"Ha? Apaan, sih?! Mana ada! Kalo gua nikah ya pasti ngundang lu, Kal." Alleta tertawa hambar.
Tangan gadis itu meremas tali totebag, wajah Alleta sangat ketara tengah panik. Dia merutuki dirinya yang ceroboh dan tidak melihat sekitarnya. Mengembuskan napas pelan, Alleta mencoba menenangkan debaran jantungnya yang lebih cepat dari biasanya.
"Oh ... hehe ... iya, sih." Sahabat Alleta menggaruk kepalanya.
"Terus itu siapa?" Dia kembali bertanya.
"Em ...! Itu ... itu ... anak sahabat papa!" Alleta tersenyum kikuk. "Iya, anak sahabat papa," ulangnya.
"Oh, kirain." Gadis itu manggut-manggut mengerti. "Ya udah, yuk ke kelas!"
***
"Capek banget sama yang namanya kuliah."
Alleta yang mendengar keluhan sahabatnya hanya menggelengkan kepala pelan. Memang sebelum beristirahat diadan para sahabatnya tengah diajar oleh salah satu dosen yang terkenal killer. Namun, bagi Alleta itu justru bagus untuk kemajuan diri sendiri.
"Matematika mudah bukan?" celetuk gadis dengan rambut diikat kuda, suaranya dibuat semirip mungkin dengan seseorang yang mencetuskan kalimat itu. Sebuah kalimat yang memang cukup terkenal saat ini.
"Bukan!" sanggah seorang gadis yang tengah mengaduk-aduk bakso miliknya.
Alleta terkekeh pelan. Gadis cantik itu memilih untuk fokus menghabiskan nasi goreng yang dia pesan. Bagi Alleta nasi goreng adalah makanan terenak setelah rendang dan bakso. Jadi sudah tak heran jika gadis itu sangat tergila-gila dengan makanan tersebut.
Gadis dengan rambut sebahu berwarna hitam legam itu meminum jus mangganya hingga tandas. Rasanya otak kembali segar setelah dua jam mengikuti pelajaran Matematika. Dia sempat melirik pada gadis di sebelah Alleta yang hanya mengaduk-aduk makanannya.
Gadis itu mengerutkan kening. "Lu kenapa. Cin? Kaga nafsu?" tanyanya dengan heran.
"Kaga papa, sih. Paling juga mau dapet bulanan," balas gadis itu dengan mimik wajah lelah.
Dua orang lainnya sempat melirik kedua orang itu sebelum akhirnya memilih menghabiskan makanan mereka. Beberapa menit lagi mata kuliah selanjutnya akan dimulai tentu tidak ada alasan bagi mereka untuk bersantai-santai ataupun memperlambat gerakan mulut mereka dalam mengunyah makanan.
Cindyra Ralynsia Anggara, gadis berusia 19 tahun yang selalu menjadi buah bibir mahasiswa dan mahasiswi karena dirinya yang memenangkan lomba karate satu tahun lalu. Namun, semakin ke sini, Cindy justru lebih menfokuskan diri pada kuliah yang dia jalani sekarang.
Mila Rachia, gadis yang menegur Cindy karena mengaduk-aduk makanannya. Menjadi yatim piatu di usia yang menginjak 13 tahun membuat Mila harus memikul beban yang sangat berat karena dirinya memiliki dua orang adik. Memilih kerja part time di salah satu kafe agar mampu memenuhi kehidupannya dan sang Adik.
"Ke kelas yuk, lima menit lagi matkul BuSak. Habis pak Saka terbitlah BuSak," celetuk seorang gadis sembari menyedot habis minuman miliknya.
"Ngeluh mulu kalian, ayo!” cetus Alleta yang sedari tadi terdiam.
"Contoh tuh Alleta, kalem banget," kekeh Mila.
Kalea Amalia, gadis dengan badan paling pendek sekaligus paling cerewet. Dia sangat suka mengikat kuda rambutnya, katanya supaya tidak gerah. Hobi Kalea adalahi bolos dan memakan permen yupi. Di sini, Kalea adalah orang yang paling muda dengan kapasitas otak 3G miliknya. Lemot dan galak itulah Kalea.
"Jangan bandingin gua sama Alleta!" kesal Kalea membuat mereka terkekeh.
Alleta merangkul Kalea lantas mengacak rambut sahabatnya itu. Berteman sejak Sekolah Menengah Pertama tentu membuat mereka tahu satu sama lain. Jika Mila si keibuan dan Cindy si pengertian, lalu ada Kalea si bontot, serta Alleta yang bisa menjadi sosok kakak ataupun teman bagi mereka.
"Udah-udah. Duduk tenang, bentar lagi dosen masuk!" titah Mila yang langsung dituruti.
***
Alleta memandang gerbang coklat itu dengan tatapan kagum. Rumah yang sangat megah dan besar itu kini ada di hadapannya. Dia baru saja pulang dari kampus dengan dijemput oleh supir, tentu Abi sudah mengatakan hal itu terlebih dahulu. Dia tak mau Alleta kebingungan karena dijemput orang asing. Saat ini, Aletta masih memandang takjub rumah milik sang suami yang kini juga menjadi rumahnya. Rumah itu didesain sendiri oleh Abi. Rumah dengan gaya eropa yang dulu Abi buat khusus untuk keluarga kecilnya. Kini Abi sudah menikah, tentu Abi akan membawa Alleta ke rumah yang dia bangun meskipun pernikahan mereka bukan atas dasar cinta.
"Nyonya silakan masuk, ya! Di lantai satu ada dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang santai, dan ruang tamu. Di lantai dua, ada tiga kamar. Kamar utama ada paling tengah. Lantai tiga ada 4 kamar, satunya kamar tamu. Lantai empat, itu tempat Tuan Abi olahraga, atap rumah, sekaligus ada kebun bunga di sana," jelas pak Sudin, orang yang menjaga rumah itu selama lima tahun belakangan.
Alleta mendengarkan penjelasan dari pria paruh baya itu dengan saksama. Tak henti-hentinya dia merasa kagum dengan rumah yang akan ditempatinya hingga menua nanti.
"Makasih ya, Pak. Kalau gitu saya masuk dulu," pamit Alleta.
"Silakan, Nya."
Alleta baru saja selesai berganti pakaian. Dia tak nyangka jika semua pakaiannya sudah berada di lemari bahkan seluruh keperluan yang sebelumnya ada di rumah orang tua Alleta juga sudah ada di sana. Dia pun akhirnya berpikir jika Abi memang sudah menyiapkan kepindahan mereka sejak semalam.
Dengan sedikit berlari, Alleta menuruni tangga. Dia ingin pergi ke dapur untuk memasak makan siang. Sejak tadi dalam perjalanan pulang, gadis itu memang sudah merasakan perutnya terus saja berbunyi. Untungnya Sudin tidak banyak berkomentar.
Alleta memandang sekitar dengan tatapan menilai. "Rumah segede ini ditinggalin sama dua orang, horor banget."
Gadis itu membuka kulkas. Dia takjub melihat banyak sekali bahan makanan, buah-buahan, sekaligus camilan di dalam kulkas. Alleta terkikik sendiri, sepertinya dia tak akan bosan tinggal seorang diri di rumah ini saat Abi bekerja.
"Makmur bangetlah gua."
***
Abi yang baru saja mandi segera berjalan ke ruang makan yang berbatas langsung dengan dapur. Setibanya di sana, dapat dia lihat Alleta yang tengah fokus memasak. Istrinya itu terlihat sangat lihai berurusan dengan pelaratan masak. Abi pun memandang sang istri tanpa bicara. Dia hanya menikmati setiap pergerakan Alleta yang tengah sibuk itu. Alleta sepertinya memang sudah terbiasa berada di dalam dapur. Belum sampai 24 jam dia tinggal di sana, Alleta bahkan sudah hafal di mana letak-letak bumbu dapur.
Setelah 40 menit, segala hidangan untuk makan malam pun akhirnya selesai Aletta masak. Gadis itu kini terlihat menata seluruh masakannya dengan rapi. Abi hanya terdiam sembari menatap makanan yang Alleta tata. Mulai dari sambal udang, terong rebus, tahu tempe, ikan goreng, dan terakhir nasi. Semua yang Alleta masak tampak begitu lezat di mata Abi.
"Mau makan pake apa?" Alleta bertanya tanpa memandang Abi, gadis itu mengambil piring yang berada di sampingnya.
Abi menoleh sekilas. "Semuanya, tapi sambalnya dikit aja," balas laki-laki itu.
Alleta mengangguk, dia tak memberikan respons apa pun selain anggukkan kecil. Tangannya pun dengan lihai mengambil lauk pauk untuk suaminya makan. Setelahnya, Alleta meletakkan piring tersebut di hadapan Abi dengan air yang juga dia tuangkan untuk Abi.
"Makasih," cetus Abi menatap Alleta yang menyiapkan makan untuk dirinya sendiri.
Gadis itu mendudukkan diri di samping Abi. "Sama-sama. Makanan untuk pak Sudin udah aku pisahin, udah aku kasih juga," ucap Alleta sambil menuangkan air ke dalam gelas.
Mendengar perkataan Aletta, Abi pun tersenyum. Laki-laki itu semakin merasa kagum karena di usia Aletta yang terbilang masih muda, dia sudah mengerti akan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang istri.
“Walaupun tidak mencintai Aletta, setidaknya dia adalah istri yang baik. Mungkin hanya butuh waktu untuk bisa mencintainya,” batin Abi sambil mulai menikmati masakan Aletta yang di lidahnya terasa nikmat.
Bersambung