GIRL IN WHITE

1635 Kata
Kembali beberapa jam sebelum pria itu bertemu dengan Ambar. Doble Zero Golf Club. 09.35 a.m. Setiap weekend Davis selalu menyempatkan untuk bertemu dengan sahabatnya, Johnson. Baik itu di restoran maupun di Golf Club. Mereka beristirahat setelah beberapa jam bermain golf. ‘’Apa kau sudah lelah?’’ Tanya Johnson dengan napas yang terengah-engah. ‘’Mungkin karna aku sudah renta,’’ Jawabnya asal. Johnson tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. ‘’Apa kau menyukai pantai?’’ tanyanya. ‘’Kau sudah tau jawabannya bukan?’’ Ucapnya yang sudah dapat bernapas dengan lebih baik. ‘’ Adeline menyarankan agar aku menjual Private house yang berada di Teluk Orchard.’’ ‘’Apa ada alasan khusus selain itu?’’ ‘’Karena kesibukan dua tahun ini sangatlah menyita waktuku. Dua tahun ini juga tidak pernah kami kunjungi.’’ ‘’Lalu?’’ Davis pura-pura bertanya. ‘’Tentu saja aku mau menawarkannya padamu. Dasar bodoh,’’ Jawabnya kesal. Wajah Johnson yang tampak menyebalkan membuat Davis tertawa lepas ‘’Kau bisa mengunjungi rumah itu kapanpun kau mau.’’ ‘’Tunggu sebentar, kapan aku menyetujuinya hingga membuatmu berkata demikian?’’ ‘’Kau tidak perlu berbasa-basi, aku tau kau akan menyukainya.’’ Davis tersenyum tipis. ‘’Apa kau akan mengantarku ke sana?’’ ‘’Tentu saja tidak, supirmu pasti mengetahui arah jalan menuju Teluk Orchard. Dua orang penjaga rumah itu akan menemanimu nanti.’’ Jelas Johnson. ‘’Baiklah, aku akan pergi esok hari.’’ ‘’Aku tau apartemenmu sangat bagus dan terkenal, namun fasilitas yang ada di dalam private house tidak jauh berbeda dengan yang ada di Kediamanmu.’’ ‘’Kalau begitu istri dan anak-anakku akan menyukainya.’’ ‘’Bagaimana jika kau menjual apartemenmu kepadaku?’’ ‘’Teluk Orchard dan Orchard Park adalah dua hal yang berbeda. Kau tidak bisa menyamakan satu rumah yang hanya ditinggali oleh satu keluarga yang berisi empat orang dengan hunian yang di tempati lebih dari dua ratus jiwa.’’ Johnson mengangguk-angguk. Johnson Residence. 12. 45 p.m. ‘’Ayah bagaimana hasilnya?’’ Tanya Adeline yang baru saja melihat suaminya pulang. ‘’Davis akan mengeceknya besok.’’ jawabnya. Adeline memutuskan untuk menjual rumah itu lantaran putranya sudah tidak ingin pergi ke sana lagi karena kesibukannya di perusahaan menyita banyak waktunya. ‘’Apa kau sudah memberitahunya?’’ Tanya Adeline lagi. ‘’Belum, dia pasti akan menyetujuinya,’’ Jawab Johnson asal. ‘’Ngomong-ngomong kemana perginya anak itu? Dari tadi aku tidak melihatnya.’’ ‘’Pergi ke shooting club bersama Agzek.’’ Jelas Adeline. Arven Shooting Club. 01.00 p.m. Di sebuah ruangan yang cukup luas telah berjejer sepuluh patung dengan posisi menghadap kearah seorang pria yang tidak mengenakan baju itu. Ia mulai menembak target satu persatu. Dengan jarak seratus lima puluh meter, peluru yang keluar dari senapan miliknya tepat mengenai sasaran. Kebanyakan orang-orang yang berlatih di shooting club sangat sulit untuk menembak keseluruhan target dari jarak saat ini. ‘’Agzek, apa menurutmu jarak ini terlalu dekat?’’ Teriaknya yang hanya mengenakan celana jeans itu. Ia merasa ini terlalu mudah baginya Valgar Gio Johnson adalah putra semata wayang dari Adeline dan Tom Johnson. Memiliki hobi climbing dan menembak. Hobinya itu tak hanya membuat Valgar memiliki tubuh yang bagus, namun juga membuatnya memiliki kepribadian yang kuat serta pandai bertarung. ‘’Ini sudah jarak terjauh yang ada di sini Tuan Muda.’’ Agzek yang berada di kursi penonton balas berteriak. Padahal hal itu dikarenakan senjata Tuannya yang tidak bisa melesat lebih jauh lagi. Karena shooting club hanya menggunakan standar senapan yang biasa dipakai untuk latihan. ‘’Beraninya kau membodohiku.’’ Teriaknya lagi. Valgar mengarahkan senapannya kearah Agzek. Dor … sebuah peluru melesat di samping tempat duduk di mana Agzek berada. Ia sengaja mempermainkannya. Agzek yang tidak bergeming sedikitpun membuktikan bahwa ia sudah sangat terbiasa menghadapi tingkah laku Tuannya yang masih berumur dua puluh dua tahun tersebut. Valgar berpikir keras, bagaimana caranya agar ia dapat menembak sasaran lebih jauh lagi. Ponsel Agzek yang berdering membuat ia harus pergi keluar agar dapat mendengar lebih jelas suara di seberang sana. Pasalnya Valgar sudah mulai menembak lagi. Setelah kembali dari luar, Agzek menghampiri Tuannya yang tengah fokus membidik target. ‘’Tuan Besar memintamu untuk segera kembali ke rumah.’’ ucapnya. ‘’Tapi aku baru mulai setengah jam yang lalu, katakan dua jam lagi kita akan pulang.’’ Valgar mulai membidik lagi. ‘’Tuan Besar juga menyampaikan untuk kembali sekarang juga.’’ tambahnya. Mendengar ucapan pengawalnya barusan membuat konseterasinya seketika buyar. Dengan wajah kesal Valgar memberikan senapannya ke tubuh Agzek. Teman satu klub Valgar yang bernama Antonio menghampirinya yang sedang memakai baju. ‘’Apa kau akan pergi? Aku baru saja ingin berlatih bersamamu.’’ ‘’Lain kali saja.’’ Jawabnya ketus. ‘’Bagaimana kalau kita berlatih kuda, aku baru saja mendaftarkan diri di salah satu stable.’’ ajaknya. ‘’Aku harus pergi, percayalah kau tidak akan mau mendengar ini.’’ Menepuk pundak Antonio dan berlalu pergi. Johnson Residence, Living Room. 02.15 p.m. Di rumah, Valgar tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. ‘’Apa Ibu tidak memberitahu Ayah di mana aku tadi?’’ Menatap ibunya untuk mendapatkan pembelaan. ‘’Sudah, namun ada hal penting yang harus Ayahmu bicarakan.’’ Adeline menjelaskan. Johnson sangat mengerti perangai putranya. Jika sedang melakukan apa yang disenanginya, ia tidak ingin diganggu oleh siapapun termasuk Orang Tua nya. ‘’Tender di Pulau Rovria bagaimana hasilnya?’’ Tanya Johnson menyelidik. Valgar seperti sedang diintrogasi oleh Ayah dan Ibunya. ‘’Sudah ku menangkan, sebentar lagi Ayah akan mengadakan rapat untuk pembangunan sirkuit di sana. Apa ada masalah?’’ ‘’Nak, pertemuan yang diadakan secara tiba-tiba tidak selalu ada masalah di dalamnya.’’ Ucap Adeline lembut. ‘’Tapi ada maunya.’’ Jawabnya asal dan mengalihkan pandangannya ke sembarang tempat. Adeline tertawa mendengarnya. Johnson tampak salah tingkah, namun ia berusaha untuk tetap tenang menghadapi putranya yang sedang onfire itu. ‘’Apa kau tau mengenai Orchard Park?’’ ‘’Maksud ayah hunian yang terkenal itu?’’ Tanyanya untuk mempertegas maksud Ayahnya. Di atas meja, halaman depan sebuah koran menjadikan Orchard Park sebagai topik utamanya. Dia sudah membacanya tadi pagi. ‘’Benar, kali ini kau tidak perlu memenangkan apapun. Ayah hanya memintamu untuk melihat seperti apakah Orchard Park itu. Dan satu lagi, bawakan Ayah file mengenai apartemen itu.’’ ‘’Dokumen itu sangatlah top secret Yah, untuk apa?’’ Sorot matanya yang tajam sangat mengintimidasi Johnson. ‘’Ayah akan memberitahumu jika kau sudah mendapatkannya. Sekarang kau bisa pergi. Ayah dan Ibu tidak akan mengganggumu lagi.’’ Ia menoleh ke arah Adeline. Hal itu membuat amarahnya semakin memuncak, padahal pembicaraan lima menit yang disampaikan oleh orang tuanya itu bisa ditunda sampai ia pulang berlatih nanti. ‘’Agzek.’’ Dari tadi Valgar terus berteriak jika memanggil pengawalnya, namun kali ini disertai emosi yang memuncak. Ia yang dari tadi berdiri di belakang Valgar dengan sigap muncul di hadapan Tuannya, sebenarnya tidak perlu berteriak pun Agzek sudah berada di dekatnya. ‘’Jangan memarahinya, Ibu yang meminta Agzek untuk segera menyuruhmu pulang.’’ Seperti sudah tau apa yang akan dilakukan putranya, Adeline pun mencegahnya. Valgar menghampiri Adeline dan memeluknya. ‘’Bagaimana aku bisa marah terhadap dia, Bu. Sedangkan perintah itu datangnya darimu.’’ Pada kenyataannya memang benar saat itu dia akan memarahi Agzek. Jika sudah memberi perintah. Jangankan pengawal, anaknya saja tidak berani membantah. ‘’Aku akan tidur siang, jangan menggangguku sampai pukul lima sore.’’ Sebenarnya kata-kata yang dilemparkan kepada Agzek itu ditujukan untuk Ayah dan Ibunya yang telah membuatnya pulang begitu cepat. Agzek hanya menganguk. Penthouse, Ambars Cabin. 03.00 p.m. Ratva berjalan menuju kamar yang berada di sebelah kamarnya. ‘’Adik, boleh aku masuk?’’ ‘’Silakan.’’ Ia duduk di depan Ambar yang tengah asik memaca buku. ‘’Hal yang sebenarnya ingin ku sampaikan tadi pagi adalah perkara janji dengan Rana untuk bertemu dengannya malam ini. Aku tidak tau jika Ayah dan Ibu akan pergi. Kalaupun tau, tetap saja aku tidak akan membatalkannya.’’ jelasnya. Hal yang disampaikannya itu membuat Ambar tertawa. ‘’Tentu saja, karena kau sudah berjanji padanya. Sedangkan kau tidak mengikat janji apa-apa diperkataan orang tua kita.’’ ‘’Kau memang pintar.’’ ‘’Tentu saja, aku kan adikmu. Johnson Residence, Valgars room. 05.00 p.m. Alarm di ponselnya berbunyi. Mata yang masih mengantuk itu sangat ingin kembali tertidur. Sayangnya dia harus menjalankan misi yang diperintahkan Ayahnya, kalau tidak mungkin dia akan terbangun pada malam hari. Tidurnya sangat nyenyak, karena tak ada satu orangpun yang mengganggunya. Kemudian Valgar beranjak dari tempat tidurnya menuju meja makan. Di sana sudah tersaji berbagai macam hidangan yang belum dimakannya sejak tadi siang. Tidak perduli walau masih mengenakan piama, ia terus menghabiskan makanan yang tersedia di meja. ‘’Selamat sore Tuan Muda.’’ Sapa Agzek. ‘’Apa kau sudah makan?’’ Walau sering memarahi pengawalnya, sebenarnya Valgar sangat perhatian kepadanya. ‘’Sudah Tuan.’’ ‘’Baguslah, kita akan berangkat sebentar lagi. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana?’’ ‘’Empat puluh lima menit, Tuan.’’ Tak lama Valgar pun bergegas untuk bersiap-siap. Mengenakan topi, baju dan sepatu kets berwarna putih serta dipadukan dengan celana jeans membuat Valgar terlihat sangat keren. 05.55 p.m. ‘’Bu, aku pergi dulu untuk menjalankan tugas negara.’’ guraunya. Ayah dan Ibunya hanya tertawa mendengar putra semata wayang mereka berkata demikian. Dalam perjalanan Valgar menghubungi seseorang. ‘’Aku dalam perjalanan menuju Orchard Park.’’ Valgar memberitahukan posisinya pada seseorang yang ia telepon. Setelah menutup panggilan itu, Valgar bersandar di kursinya dan melihat keluar jendela. Lampu-lampu penerangan yang berasal dari mall, hotel dan bangunan-bangunan yang dilewatinya membuat suasana jalanan sangat indah. Saat ia melihat sepasang kekasih sedang mengenderai sepeda motor, ia menyadari bahwa kekayaan dan kemewahan yang ada di hidupnya tidak bisa mengisi kekosongan yang ada di hatinya. Sesampainya di lobi Orchard Park. ‘’Kau tunggu saja di mobil, aku tidak akan lama. ‘’ Ucap Valgar kepada Agzek. Perkataan Ayahnya yang berpesan untuk melihat seperti apa Orchard Park itu terngiang-ngiang di kepalanya. Ia melangkahkan kakinya ke dalam apartemen. Valgar memperhatikan secara seksama, mulai dari security yang menyambutnya dengan ramah, hingga ornamen-ornamen yang terdapat di dalam lobi itu. Dari lantai hingga langit-langit, menurut Valgar interior apartemen ini tidak ada bedanya dengan apartemen-apartemen mewah lainnya. Sama saja. Ia terus mencari-cari penyebab mengapa Orchard Park begitu terkenal. Hingga pandangannya mengarah kepada seseorang yang sedang berdiri tidak jauh dari lift. Gadis bergaun putih yang berada di sana itu sangat menarik perhatiannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN