Jejak ke lima belas

1917 Kata
Zin terdiam di dalam mobil. Sedari tadi hatinya tak tenang. Ia sudah duduk di dalam mobil hampir satu jam. Ingin sekali rasanya keluar, tetapi ketika melihat ambulance yang keluar masuk ke dalam sekolahnya membuat Zin hanya terdiam. Jujur ia takut sekali seseorang melaporkannya pada polisi, dan ia lebih takut lagi kemarahan ayahnya. Padahal Zin tak sepenuhnya melakukan kesalahan, ia hanya ingin membalaskan dendamnya itu saja tidak lebih. Sesekali kuku jempolnya ia gigit karena merasa cemas. Zin melirik ke belakang, tak ada siapapun yang datang menghampirinya. Semua tampak biasa saja. Hanya banyak segerombolan siswa dan siswi yang tampak berbicara menggosipkan sesuatu. Zin sudah lelah, ia memutuskan untuk keluar. Segera tangannya membuka pintu mobil. Alangkah terkejutnya Zin ketika melihat sang ayah yang sedari tadi ia tunggu tengah berjalan menghampirinya. Setelah sampai Daichi tidak mengatakan hal apapun. Ia hanya menyuruh Zin masuk ke dalam mobil dengan tangannya. Zin yang melihatnya hanya bisa mengangguk pasrah. Ia harus rela diperintah apapun oleh Daichi. Segera Zin dan Daichi masuk ke dalam mobil, dan berjalanlah mobil melaju keluar dari sekolah. Di dalam mobil tak ada yang mau memulai berbicara. Daichi mau pun Zin memilih untuk diam dan menikmati jalanan. Sampai tibalah mereka di rumah Daichi. Saat tiba, Daichi tak mengatakan apapun. Ia segera keluar diikuti oleh Zin di belakang yang mengekori. Zin sudah tak peduli lagi. Ia pasti akan dimarahi habis-habisan setelah ini. Zin menatap seisi rumah yang tampak sepi, sepertinya Eiji tengah dijaga oleh pengasuhnya sekarang. Semakinlah ayahnya leluasa untuk memarahi Zin. Biasanya jika ada Eiji, Daichi tak akan marah. Tetapi sekarang Eiji, malaikat Zin tak ada. 'Habislah riwayatmu Zin,' batin Zin memberontak. Ia sangat takut sekarang, tapi dirinya tak boleh menunjukan rasa takut itu. Daichi berbalik dan menatap nanar sang putra di depannya yang tengah menatapnya bingung sambil melirik ke arah lain. "Zin, kau tahu tindakanmu barusan!? Kau hampir menghilangkan nyawa seseorang!?" pekik Daichi geram. Zin hanya tertunduk diam, ia tak mau bicara terlebih dahulu. Karena apa yang dikatakan oleh Daichi memanglah kenyataan. Zin hampir membunuh kakak kelasnya. Ia sangat gelap mata tadi, sehingga berencana membunuh kakak kelasnya. Daichi menutup matanya dengan tangan kokohnya itu, lalu menggebrak meja kuat membuat Zin terperanjat kaget. "Zin! Berapa kali lagi ayah harus bilang, hm? Ayah sudah mengatakan untuk tidak melibatkanmu dalam perkelahian!? Apakah semua masalah akan berakhir dengan perkelahian?" bentak Daichi. Ia sudah kehilangan kesabarannya untuk tidak memarahi Zin. Dan Zin sendiri malah terdiam, wajahnya tak menampakkan kekesalan atau pun penyesalan sedikit pun. Tampak tenang dan santai seolah itu bukan masalah besar baginya. Daichi membelalakkan mata tak percaya melihatnya, "Zin, kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" Zin melirik sekilas ke arah lain sebelum menatap ayahnya di depan. Kepalanya menggeleng pelan, "Tidak ada ayah, Zin sudah merencanakan semua ini dengan matang. Perihal Zin yang ingin membunuh kakak kelas Zin sendiri itu bukan kemauan ku, ia sendiri yang mengatakan jika salah satu di antara kita siap untuk menjadi sebuah kenangan nantinya," tuturnya santai. Daichi malah semakin geram mendengar penuturan anaknya. Ia tak habis pikir Zin mengatakan semuanya dengan teramat santai. Seperti bukan masalah, dan itu adalah hal biasa. "Ayah tak perlu memikirkan aku lagi. Ayah urus saja Eiji dengan baik, aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula memang sudah seharusnya seperti itu, 'kan? Ayah bilang Eiji lebih membutuhkan perhatian dari ayah daripada Zin sendiri. Kalau begitu ya sudah, lakukan apa yang menurut ayah benar. Dan Zin? Akan melakukan apa yang menurut Zin benar," tutur Zin santai. Setelah mengatakan hal itu Zin segera pergi dari tempatnya. Ia sudah tak peduli dengan bagaimana perasaan Daichi sekarang. Menurut Zin ia sudah berlaku adil pada sikap Daichi padanya selama ini. Daichi juga harus merasakan sakit hati karena sikap tidak adilnya dulu ketika mendidik Zin dan Eiji. Daichi terdiam di tempat, ia sudah kehabisan kata-kata. Tubuhnya ambruk ke kursi di belakangnya. Kepalanya terasa sakit, memikirkan semua ini. Daichi sangat sedih, didikannya selama ini harus hilang dan sirna. Apa pun yang ia lakukan terasa sia-sia sekarang. Zin sudah berubah menjadi anak nakal, ia susah diatur dan juga bertindak seenaknya. Daichi harus menanggung malu. Tadi saat di sekolah Daichi hendak meminta salah satu guru untuk mengawasi Zin. Ia takut Zin terkena masalah lagi seperti sebelumnya. Eh baru saja datang Daichi sudah melihat Zin terlibat masalah lagi. Tetapi sekarang Zin menjadi pelaku bukan korban lagi. Dengan berat hati Daichi meminga surat pengeluaran sekolah untuk Zin. Daichi harus memindahkan sekolahnya Zin, karena di sekolah lamanya Zin sudah dikeluarkan akibat sikapnya ini. Daichi harus menjatuhkan kehormatannya demi Zin. Ia rela lakukan hal itu agar anaknya tidak terlibat masalah lagi. Namun, sang anak yang dibela malah mengatakan hal tak terduga. Zin mengatakan jika mulai ke depannya mereka akan masing-masing dan bersikap acuh satu sama lain. Itu sangat menyayat hatinya. Rencananya untuk membuat Zin jera dan kapok justru gagal. Zin malah semakin brutal. Hal yang ditakutkan Daichi tiba-tiba muncul di benaknya. Daichi sangat takut jika ulah Zin ini bisa membuat Carlos datang pada kehidupan mereka. Itulah yang Daichi takutkan, ia tidak mau jika Zin yang selalu berbuat onar terdengar sampai Carlos. Dan membuat anak buah Carlos datang lalu menghabisinya habis-habisan. Daichi takut sikap Zin yang sekarang bisa memicu kedatangan Carlos. Apa bila Carlos datang ia tak bisa mencegahnya. Pasti Carlos tidak akan mengampuninya yang membesarkan anak dari Kwang Zu. Musuhnya sendiri. "Apa yang hsrus kulakukan?" tanya Daichi pada dirinya sendiri yang tentu saja tidak ada jawaban apa pun. Ia memijit pelipisnya yang teramat sangat pusing. Akhir-akhir ini pikirannya menjadi kacau. Ia memikirkan masa depan Zin, dan segala ketakutannya selama ini perlahan muncul satu persatu. Hatinya bertanya apakah ini awal dari semuanya? Apakah Carlos akan datang padanya? Apakah ia akan selalu bisa menjaga Zin? Runtuyan pertanyaan itu muncul setiap hari mendesak untuk dijawab. Tetapi Daichi bisa apa? Ia hanya bisa pasrah dan menyerahkan semua permasalahannya pada yang di atas. "Aku harap Zin bisa merubah dirinya," bisik Daichi pelan berdoa agar Zin tidak sampai mengambil salah jalan. Di tempat lain tampak Zin yang tengah terduduk diam. Ia tengah melamun, memikirkan setiap kejadian yang menimpanya selama ini. Ia sedikit tak percaya ketika tahu jika dirinya sendiri bisa sampai seberani ini. Kapan keberanian itu datang? Ntahlah Zin tak tahu pastinya. Dia sedikit bersyukur karena mulai saat ini Zin tak perlu memikirkan bagaimana lagi sikap ayahnya ketika melihatnya menjadi anak nakal. Kenakalannya tak perlu ia sembunyikan lagi. Itu membuatnya bernapas lega. Merasa bersalah? Tentu saja tidak. Zin tak pernah menyesal atas apa yang telah diperbuatnya selama ini. Zin masih berpikir jika semua ini bukan salahnya, jadi mengapa ia harus merasa bersalah? *** Sejak kejadian pertengkaran itu Zin jadi semakin melunjak. Ia tak segan-segan menyakiti Eiji jika menghalanginya untuk pergi kemana pun. Zin juga sudah tak peduli lagi bagaimana nasehat ayahnya yang sudah seperti obat baginya. Semua terjadi begitu cepat. Sampai Zin tumbuh menjadi sosok pria yang susah diatur dan berandalan. Terlibat banyak perkelahian dan balapan liar yang selalu menyebabkan dirinya luka-luka. Ntah itu karena berkelahi atau jatuh dari motor saat balapan. Karakternya sangat berbeda jauh dengan Zin kecil. Rasa hormat dan malunya terhadap Daichi sudah menghilang seiring keberanian itu muncul. Ia tak peduli bagaiman tanggapan dari orang-orang di sekitarnya. Asal Zin bahagia iru sudah cukup bagi Zin. Sudah beberapa kali juga Daichi mengingatkan Zin untuk tidak ikut balapan liar. Tetap saja itu tak menyurutkannya untuk ikut balapan liar lagi dan lagi tanpa ada penyesalan atau takut jatuh lagi. Sudah berkali-kali juga Daichi menyita kunci motor yang selalu dipakai Zin untuk balapan. Dan sering juga Zin mengambil kunci motor itu secara diam-diam. Tahu-tahu Daichi sudah melihat Zin yang terbaring lemah tak berdaya di sofa dengan diobati oleh Eiji. Daichi tak mengerti apa lagi yang harus dilakukannya agar membuat Zin menyesal dan tidak berbuat seenaknya lagi. Sudah berbagai cara ia lakukan tetap saja tak membuahkan hasil. Lama-lama Daichi menjadi lelah dan membiarkan apa yang Zin ingin lakukan. Namun, tanpa siapa pun tahu Zin kerap sekali menangis di dalam kamarnya melampiaskan seluruh emosinya di sana. Zin menangis karena kesal tak ada siapa pun yang memperhatikan dirinya lagi. Daichi sudah lelah melarang dan menasehatinya. Bukankah Zin seharusnya senang? Tetapi mengapa dia begitu sedih? Ayolah walau pun begitu Zin masih menyayangi Daichi. Semua sikapnya ini berawal dari ketidak puasan atas perilaku Daichi padanya berbeda dengan perhatiannya pada Eiji. Jadi Zin melakukan hal aneh agar Daichi lebih memperhatikan dirinya. Tetapi bukannya perhatian yang didapat, Zin malah mendapat bentakan dan amukan Daichi. Sungguh sangat mengesalkan, makanya ia sering ikut balapan agar bisa melampiaskan seluruh emosinya. Zin juga mengikuti sebuah club tinju. Karena kemampuan Zin dalam bertarung membuatnya cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Zin sudah terbiasa dengan pukulan sekarang. Dulu saat kecil dirinya akan meringis dan menangis. Tetapi sekarang saat ada yang berani menyakitinya maka Zin tak akan segan-segan untuk membalasnya lebih dari apa yang ia berikan pada Zin. Walaupun begitu, itu tak berlaku bagi keluarganya. Zin masih sayang sama daichi dan Eiji. Ia tak mengharapkan orang lain menghancurkan keluarganya. Sifatnya yang kasar tak begitu di dalam rumah. Saat di rumah, Zin hanya tak acuh dan bersikap tidak peduli walau sebenarnya tidak. Zin sangat peduli, terlebih lagi pada Eiji. Kadang Zin menemani Eiji bermain walau sebentar. Tetapi kadang juga sikapnya kasar pada Eiji. Entahlah, Zin juga bingung dengan sikapnya ini yang selalu berubah-ubah tergantung moodnya. Sama seperti saat ini, ketika Zin tengah menemani Eiji bermain di belakang rumahnya saat itu juga Daichi pulang dari kerjanya. Zin yang melihat segera pergi dari tempatnya meninggalkan sang ayah dan Eiji di taman belakang rumah. Tidak tau, Zin selama ini menghindari Daichi. Jika berpapasan saja Zin memilih mengurungkan niatnya untuk pergi. Terakhir Daichi berbicara dengan Zin adalah ketika tengah membahas Zin yang sudah pindah sekolah sebanyak 3 kali dalam waktu yang cukup singkat. Sekolah-sekolah itu sudah tak bisa mengawasi dan mendidik Zin yang sangat nakal dan susah diatur. Hingga membuat Daichi kewalahan harus menyekolah kan Zin di mana lagi. Sejak saat itu Zin tak pernah mengajak ngobrol ayahnya. Ia sudah terlalu sakit hati dengan semua sikap ayahnya selama ini. Lebih baik dirinya pergi daripada harus terjebak obrolan dengan Daichi. Daichi yang melihatnya hanya bisa menarik napas pasrah. Ia sudah lelah melarang dan menasehati Zin. Biarlah ia melakukan apa yang ingin dilakukan. Asal itu tidak membuatnya terluka itu sudah cukup menurut Daichi. Yang sekarang ia perhatikan adalah menjaga Zin dari jauh. Dan mengawasi Eiji dari dekat. Anaknya Eiji semakin hari semakin aktif. Bahkan waktu itu jika Daichi pulang terlambat Eiji akan bermain dengan botol-botol kaca yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Mungkin jika telat menyadari Eiji harus dilarikan lagi ke rumah sakit. Kebahagiaan Daichi sepertinya berkurang mulai saat ini. Harapannya sekarang adalah kedua anaknya bisa hidup bahagia walau dengan cara yang berbeda dari perkiraannya. Seperti Zin yang bahagia ketika memenangkan sebuah balapan. Dan Eiji yang senang bermain sepanjang waktu. Itu sudah lebih dari cukup bagi Daichi. Sekarang ia hanya harus mengurus dirinya sendiri. Karena permasalahan hidup yang dibuat oleh Zin membuat Daichi tidak bisa tertidur dengan tenang. Ada saja ulah yang dilakukan Zin, seperti pulang larut malam dengan keadaan yang kacau seperti habis berkelahi dengan seseorang. Membuatnya harus terjaga sepanjang malam untuk merawat Zin yang sudah tak sadarkan diri karena sakit di kepalanya. "Eiji, ayah ingin tertidur di sini sebentar. Eiji bermainlah di dekat ayah mengerti?" tanya Daichi diangguki oleh Eiji. Daichi meregangkan tubuhnya lalu tertidur di lantai di belakang rumahnya. Angin yang sejuk dengan lantai yang dingin benar-benar membuat Daichi tertidur pulas. Untuk sesaat ia melupakan segala masalahnya dan bermimpi indah. Eiji tengah asyik bermain dengan mainannya, sedangkan Zin sedang sibuk dengan handphonenya di balkon kamarnya. Menyaksikan dari bawah ayahnya yang tengah tertidur lelap dan juga Eiji yang tengah bermain di taman belakang hatinya semakin perih tak karuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN