Episode 1 : Who's That

1646 Kata
It's like I've been awakened Every rule I had you break it It's the risk that I'm taking I ain't never gonna shut you out   Everywhere I'm looking now I'm surrounded by your embrace Baby, I can see your halo You know you're my saving grace   You're everything I need and more It's written all over your face Baby, I can feel your halo Pray it won't fade away   *Beyonce - HALO*     . . .   Semenjak kehadirannya di rumah sakit sejak hari pertamanya praktik membuat poli Anak semakin berjubel. Seorang dokter berparas cantik berkerudung kini jadi idola baru di Kemang Medical Center, namanya dr. Mailanny Dewinna. Semua biasa menyapanya dr. Mai, di depan ruangannya selalu banyak pasien mengantre setiap harinya.   Seperti hari-hari sebelumnya, pasien silih berganti masuk ke ruangannya seakan tak habis-habis. Pasiennya adalah anak-anak kecil, yang selalu bisa membuatnya tersenyum ketika anak itu takut melihatnya, entah kenapa anak-anak selalu takut bila bertemu dokter.   Tapi di tangannya, tak ada lagi suara riuh tangisan itu saat tangan lembutnya menyentuh tubuh mungil yang sedang kurang enak badan itu.   "Dokter punya anak berapa?" tanya seorang Ibu dari pasiennya itu.   "Anak saya satu. Perempuan, sudah besar." Jawabnya sambil tersenyum getir. "Jangan lupa di minum obatnya yang teratur ya, biar cepat sembuh. Ini ada obat batuk, parasetamol dan antibiotiknya." Imbuhnya lalu memberikan resep obat yang tadi di tulisnya.   "Ya, Dok. Terima kasih." jawabnya seraya berdiri dan meninggalkan ruangan.   "Masih ada pasien di luar, Sus?" tanyanya.   "Nggak ada, Dok. Jam praktik juga sudah habis sejak 30 menit lalu sebenarnya, dokter ada keperluan di luar?" tanya Suster Anita sambil merapikan berkas-berkas pasien.   "Iya Sus, ada yang harus saya temui. Saya langsung pergi ya, Assalamualaikum." katanya lalu bergegas keluar ruangnnya.   "Wa'alaikumsalam." Suster Anita menyahuti, ia memang baru beberapa bulan belakangan ini menemani dr. Mai tapi rasanya ia begitu dekat dengan rekannya itu.   Mai segera menuju parkiran lalu mengendarai mobilnya keluar dari area rumah sakit. Di luar, panas matahari sedang terik sepertinya sore nanti akan hujan bila cuacanya seperti ini. Mai mengarahkan mobilnya ke salah satu SMA yang tidak jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja.   Ia memarkirkan mobilnya tak jauh dari gerbang sekolah agar seseorang yang di carinya mudah terlihat. Berbekal foto screenshoot dari i********:, Mai yakin anak itu bersekolah di sini, Mai melirik jam tangannya, bel berbunyi tepat pukul 14.30.   Tak berapa lama kemudian seorang anak perempuan berkerudung yang wajahnya berulang kali Mai pastikan itu adalah anak yang sama keluar dari gerbang sekolah bersama teman-temannya. Senyum di wajah Mai mulai merekah, ia hendak turun namun masih urung, anak itu masih asyik dengan teman-temannya.   Mata Mai panas, air mata sebentar lagi akan tumpah dari tempatnya. Ia jadi ikut tertawa saat melihat anak itu tertawa dengan temannya meski ia tak tahu apa yang mereka bicarakan. Mai menunggu momen teman-temannya itu pergi dan ketika mereka sudah bubar, Mai segera turun dan mengejar anak itu.   "Aliya?" panggilnya membuat langkah Aliya yang sedang menuntun sepedanya terhenti.   "Iya. Tante siapa, ya?" tanya nya bingung seraya menjauh saat di dekati.   Mai paham, Aliya pasti takut karena akhir-akhir ini banyak sindikat penculikan yang mengada-ngada kenal dengan sanak famili atau orang terdekat keluarga.   "Aku Mai, temannya Ibu Anneke. Kamu.., anaknya kan?" tanyanya ramah.   Aliya sempat mematung selama beberapa detik sebelum kesadarannya pulih, ia sedang berusaha mencari jawaban. "Bu-bukan..." jawab Aliya terbata, Mai tahu Aliya bohong.   "Benar kamu bukan anaknya Anneke? Yang punya panti asuhan rumah pelangi itu?" tanyanya lagi, Aliya semakin ketakutan.   Darimana orang ini tahu nama Ibu dan panti asuhan yang dimiliki Ibunya itu? Aliya ingin lari saja rasanya namun kakinya tak mau bergerak.   "Aliya?" panggil Mai sekali lagi.   "Bukan!" hentaknya lalu hening dan membuat pandangan di sekeliling melihat kearah mereka.   "Astagfirullah..., mengapa dirimu begitu dingin, Nak?" gumamnya dalam hati.   Aliya mengerutkan dahinya dalam-dalam lalu tanpa banyak bicara ia segera pergi dan mengayuh sepedanya cepat-cepat. Jujur saja, ia takut jika orang tadi hanyalah mengaku-ngaku kenal Ibunya.   Mai hanya bisa membatin dari kejauhan. "Ya Allah." lirihnya. Ingin rasanya detik itu juga ia mengakui siapa dirinya namun rasanya tak mungkin.   Ia mengurut dadanya sekali lagi dan mencoba untuk memaklumi sikap dingin dan cuek Aliya, bahkan sangat dingin, ia tak menyangka bahwa reaksi Aliya bisa sedingin ini. Ia menghapus air matanya dan kembali ke mobilnya sambil mencoba mengingat-ingat dimana alamat panti asuhan milik Anneke dan bergegas kesana, siapa tahu ia bertemu Aliya lagi.   Perjalanan terasa sangat lama dari sekolah Aliya dan ketika sampai tak segera ia turun dari mobilnya, ia hanya membuka sedikit kaca mobilnya untuk melihat apa ada Aliya disana.   Tapi yang ia lihat hanyalah anak-anak kecil usia balita, beberapa orang Nanny dan Anneke yang sedang bermain bersama mereka.   "Kemana Aliya? Harusnya dia udah sampai. Apa dia di dalam?" gumamnya lalu memberanikan diri untuk turun.   Langkah Mai masih nampak ragu menuju gerbang, tapi jika tidak sekarang mau sampai kapan ia harus menunda ini semua? Kenyataan memang pahit tapi inilah yang harus di hadapinya.   "Assalamualaikum, Anneke?" sapanya sedikit kencang dari balik gerbang lalu membuka kacamata hitamnya agar Anneke mengenali dirinya.   Dari kejauhan Anneke berusaha mengenali siapa yang ada di gerbang depan dan begitu ia sedikit lagi sampai di sana. Ia baru tahu bahwa wanita itu adalah Mailanny. "Wa'alaikum-salam. Mai?" Anneke kaget. Matanya melotot tak percaya, penampilan Mai berubah. "Sejak kapan?" gumamnya dalam hati. Tak pernah ia membayangkan akan bertemu dengannya lagi. "Ka- kamu udah balik dari Amerika?" suaranya bergetar, ia gugup. "Buat apalagi kamu kesini?" jawab Keke ketus, mulai bisa mengendalikan dirinya.   "Iya, baru sekitar beberapa bulan belakangan ini aku ada di Jakarta. Aku kesini mau ketemu sama anak aku." jawabnya gugup sambil meremas tali tas Gucci di bahunya.   "Anak kamu? Yang mana?" tanyanya sinis dan membuang pandangannya.   "Anak aku, Aliya Ariana Nindita." wajah mereka saling bertatapan menunggu reaksi.   Terdengar decakan keras lalu tawa meremehkan dari mulut Anneke. "Mai, ke mana saja kamu selama 17 tahun ini?" tanya Anneke, Mai terdiam. "Apa kamu baru ingat bahwa di sini kamu punya anak? Apa kehidupan di Amerika membuatmu lupa akan tanggung jawabmu sebagai seorang Ibu? Apa kesibukanmu sebagai dokter membuatmu lupa akan adanya seorang anak yang belasan tahun mencari dimana Mama dan Papa nya? Apa kamu dan Suamimu lupa akan hal itu? Bahkan ketika kalian pergi saja, tak ada kata selamat tinggal untuknya. Jadi sekarang untuk apa kamu cari Aliya?" Anneke mencoba menahan nada bicaranya yang sudah mulai meninggi.   Ucapan Anneke cukup membuatnya bagai terhunus pedang tajam. Ia baru tersadar, kenapa baru sekarang ia mencari Aliya. "Iya, aku tahu, aku salah. Tapi, Ke, dia Anakku. Tadi aku udah sempat ketemu dia di sekolah dan...," Mai coba untuk menjelaskan namun Anneke memotongnya.   Anneke kini terdiam. "Dari mana kamu tahu Aliya sekolah di sana?"   "It's digital era. Kamu tahu gunanya i********: kan? Dan adikku, masih tinggal di Jakarta. Sepertinya nggak perlu aku jelaskan dari mana informasi itu aku dapat, kan?" kini Mai membalasnya.   Anneke kehabisan kata, ia lupa benar-benar lupa bahwa Mailanny punya adik di sini. Maellea. Ya, kini ia ingat.   "Kan kamu sendiri yang bilang, untuk tidak memberi tahu apapun sebelum dia cukup umur untuk tahu dan paham apa yang terjadi selama ini. Bahkan, aku sama sekali tidak tahu apa masalah sebenarnya hingga kamu titipkan Aliya waktu itu apa kamu lupa?" Anneke mengingatkan.   "Aliya udah tahu kalau dia bukan anakku sejak dia kelas 1 SD dan dia tidak mempermasalahkannya, dia berbesar hati menerima semua ini dan aku nggak pernah mengusik soal kamu dan Suamimu sekalipun Aliya bertanya soal kalian." tambah Anneke.   Mai terkesiap mendengar penjelasan itu, Aliya masih teralu kecil saat itu untuk mengetahui bahwa Ibu yang membesarkannya bukanlah Ibu yang melahirkannya tapi ia bisa menerimanya? "Please, give me one more chance." pintanya sambil mengguncang tangan Anneke di genggamannya.   Anneke melepas genggaman tangan itu lalu memberi jawaban. "Maaf! Tidak untuk kali ini, Mai. Silakan kamu pergi." jawabnya, Anneke menahan tangisnya dan menutup pagar.   "Tapi kenapa?" tanyanya sambil menahan pintu pagar yang sudah setengah tertutup itu. "Aku masih berhak atas Aliya. Secara biologis, dia Anakku! Aku yang mengandung dan melahirkan dia, walaupun pada akhirnya aku serahkan tanggung jawabku pada kamu tapi Aliya tetap darah dagingku dan Mas Hardi. Tolong aku, Ke?" pintanya sekali lagi.   Anneke kukuh dengan pendiriannya. Ia lepas tangan Mai yang menahan pagar lalu tanpa banyak bicara, Anneke langsung menutup dan menggembok pagarnya.   Tak kuasa Mai menahan air matanya, ia menangis begitu sesak, wajah memerah dan mata sembab. Di balik setir mobilnya ia menangis, dengan mata sendu dan lirih sambil memandangi foto Aliya kecil di dalam gendongannya.   "Aliya. Mama kangen. Mama menyesal sayang, terlalu banyak dosa Mama sama Aliya. Ya Rabb, mengapa begitu sulit untuk bertemu dengan anakku?" Mai menghapus air matanya dan segera pergi meninggalkan tempat itu, kembali kerumahnya dan ia akan kembali ke panti esok hari meski Anneke tak mengijinkannya. . . .   Aliya masih saja terpikirkan siapa orang tadi yang menyapanya di depan gerbang. Ia tak pernah melihat teman Ibu yang bernama Mai tadi, rasanya baru kali ini ia melihatnya.   Tapi jika itu benar teman Ibu? Ugh, Aliya menjadi makin tak enak hati bila memang benar begitu, segala macam kemungkinan bisa saja terjadi bukan? Namun di sisi lain Aliya masih ragu.   "Ah, tanya Ibu ajalah." gumamnya tepat saat suara mobil yang di kenalnya datang.   Anneke masuk ke dalam rumah setelah mengucap salam. Ia melihat Aliya ada di sofa ruang tengah sedang menonton tv. "Yaya.." panggilnya.   Aliya langsung menyalami Ibu yang duduk di sampingnya. "Ehm, Bu, Yaya mau tanya." cicit Aliya pelan.   Anneke mengerutkan dahinya, mengapa perasaanya jadi tak enak. "Kenapa?"   "Ibu punya teman yang namanya, Mai?" tanya Aliya, Anneke masih terdiam mencoba mencerna pertanyaan yang dilontarkan anaknya.   "Mai? Yaa ada, udah lama nggak ketemu. Kenapa?"   "Oh tadi dia ke sekolah." ujar Aliya sambil mengganti channel televisi.   Mata Anneke membulat mendengar jawaban Aliya barusan. Mai tidak bohong dengan perkataannya saat bertemu Anneke di gerbang tadi. Anneke memilih tak melanjutkan obrolannya dengan Aliya, ia memilih untuk masuk ke kamarnya. Entah kenapa perasaannya kini tak karuan.   Apakah Mai akan meminta Aliya darinya? Anneke masih tak siap jika hal itu terjadi meskipun Mai memang berhak atas Aliya.  -------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN