1. Kecemasan

1111 Kata
Kehidupan berjalan normal, setelah beberapa tahun yang lalu mereka mengalami serangan wabah. Wabah itu meluas dan menghilangkan banyak nyawa. Penelitian yang gagal dari salah satu laboratorium, diduga menjadi dalang dari semua yang terjadi di negeri tersebut. Tapi, kini semua mimpi buruk itu telah berakhir. Dinding tinggi dan berlapis-lapis telah dibangun oleh pemerintah. Dinding itu akan terlihat seperti labirin yang memutar dari ketinggian. Masyarakat akhirnya bisa bernapas lega. Mereka akhirnya sembuh dari rasa sakit kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Kini, mereka memulai kehidupan yang baru, lingkungan baru dan juga kebiasaaan yang baru. Setelah terjadinya wabah itu, masyarakat diminta untuk menjauhi tembok yang sudah dibangun. Garis-garis panjang berwarna merah dibentangkan. Papan-papan pengumuman bertuliskan dilarang masuk pun berdiri tegak di berbagai penjuru. Semua tanda bahaya dan berbagai atribut pendukung lainnya terlihat secara nyata. Sayangnya, ada saja orang-orang yang mencoba menerobos untuk masuk ke sana. Dengan alasan, harta mereka masih banyak tertinggal di sana. Mereka mengira, semua pemicu wabah telah musnah. Orang-orang yang bertingkah seperti mayat hidup yang haus darah itu telah lenyap. Tapi, mereka hanya tidak mengetahuinya. Bahwa di balik dinding besar itu. Masih ada, sisa dari wabah yang belum lenyap seutuhnya. *** “Ayah, kenapa kau selalu pulang larut?” seorang anak laki-laki terbangun dari tidurnya. Dia berjalan dan ke luar dari kamarnya saat mendengar ada perbincangan di luar kamarnya. Dia mengucek matanya beberapa kali. Mencoba menghilangkan rasa kantuk yang menderanya. Pria itu memfokuskan padangannya pada anak tersebut. Dia berjongkok, agar mata mereka saling sejajar dan selaras. “Iya, kau tahu kan, pekerjaan yang aku lakukan tidaklah mudah,” jawabnya. Tangannya membelai lembut kepala anaknya itu. Disusul dengan Ibunya yang juga ikut berjongkok. “Lebih baik kau kembali ke kamarmu Tino, ini masih sangat larut, kau bisa mengantuk saat sekolah besok, yuk!” ajaknya. Tino menurut, dia menganggukkan kepalanya. Dan kemudian dia pun kembali masuk ke dalam kamarnya. Langkah kecilnya terus mengikuti langkah kaki ibunya—Sisca. Sisca membantunya naik ke tempat tidur. Menaikkan selimut hingga ke dadanya. Lalu dia pun mengecup kening Tino. Selanjutnya dia mematikan lampu sebelum ke luar dari kamar itu. Suaminya hanya melihat dari luar kamar. Dia tidak terbiasa masuk ke dalam kamar anaknya. Ada rasa pedih jika dia melihat ranjang yang di tempati olehnya. “Dia sudah kembali tidur?” dengan sedikit cemas Alhito bertanya pada istrinya. Sisca mengangguk, “Iya, dia sudah kembali tidur. Menurutmu, apa dia mendengar semuanya?” Alhito menggeleng, sebenarnya dia tidak yakin dengan apa yang dia rasakan. Tapi, lebih baik mengatakan bahwa, “Tidak, dia pasti tidak mendengarnya.” Dari pada membuat istrinya menjadi cemas dan malah membuat keadaan menjadi tidak baik. “Kau yakin akan melakukan tugas itu? Bagaimana jika kita pindah saja? Kita bisa hidup jauh dari sini. Bayang-bayang hari itu masih teringat jelas di ingatanku!” nada suaranya terdengar parau. Tubuhnya sedikit bergetar. Setiap kali dia mengingat hari-hari itu, hatinya terasa sakit dan sangat ketakutan. Kehancuran yang terjadi tepat di depan matanya. Tidak mungkin bisa dia lupakan begitu saja. Walau pun, ini sudah bertahun-tahun berlalu. Suaminya mendekat. Dia mendekap tubuh istrinya dengan erat. Mencoba memberikan dia kekuatan dan keberanian dari setiap pelukan yang dia berikan padanya. Memang tidaklah mudah. Menjalani hari-hari tanpa orang terkasih. Keluarga mereka terserang, dan meninggal tepat di depan mereka. Itu adalah sebuah kenangan yang pahit dan sangat tidak menyenangkan.   “Tenanglah, tidak akan terjadi apa pun. Semuanya akan aman. Protokol keselamatan diterapkan dengan sangat baik. Mereka sudah menyiapkan banyak armada penyelamatan. Helikopter akan mereka kirimkan langsung, jika kami menekan tombol darurat. Percayalah, semua akan baik-baik saja,” ucapnya. Sambil terus memeluk tubuh kecil itu. Dia membelai lembut belakang kepala istrinya. Menciuminya sesekali, lalu dia menepuk-nepuk punggung istrinya.   Istrinya sesenggukan, dia tidak mampu menahan tangisnya. Rasa kehilangan sangatlah sakit, dan dia tidak ingin hal itu kembali terulang. Kini, mereka hanya hidup bertiga. Mereka saling bergantung dan melindungi. Tidak ada yang lain lagi. jika salah satu dari mereka terluka. Entah apa yang bisa mereka lakukan nantinya.   Sisca merengganggkan pelukan itu. “Kau ... istirahatlah, kau pasti sangat lelah,” ucapnya. Alhito memandangi wajah istrinya. Dia sangat tidak tega melihat kedua mata itu terus mengalirkan air mata. Ada nyeri di dadanya setiap kali dia melihat pemandangan itu. Dia mencoba tersenyum, walau sebenarnya dia sangat memaksakan senyum itu. Dia sebenarnya juga merasa takut. Tapi, demi melihat istrinya tenang. Dia harus bisa mengolah emosinya dengan baik. Mengatajan semuanya akan baik-baik saja. Sementara dia tidak dapat memastikan kondisinya.   “Iya, aku akan ke kamar. Ayo!” Hito mengajak Sisca masuk bersama-sama. karena ini mungkin adalah malam terkahir baginya bisa tidur di rumah bersama dengan istrinya.   Besok, dia harus kembali bekerja. Melakukan misi gila yang diinginkan oleh atasannya. Kembali masuk ke dalam kota, untuk mengambil sisa-sia harta yang mereka simpan di rumahnya. Tidak hanya Hito, tapi masih banyak para pejuang lainnya yang akan ikut turun masuk ke dalam sana. Ini adalah malam mereka untuk bisa berpamitan pada keluarga mereka masing-masing. Karena, mereka tidak mempunyai pilihan lain. Jika mereka tidak melakukannya, maka keluarga merekalah yang menjadi sasarannya. Mereka memberikan ancaman yang sangat nyata. Mereka berkata akan memasukkan keluarga mereka yang lain sebagai gantinya. Melawan para petinggi dan orang berkuasa bukanlah hal yang bisa dilakukan. Terlebih bagi mereka kalangan bawah dan hanya seorang prajurit biasa. Mereka harus selalu patuh dan melakkukan semua yang diperintahkan. Termasuk nyawa mereka yang menjadi taruhannya. Hito tidak dapat tidur dengan nyenyak. Dia terus berpikir tentang hari esok. Bagaimana jika semua tidak terjadi sesuai rencana? Bagaimana jika dia tidak selamat? Bagaimana jika ternyata masih ada orang-orang yang terkena wabah? Bagaimana jika nantinya mereka tertular? Apakah mereka akan tetap mengirimkan helikopter untuk menyelamatkan mereka? Berbagai macam pertanyaan terus berputar di kepala Hito. Dia memijit kepalanya dengan perlahan. Mencoba menghilankan rasa pusing yang sedang menderanya.  Gerakan tubuh istrinya membuatnya tersadar. Bahwa dia harus segera tidur. Dia meraih tubuh istinya. Mencoba memejamkan mata dan menghilangkan segala pertanyaan yang membuatnya ragu. Ragu untuk melakukan tugas yang diberikan oleh atasannya itu.   Malam berlalu begitu cepat. Matahari telah menyinarkan sinarnya dengan sangat indah. Menerobos masuk di celah-celah tirai yang tersingkap. Tino membuka matanya. Dia segera berjalan menuju kamar orang tuanya. Dia mempercepat langkahnya, bahkan dia sedikit berlari. Dia ingin memastikan bahwa ayahnya masih ada di sana bersama dengan mereka. Dia tidak ingin melepaskan Ayahnya bekerja. Dia harus terus ikut bersama dengannya. Karena semalam, dia mendengarkan semuanya. Rencana yang akan dilakukan oleh ayahnya hari ini. rencana dari bosnya yang tamak dan tidak tahu diri. Saat dia membuka pintu, barulah dia merasa lega. Anak laki-laki berusia sembilan tahun itu menghela napas lega. Ada senyum yang mengembang di wajahnya. Dia melangkah mendekat ke arah mereka yang masih terlelap. Dia menaiki tempat tidur dan merebahkan diri di tengah-tengah kedua orang tuanya. Dia ingin tidur bersama dengan mereka. Walau hanya sebentar saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN