3. Perjalanan Kouki

1918 Kata
“Eh, ngomong-ngomong nih guys. Gue bakalan pergi ikut temen lama Gue,” ujar Kouki. “Pergi ke mana?” tanya Astro. “Ke sebuah kampung yang isinya itu orang-orang yang melestarikan musik tradisional,” jawab Kouki. Teman-temannya malah memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. Kouki menghembuskan nafasnya dan mulai menjelaskan. “Jadi temen Gue itu kerja di majalah Adventorous,” “Gilaa keren banget dia, jadi apa?” potong Tama. “Dia kerja jadi jurnalis di sana. Nah, beberapa minggu lalu dia baru balik dari kampung ini buat meliput kegiatan musik mereka. Ternyata keren banget dan Gue mau ke sana buat belajar musik tradisional. Sekarang kalian bayangkan musik kita dipadukan sama musik tradisional, pasti bakalan pecah abis,” jelas Kouki berapi-api. “Terus kenapa Lo harus pergi sama dia? Bareng kita kan juga bisa?” tanya Astro. Kouki menggeleng. “Kata dia, penduduk di sana itu agak anti sama orang luar. Temen Gue aja harus sampe nginep pake tenda di depan kampung selama beberapa hari baru bisa dikasih ijin masuk dan meliput,” jawab Kouki. Ketiga temannya yang lain mengangguk meski mereka belum juga terlalu paham. “Gue yakin dengan pergi ke sana, kita bisa bikin musik yang bagus dan gak akan diremehkan sama orang lain lagi,” ujar Kouki lagi. “Lo yakin aman? Tempatnya di mana sih?” tanya Astro. “Gue juga lupa namanya, nanti Gue tanyain lagi deh. Sekarang, Gue mau pamit sama kalian karena Gue udah harus berangkat besok sama dia,” ujar Kouki. “Siapa nama temen Lo itu?” tanya Astro. “Namanya Lucian Hendarto. Teman SMP Gue,” jawab Kouki. Astro mengangguk, “Ya udah. Yang penting Lo hati-hati dan jaga kesehatan Lo di sana. Kalau ada apa-apa jangan lupa telepon Gue sama anak-anak,” ujar Astro. “Iya Mami,” ucap Kouki yang membuat Tama dan Cruz langsung berderai tawa. “Sialann Lo!” maki Astro. *** “Udah bawa Jaket?” tanya Astro mencoba mengecek barang bawaan Kouki. Dia memang seperti itu, seperti sudah menjadi tanggung jawabnya agar memastikan semua teman-temannya itu aman. “Sudah,” jawab Kouki yang sedang memasukkan laptopnya ke dalam tas ranselnya. “Teman Lo bakalan jemput ke sini kan?” tanya Astro lagi. “Iya, katanya dia sampe bentar lagi. Udah di jalan,” jawab Kouki. Hari masih pagi baru jam 9 pagi namun hari ini terasa begitu panas dan juga cerah, matahari menyinari dengan sangat terik. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson yang sepertinya berasal dari depan rumah mereka. “Kayaknya temen Lo udah sampe tuh,” ujar Astro. Kouki lalu berjalan keluar tiba-tiba Cruz muncul dari pintu depan. “Temen Lo udah sampe tuh,” ujar Cruz sambil mengarahkan kepalanya ke arah Lucian yang berjalan mengekorinya di belakang. “Hei Luc, bentar ya Gue ambil tas dulu,” ujar Kouki. “Oke, santai. Masih pagi juga,” balas Lucian. Astro lalu keluar dari studio dan melihat pria yang menjadi teman Kouki itu. Seorang pria yang berpenampina kasual namun aura mahal masih tampak di sekitarnya. Rambutnya mempunyai potongan buzz cut yang semakin membuatnya terlihat tampan. “Halo.” Astro mencoba menyapa. Pria yang wangi parfumnya sangat menyengat itu berbalik menghadap ke arah Astro menatapnya lalu tersenyum. “Lucian ya?” tanya Astro. Lucian tampaknya kebingungan karena Astro yang sudah mengetahui namanya. “Eh, itu. Udah pernah diceritain sama Kouki soalnya,” jelas Astro. Senyum Lucian mengembang, “Iya, salam kenal.” “Nama Gue Astro,” ujar Astro sambil memberikan tangannya. “Lucian. Teman SMP-nya Kouki,” balas Lucian sambil menyambut tangan Astro dan keduanya saling berjabat tangan. “Gue panggil santai gini aja gak apa-apa kan?” tanya Astro. “Oh iya, santai, santai,” balas Lucian. “Teman Band-nya Kouki juga ya?” tanya Lucian. “Iya. Tolong titip Kouki ya, tolong pastikan dia gak kedinginan soalnya dia gampang flu,” jelas Astro. Senyum Lucian kembali mengembang, “Pasti. Dia kan teman Gue juga.” “Ayo, Luc.” Kouki muncul dengan sudah menggendong tas ranselnya dan kemudian memakai sepatunya. “Udah mau cabut?” tanya Cruz. Tama mengikuti temannya itu dari belakang. “Iya nih, nanti sampenya kesorean kan gak enak,” ucap Kouki. “Hati-hati ya,” ucap Cruz. Kouki mengangkat tangannya sebagai tanda pamit, dia lalu berjalan bersama dengan Lucian menuju mobil lelaki itu. “Ki!!!” panggil Astro. Kouki menghentikan langkahnya ketika Astro mendekat dengan membawa jaket. "Bawa Jaketnya,” ujar Astro. “Gue udah bawa kok, ada di tas,” ujar Kouki yang tadi sudah memasukkan jaket ke dalam tas ranselnya. “Udah bawa aja. Lo kan gampang kedinginan,” ujar Astro dengan setengah memaksa. “Gak usah, Gue gak perlu,” tolak Kouki. “Bawa aja,” ujar Astro. Kouki memandang Astro dengan tatapan heran karena jarang sekali Astro bersikap memaksa seperti ini. Namun yang dikatakan Astro memanglah benar, Kouki memang gampang kedinginan. Maka mau tidak mau Kouki mengambil jaket itu membuka pintu mobil Lucian dan kemudian keduanya bersiap pergi untuk berpetualang. “Semoga Lo gak kenapa-kenapa. Semoga itu bisa setidaknya menjaga Lo.” Astro menatap mobil yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya itu. *** “Gue udah benar-benar gak sabar untuk sampai di sana. Pasti tempatnya keren banget,” ujar Kouki. “Iya, Gue juga,” ujar Lucian sambil tersenyum. “Lo balik tinggal ngambil video wawancara doang?” tanya Kouki. “Iya, tapi yang bakalan Gue wawancara lumayan banyak, makanya mungkin akan sedikit lama,” jawab Lucian. “Lo nemu tempat ginian dari mana sih?” tanya Kouki lagi. Dia membuka makanan ringan yang tadi mereka beli dan kemudian mulai memakannya. “Dulu senior Gue pernah nyoba mau ke sana, tapi dia gagal. Dan Gue pengen nyoba juga, ternyata Gue berhasil,” ujar Lucian. “Lo emang keren banget, emang bakat Lo jadi jurnalis,” puji Kouki. Lucian tersenyum bangga karena mendengar pujian Kouki itu. Matanya tidak berpindah dari arah depan, dia tetap fokus menatap jalanan yang mereka lewati. “Lo di situ tinggal bareng sama teman-teman band Lo?” tanya Lucian. “Iya, kita harus menghemat pengeluaran. Kalau tinggal pisah-pisah pengeluaran kita malah makin banyak. Padahal kita butuh banyak uang untuk mulai self-produce,” jelas Kouki. “Lo mau denger lagu band Gue gak?” tanya Kouki. “Tapi Gue kan gak bisa menilai musik,” jawab Lucian. “Memangnya siapa yang nyuruh Lo buat nilai. Lo dengerin aja dulu,” ujar Kouki. “Oke deh, boleh,” ucap Lucian. Kouki lalu menghubungkan ponselnya dengan pemutar musik di mobil Lucian. Tidak lama kemudian lagu milk band Lucens mulai dimainkan di pemutar musik itu. Kouki memperhatikan ekspresi wajah Lucian yang terlihat serius saat mendengar musik band Kouki. Setelah lagu berakhir, Kouki mematikan lagunya dan ingin mendengar pendapat dari Lucian yang dari tadi terlihat serius saat mendengar lagu dari bandnya. “Gimana menurut Lo?” tanya Kouki. Lucian bergumam sebentar. “Menurut Gue, musiknya udah bagus Cuma seperti ada yang kurang. Jadi kurang catchy di telinga,” jawab Lucian. Kouki mengangguk, dia harus belajar menerima kritik dan masukkan. “Menurut Gue, setelah Lo belajar sama orang-orang di kampung itu. Skill musik Lo bakalan nambah banyak dan Lo bisa bikin lagu yang lebih bagus lagi,” tambah Lucian. “Bener! Gue harus bisa dapat ilmu dari mereka. Setelah lihat video Lo tentang penampilan mereka, Gue jadi makin gak sabar untuk belajar sama mereka,” ujar Kouki bersemangat. :Mudah-mudahan mereka mau nerima Lo,” ujar Lucian. “Amin,” ucap Kouki. “Ngomong-ngomong ada yang harus Lo tahu soal mereka. Di kampung itu Cuma ada laki-laki semua, gak ada perempuan seorang pun,” kata Lucian. “Hah?” Kouki cukup terkejut mendengarnya. “Mereka memang fokus untuk latihan dan mengembangkan ilmu bermusik mereka. Bagi mereka, wanita hanyalah gangguan,” sambung Lucian. Kouki menangguk. “Di sana nanti kita ketemu dengan ketua dari sanggar-sanggar musik di kampung itu, namanya Pak Hendry. Beliau bule tapi udah lancar bicara Bahasa Indonesia,” lanjut Lucian. Kouki mendengarkan dengan saksama. “Wakilnya bernama Pak Jarwo, beliau juga sangat dihormati di sana. Jangan bicara yang aneh-aneh dengan beliau atau Pak Hendry,” ucap Lucian. “Di sana ada sinyal telepon atau internet gak?” tanya Kouki. “Sinyal internet gak ada, sinyal telepon hanya kalau Lo lagi beruntung,” jawab Lucian. Kouki mengangguk paham. “Di sana jam sepuluh malam udah pasti sepi, kecuali malam kamis baru rame. Soalnya biasanya ada pementasan,” ujar Lucian. “Wah pasti seru tuh,” ujar Kouki yang semakin bersemangat. “Seru banget malah, setiap pementasan berlangsung. Masing-masing sanggar akan diadu keahlian mereka. Sampai nanti puncaknya mereka akan memainkan lagu yang paling indah yang pernah Lo denger seumur hidup Lo. Sayangnya pas bagian itu, Gue gak boleh rekam karena takut bocor keluar,” sambung Lucian. Mendengar cerita Lucian semakin membuat Kouki bersemangat untuk pergi ke kampung itu. Tiba-tiba saja seekor rusa melintas dari balik pepohonan membuat mobil Lucian tidak sempat menghindari rusa tersebut dan kemudian menabrak binatang kaki empat itu. Brukk!! Rusa itu terlempar lumayan jauh dari tempat mobil Lucian yang berhenti mendadak. Kouki turun dan memeriksa rusa itu namun sayangnya rusa itu sudah mati. “Kok bisa ada rusa mendadak lewat sih?” ujar Kouki bingung. “Ya namanya juga hutan,” jawab Lucian. “Ini kita biarin aja di sini?” tanya Kouki. “Biarin ajalah di situ, nanti juga dimakan binatang lain,” jawab Lucian. Kouki lalu mengikuti kata-kata Lucian dan kembali masuk mobil dan meneruskan perjalanan mereka. Satu jam kemudian mereka melihat sebuah tugu yang terletak sebelum jembatan yang sayangnya tulisan di tugu itu tidak dapat terbaca oleh Kouki karena sudah ditutupi oleh semak belukar. “Ini udah sampe ya?” tanya Kouki. Lucian berdeham. “Itu gerbangnya,” ujar Lucian. Benar saja, sebuah gerbang besar yang ditutup menggunakan pintu besi itu sudah mulai terlihat. Lucian memperlambat laju mobilnya dan berhenti tepat di depan gerbang itu, tidak lama kemudian seorang lelaki keluar dari gerbang itu dan segera menghampiri Lucian. “Bapak ada keperluan apa ya?” tanya laki-laki asing itu. Kouki takut namun dia tidak mau menunjukkan raut wajahnya yang ketakutan. “Saya sudah ada janji dengan Pak Hendry. Bilang saja Lucian sudah datang,” ujar Lucian. “Oh Bapak yang namanya Lucian? Pak Hendry bilang ke saya untuk mengantar Pak Lucian langsung ke rumahnya, mari Pak saya antar.” Kouki kini dapat bernafas lega karena ternyata kedatangan mereka atau setidaknya kedatangan Lucian sudah ditunggu, Lelaki itu lalu membuka pintu gerbang dan Lucian segera menjalankan mobil kembali. Dia lalu menunggu lelaki itu mengambil sepeda motornya lalu berjalan lebih dulu dari mobil Lucian membawa mereka ke rumah Pak Hendry. Setelah melewati kampung itu mereka tiba di sebuah rumah yang lumayan tinggi. Rumah tersebut mempunyai tangga menuju pintu masuk. Saat mobil memasuki area pekarangan rumah tersebut, seorang pria berwajah bule namun menggunakan pakaian adat khas salah satu daerah nusantara itu keluar dari dalam rumah. “Pak Hendry,” Lucian menyapa orang yang bernama Pak Hendry itu dari bawah. Telapak tangannya disatukan lalu diletakkan di dahinya. Kouki pun mengikuti apa yang dibuat oleh Lucian. “Siapa ini?” tanya Pak Hendry ketika pria itu sekarang sudah sampai di pekarangan rumahnya. “Ini teman saya yang saya bilang ingin kemari untuk belajar musik, Pak.”Lucian memperkenalkan Kouki. Namun Kouki berdiri mematung memandang lelaki berkulit putih itu dengan tatapan penasaran. Dia seperti sudah pernah bertemu dengan lelaki ini sebelumnya tapi dia lupa dimana. “Ada apa?” tanya Pak Hendry yang merasa diperhatikan oleh Kouki. “Maaf, Pak. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Kouki. Pak Hendry tampak terkejut lalu tersenyum, “Benarkah?” .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN