tampak serius di balik counter. Lelaki kriwil itu tampak berbeda ketika bekerja dengan kopi. Celemek pegawai hitamnya terikat sempurna di badan seperti biasa. Tidak ada yang aneh. Tetapi... Kuncir itu yang membuatnya menawan. Lelaki kriwil itu mengikat rambutnya ke atas, mencepolnya imut sekali. Wajah manisnya jadi benar-benar lucu. Rambut itu biasanya menutupi mata, sekarang tidak lagi. Theo... manis sekali. Apalagi ketika bibir lelaki itu tersenyum tanpa sadar melihat kopi buatannya sudah terhidang manis di meja. "Theo-chan, bisa buatkan untuk kami juga?" Sang manager bertanya pelan. Theo mengangguk, lalu mengantarkan dua cangkir itu untuk kedua tamunya. Dia tidak gemetar lagi dan sudah mulai berani. Theo menatap dua cangkir yang kini sudah berada di meja. Rasanya seperti melepas dua anak tersayangnya bersama orang lain. "Trainee?" Taiga bertanya cepat ketika melihat trainee tag yang dikenakan Theo. Theo mengangguk. "Theo..." Suara Ryu terdengar setelah itu. Theo mengangguk, lalu berbalik pergi tanpa kata. Dia harus membuat kopi lain untuk managernya. Namun baru saja dia sampai di counter, Taiga berteriak kencang. "Theo! Let me marry you!" teriaknya kencang. Theo menoleh ke arah mereka, namun tatapannya bukan pada Taiga. Dia menatap Ryu yang sedang bungkam sambil menggenggam cangkirnya. Theo penasaran dengan respon Ryu. "Theo! Come. Here. NOW!" Suara Ryu menggema setelah itu. Theo melotot terkejut dengan respon Ryu. Tubuhnya gemetar hebat. Takut. Apa lagi salahnya? Apa kopinya buruk? Apa Ryu tidak suka? Berapa lama lagi dia bisa hidup? Theo gemetar di balik counter. Managernya bergerak, lalu mencoba melindungi Theo. Tetapi, tidak. Theo tidak ingin mengorbankan orang lain karena perbuatannya. Dia menepuk bahu managernya, lalu melangkah seorang diri ke arah Ryu dan Taiga. Meski tubuhnya gemetar dan kakinya lemah serasa tak bertulang. "Kau! Apa yang kau buat ini?" Ryu kembali bertanya dengan logat Inggris yang kental. Theo menunduk takut. "Maafkan saya, Sir..." Dan Theo menjawabnya seperti waktu itu. "Untuk apa kau minta maaf?" "Karena saya tidak bisa membuat kopi yang sesuai dengan selera Anda." Ryu berdiri. Theo menunduk makin dalam. Apalagi ketika jemari Ryu terulur padanya, lalu mengusap kepalanya perlahan. Theo mendongak sekilas. Terkejut dengan perbuata Ryu terhadapnya. Sudah lama sekali ia tidak merasakan elusan seperti ini. Neneknyalah yang hobi melakukannya. "Terima kasih, Theo!" Dan Ryu berterima kasih padanya. "Sankyu..." (Thank you) "Temani kami, Theo-chan!" Taiga tersenyum, melambai ke arah Theo. Theo menggaruk tengkuknya. "Tidak perlu kau dengarkan, Theo!" Ryu berbisik pelan, melarang Theo merespon ucapan Taiga. "Kau bisa pergi." Syukurlah, kau bisa pergi sekarang, Theo! Pergilah sebelum Ryu berubah pikiran. Tidak. Theo harus tahu bagaimana caranya minta maaf. Dia harus minta maaf atas segala perbuatan yang pernah dia perbuat baik sengaja ataupun tidak dia sengaja. Dia harus mengatakannya lagi sekarang, pada situasi yang lebih serius. "Ryu-sama..." Theo membuka mulut, memanggil Ryu sebentar. "Ya?" "Saya minta maaf untuk semua perbuatan yang sudah saya lakukan. Saya benar-benar tidak pernah berniat melakukan perbuatan tidak pantas pada Anda." Ryu bungkam. Taiga juga diam saja sambil sesekali menyeruput kopinya. Dia melambai ke arah Ryu dan bicara dengan nada menyebalkan. "Woi, Ryu! Kalau kau masih di sana saja, aku akan menghabiskan kopimu!" "Mati kau kalau berani melakukannya!" Ryu menoleh dan menatap Taiga tajam. Taiga melongo, lalu meletakkan cangkir Ryu kembali ke tempatnya. Theo mendadak gelisah di tempat. "Ingin dimaafkan?" tanya Ryu lagi. Theo menelan ludahnya gugup dan mengangguk. "Apa kau bisa minum?" Daripada Theo berbuat kesalahan gila lagi ketika mabuk, maka dia menggeleng. Itu lebih aman. Lebih baik menolak ajakan Ryu daripada nanti dia menggila ketika mabuk nanti. "Tuangkan kami bir kalau begitu!" Ryu tersenyum. Hari itu, tidak ada wanita seksi yang menemani Ryu. Hanya ada Theo dengan seragamnya, juga kuncirannya. Tidak ada musik erotis, namun hanya ada gelak tawa dan cerita Theo soal kopi. Bir dan kopi memang bukan kombinasi yang pas, tetapi... setidaknya kopi menyelamatkan nyawa Theo kali ini. Kali ini... Ketika Ryu dan Taiga memutuskan untuk pulang, mata Theo masih tak bisa berpaling dari Ryu. Dia begitu penasaran dengan Ryu. Dia misterius, kejam, namun bisa sangat lembut dan perhatian. Theo menatap punggung lelaki itu, hingga akhirnya lelaki yang sedang dia pandang menoleh. Mereka bertatapan. Dan Theo kembali melarikan diri. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN