3

1083 Kata
Adel dibesarkan tanpa kehadiran sosok ibu. Hanya ada ayah, kakak lelaki, dan dirinya. Itulah potret keluarga White. Baik dalam versi game, novel, maupun cerita bergambar kehidupan mengenai Adel tidak terlalu disentuh karena cerita berfokus pada tokoh utama saja yakni, Flora Lawrence. Sekarang begitu aku berkesempatan menikmati posisi kursi emas milik Adel, segala hal mengenai antagonis satu ini menjadi menyedihkan. Barangkali ayah dan kakak lelaki Adel benar-benar ingin dirinya tercukupi secara finansial. Makanya, walau Adel kadang, oke SELALU, menyakiti orang lain dan membuat hidup orang kecil makin tertindas sampai kena asma, mereka membiarkan dan tidak memberi wejangan PENTING bagi kelangsungan hidup Adel. Alhasil Adel membangunkan macan tidur! Maksudku, dia memicu kemunculan Mr. Villain. Kembaran Flora Lawrence, Morgan Lawrence, bukan sembarang antagonis. Dia kelas BISNIS! Tidak tanggung-tanggung dalam melenyapkan dan membalaskan dendam kepada Adel; mulai dari menyerang usaha hingga keluarga White gulung tikar, menyingkirkan koneksi White, dan membuat Adel jatuh miskin dan terpaksa hidup sebagai rakyat jelata. Aku sih tidak keberatan hidup sebagai orang biasa. Segala kemampuan bertahan hidup mulai dari masak, cuci baju, mengepel, bahkan memanjat pohon pun telah aku kuasai. Namun, BEDA CERITA bila harus menghadapi Morgan! ‘Idih, mengapa aku harus membereskan kekacauan yang kamu timbulkan, Adel?’ Apa tidak bisa aku memilih novel dengan jalan cerita yang lebih aman? Sial! Bahkan novel dewasa yang lebih ramah di jantung pun tidak sekeji cerita Adel! “Adel, bangun!” Sebenarnya sedari tadi aku hanya memejamkan mata. Sibuk memikirkan cara menyelamatkan keluarga White dan menghilangkan keberadaan dari radar milik Morgan. Aku tidak mau berhadapan dengan yandere sekelas Morgan. Terlalu berisiko. “Adel,” Jamie memanggil. “Bangun.” Jamie menepuk wajahku. PUK. PUK. PUK. Tiga kali. Lalu, dengan malas aku berkata, “Kak, aku malas jalan kaki.” Sebenarnya aku ingin tetap di mobil dan pura-pura menjadi bagian dari kursi. Betapa sulit menjalani hidup ke depan nanti. Mengurusi Morgan, minta maaf ke Flora, lalu harus BELAJAR LAGI! Aduh, aku paling tidak kompeten dalam urusan akademik. Nilaiku biasa saja. Sekarang aku harus menjalani neraka kehidupan seorang remaja? Hahaha, lawak! “Gendong,” kataku, malas. Hehe, tidak mungkin Jamie sebaik saudara dalam telenovela. “Oke.” Jamie berjongkok di depan pintu mobil. “Ayo, Adel. Cepat!” Sekali lagi asumsiku terpatahkan. Jamie memang memiliki sifat lima puluh persen kakak baik dan lima puluh persen kakak tengik. Andai aku tidak digendong Jamie, mungkin aku akan kejang-kejang seperti orang kesurupan sembari berteriak, “Aing maung!” Rumah Adel lebih mirip istana! Bukan sekadar jenis rumah mewah yang sering nongol di sinetron, melainkan rumah MEWAH lengkap dengan maid! Ini adalah rumah idaman tingkat dewa! Haha, apalah arti kekayaan ini bila nanti Morgan memutuskan membalas dendam kepadaku? Heol, aku harus memikirkan cara minta maaf kepada Flora. Apa perlu aku bersimpuh sembari berkata, “Ampuni saya. Saya tidak bisa mengenali betapa luar biasa pesona tokoh utama seperti Anda.” Yang ada aku bakalan kena timpuk dan Flora mengatai diriku gila! Bahkan ketika sampai di kamar pun aku makin melongo. Ranjang mewah, kamar mandi pribadi, nakas, lemari, setumpuk pakaian bermerek, perlengkapan perawatan wajah dan tubuh, boneka beruang setinggi orang dewasa! Oke, aku harus memikirkan cara mengamankan diri terlebih dahulu. Mulai dari memperbaiki hubungan dengan Flora. * Sekitar pukul 07:00 malam aku meminta tolong kepada Jamie agar bersedia menemaniku menuju rumah Flora. Awalnya Jamie menolak. Setelah aku mengancam akan mengadu kepada ayah Adel, yang notabene masih berada di luar negeri, Jamie pun mengalah dan bersedia mengikuti keinginanku. Kami mampir sebentar ke toko kue. Aku menyambar beberapa potong kue cokelat, keju, dan setoples permen buah warna-warni. “Adel, kamu mau nyogok siapa?” “Masa depanku.” Sumpah. Aku yakin Jamie tidak sependapat mengenai teori makanan bisa mencairkan hati yang beku. Setidaknya aku mencoba memperbaiki hubungan. Entah berhasil atau gagal, pertaruhan ini patut dicoba olehku. Oh ya, mengenai alamat Flora. Di dunia Adel tidak terlalu berbeda dari duniaku dalam urusan teknologi informasi. Tada, PONSEL! Bahkan ponsel Adel jauh lebih mewah daripada milikku. Setelah menghubungi Jasmine, meminta informasi mengenai alamat Flora, aku pun membulatkan tekad. Mari cegah kehancuran Adel! Kembali ke Flora. Flora dan Morgan hidup terpisah. Flora ikut ibunya, Morgan ikut ayahnya. Kadang Morgan menyempatkan diri mengunjungi ibunya dan di sanalah Flora mulai curhat mengenai kehidupan sekolahnya. Sekarang aku berada di depan rumah Flora. Berbeda dengan rumah Adel yang mewah mentereng bagai sultan, rumah Flora ... oke, aku koreksi. Flora tinggal di apartemen. Setelah bertanya ke petugas, menginformasikan mengenai diriku kepada Flora (sungguh apartemen sultan bahkan ketika hendak bertemu pun aku harus izin terlebih dahulu). Tidak lama kemudian Flora turun bersama seseorang. Flora. Dia benar-benar perwakilan tokoh utama! Tinggi semampai, kulit bersih, wajah cantik, rambut panjang bergelombang, pirang, dan sepertinya dia memborong semua kriteria tokoh utama. “Adel?” Bahkan suaranya pun terdengar merdu. “Hai?” Jamie menunggu di parkiran. Aku menolak tawarannya menemaniku. Ini merupakan misi yang harus aku selesaikan seorang diri. “Kamu baik-baik saja?” Aku mengangguk. “Flora, mulai sekarang aku nggak bakal jadi pengganggu,” kataku, tegas. Aku menyerahkan kotak kue dan permen kepada Flora yang terlihat kebingungan dengan pernyataanku. “Maaf selama ini aku jadi orang kurang ajar. Maaf sering gangguin kamu. Hari ini aku telah mendapat kesadaran tingkat dewa. Sekarang aku pengin fokus ke belajar dan menjadi anggota masyarakat kapitalis yang baik dan berdedikasi tinggi.” “Adel, kamu yakin baik-baik saja?” Flora menerima pemberianku. “Atau, kamu pengin main? Sebentar?” Uhk pesona tokoh utama. Padahal dia hanya mengenakan kaos putih dan celana jins. Namun, berpakaian simple semacam itu pun tidak menutup pancaran pesona meletup ke luar dari dalam dirinya. Apalah aku? Butiran debu! Aku menggeleng. “Flora, aku ngerti perlakuanku ke kamu tuh kurang ajar banget. Sekarang kamu tenang saja. Aku nggak bakalan ngusilin kamu. Kamu dan Ketua Osis memang pasangan dari langit.” Aku menggaruk pelipis, mencoba mengorek tambahan pujian. “Emmm, Flora. Maaf, ya?” Flora tertawa. “Adel, kamu memang kadang usil. Tapi, aku nggak ambil hati kok.” ‘Iya, kamu nggak ambil hati. Tapi, kembaranmu, kan, beda!’ Tanpa sengaja aku, oke akhirnya aku menyadari kehadiran orang yang mengikuti Flora, bersitatap dengannya. Cowok! Bukan, BUKAN ITU! Dia setinggi Jamie, tapi lebih muda dan segar. Wajahnya dan wajah Flora bagai pinang dibelah dua! Bila Flora berambut pirang, maka yang satu ini berambut cokelat. ‘Hei, kenapa kamu muncul di sini wahai Mr. Villain.’ “Adel kenalin,” kata Flora, ceria. “Kakakku, Morgan.” JAMBU! Mengapa dia ada di sini? Tubuhku gemetar, napas sesak, dan keringat dingin bermunculan. “Adel? Adel!” ... dan aku langsung jatuh tak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN